Part 8

91 10 2
                                        


Sepanjang makan malam, Andit terus saja tersenyum mengingat kejadian di sekolahnya tadi. Bagaimana mungkin Andit menyatakan perasaannya lebih dulu dengan cara seperti itu? Baginya, punya pacar memang sesuatu yang baru. Sebagai seorang gadis, tentu saja Andit pernah membayangkan jika hal-hal romantis terjadi pada dirinya. Apalagi Andit juga suka menonton atau membaca kisah cinta. Sepertinya Satria pintar sekali menjebaknya dengan pertanyaan konyol, sehingga Andit dengan mudah mengakui perasaannya. Andit menggigiti bibirnya saat mengingat Satria mengantarnya pulang sore ini. Seumur hidup, baru kali ini Andit diboncengi seorang lelaki.

Galuh menyadari senyuman yang terus saja mengembang di wajah putrinya itu. "Sepertinya hari ini kamu senang banget, Nduk. Ada apa, toh?"

"Nggak ada apa-apa, Buk. Sini, biar Andit yang beresin. Ibuk istirahat aja." Andit mengambil alih piring kotor di tangan Galuh, membawanya ke belakang dan mencuci semuanya. Andit sama sekali tidak kelihatan lelah. Padahal seharian ini ia sibuk di sekolah.

Andit kembali ke ruang makan untuk menyimpan sisa lauk. Tidak aman memang meninggalkan makanan di meja. Kucing atau tikus pasti akan mengacak semuanya. Galuh masih di sana memperhatikan Andit. "Orang kalau sedang jatuh cinta, energinya berlebih-lebih, ya."

Andit mendengar jelas ucapan Galuh, tapi gadis itu malu untuk mengakuinya. Dia memilih menyibukkan diri dengan mengelap sisa makanan di meja. "Ya udah, Ibuk ke kamar dulu ya, Nduk." Galuh bangkit dari tempat duduknya. Baru selangkah ia meninggalkan meja, tiba-tiba rasa pusing dan mual kembali dirasakan Galuh. Perempuan itu terhuyung dan ambruk ke lantai.

"Ibuk!... Ibuk kenapa?" Andit membantu Galuh untuk kembali ke kursinya. "Tangan Ibuk dingin, Ibuk kita ke dokter,ya."

"Nggak usah, Nduk. Ibuk nggak apa-apa. Bantu Ibuk ke kamar. Ibuk pengin istirahat."

Andit membopong tubuh Galuh ke kamarnya. Setelah membaringkan Galuh di tempat tidur, Andit mengambil air hangat dan membantu Galuh untuk meminum air itu.

"Aduh, Ibuk rasanya mual, pusing, jantungnya kok rasanya berdebar-debar gini." Galuh menolak meminum air putih dari Andit.

"Buk, Andit nggak tahu harus gimana, Andit bawa ke dokter aja, ya. Andit mohon, Buk."

Galuh akhirnya mengalah pada keputusan putrinya. Dan di sinilah mereka kini. Di ruangan Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit. Sebenarnya sudah lama Galuh mengeluhkan kondisi tubuhnya. Ia sering merasa kesemutan, lelah, dan pusing. Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Sementara menunggu hasil laboratorium, Galuh dipasangi infus dan oksigen untuk membuat kondisinya lebih baik. Andit benar-benar cemas melihat ibunya. Inilah yang Andit khawatirkan selama ini. Galuh bekerja terlalu keras, hingga lupa menjaga kesehatannya sendiri.

"Ibu Galuh menderita anemia aplastik, yaitu jenis anemia atau kurang darah karena sumsum tulang belakangnya sedikit sekali menghasilkan sel darah baru," jelas Dokter saat hasil laboratorium keluar.

"Lalu, apa tindakan yang harus dilakukan, Dokter?"

"Ibu Galuh harus secepatnya mendapatkan transfusi darah. Karena anemia akut seperti ini, bisa saja membahayakan keselamatan pasien. Kemungkinan komplikasi menjadi besar jika Ibu Galuh tidak mendapatkan donor darah secepatnya."

"Komplikasi, Dok? Maksudnya?"

