Lorong-lorong panjang rumah sakit tak pernah sepi dari suara brankar yang didorong cepat, ketukan sepatu yang setengah berlari, tangis tertahan, dan wajah-wajah penuh pengharapan.Di sanalah gadis itu kini, duduk pada sebuah bangku panjang dan memeluk lututnya sendiri. Tidak ada yang bertanya kenapa, sebab semua orang punya bebannya sendiri-sendiri.
Wajahnya ia tekuk ke lutut dan menyembunyikan air matanya di sana. Dia hanyalah satu dari sekian banyak orang di sana yang bingung, kalut, dan tak berdaya. Andit menangis sesenggukan. Ingin rasanya ia menjerit ke langit dan mengatakan pada Tuhan untuk mengangkat semua beban yang sudah tak sanggup lagi ia tahan.
Galuh masih harus mendapatkan donor darah, tapi di rumah sakit stoknya sudah kosong. Ketika Andit mencoba mencari darah di PMI