"Ya, kita tahu sel darah merah berperan membawa oksigen ke seluruh tubuh. Jika sel darah merah itu sendiri tidak mencukupi tentu saja suplai oksigen ke seluruh tubuh akan mengalami masalah. Gangguan yang lebih serius tentu bisa saja terjadi."

Andit tahu anemia itu kekurangan sel darah merah. Tapi ia tidak pernah tahu sebelumnya kalau anemia bisa seserius ini. Komplikasi seperti gagal ginjal, koma, dan hal-hal menakutkan lainnya berkelebat dalam pikiran Andit.

"Kenapa ibu saya bisa seperti itu, Dokter? Apa kelelahan bisa membuat seseorang menjadi seperti itu?"

"Banyak faktor penyebab yang membuat gejala ini muncul. Kelelahan, radiasi zat kimia yang berbahaya, kekurangan zat besi, atau faktor penyakit genetik."

Andit keluar dari ruangan dokter dengan perasaan tidak karuan. Dokter sudah mewanti-wanti Andit untuk sesegera mungkin mencarikan pendonor darah sebab ketersediaan darah di rumah sakit tidak mencukupi. Galuh tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisinya masih lemah.

Malam terasa sangat panjang. Anindita membaringkan kepalanya di samping Galuh. Matanya terasa berat. Namun ia tidak mungkin kembali ke rumah untuk beristirahat malam-malam begini. Lagi pula, siapa yang akan menjaga ibunya nanti.

"Nduk, Ibuk pulang saja. Kita bisa berobat jalan." Galuh yang mengetahui kegelisahan hati putrinya bicara.

"Ini pukul dua pagi, Buk. Ibuk tidur saja. Nanti Andit yang pikirkan jalan keluarnya."

Galuh mengetahui, simpanannya sudah dipakai Andit untuk biaya administrasi rumah sakit. Ia yakin uang di dompetnya nyaris tidak bersisa.

"Andit masih punya tabungan buat biaya rumah sakit. Ibuk tenang saja. Istirahat yang cukup, biar cepat sembuh."

Sebenarnya Andit sudah berniat untuk membuka celengannya nanti saat ia lulus dari SMA. Uang tabungan itu sedianya untuk biaya kuliahnya nanti. Namun untuk saat ini, hanya kesembuhan ibunyalah yang ada di pikiran Andit.

***

Beberapa hari sudah berlalu. Namun kondisi kesehatan Galuh tak juga menampakkan hasil. Transfusi darah yang diharapkan ternyata tidak juga mencukupi. Tubuh Galuh semakin hari semakin lemah. Andit tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang tabungannya sudah menipis. Tak cukup lagi untuk membiayai kebutuhan obat-obatan yang digunakan untuk kesembuhan Galuh.

Dokter kembali mengingatkan agar Andit sesegera mungkin menemukan pendonor darah.

Sebenarnya Andit sudah menawarkan diri untuk menjadi pendonor untuk ibunya. Namun gadis itu tidak mencukupi syarat untuk menjadi pendonor. Ia belum berusia tujuh belas tahun, dan berat tubuhnya kurang dari empat puluh lima kilogram. Bisa saja Andit memaksakan diri untuk mendonorkan darah pada ibunya, tetapi setelah beberapa hari kurang istirahat, ternyata tekanan darah Andit pun rendah. Dokter tentu saja menolak menjadikan Andit pendonor untuk ibunya. Andit tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya gadis enam belas tahun yang kebingungan.

Beberapa hari tidak masuk sekolah, membuat Satria khawatir pada Andit. Sudah berkali-kali Satria mencoba menghubungi gadis itu. Namun ponsel pemberian Satria tertinggal di rumah. Andit bahkan lupa mengabari sahabatnya; Amel dan Kiki.

"Kita benar-benar nggak tahu Andit kemana, Kak. Andit nggak ngasih kabar apa-apa," jawab Amel saat Satria mendatangi kelasnya.

"Kalian udah cek rumahnya?"

"Udah, Kak. Tapi rumahnya terkunci."

"Ya udah, makasih ya. Entar gue cek ke rumahnya."

"Kak, nanti kalau udah ada kabar, tolong kasih tau kita, ya. Kita khawatir banget. Takut terjadi apa-apa sama Andit."

"Pasti."

***

MISSING DAD 🍒COMPLETED🍒Место, где живут истории. Откройте их для себя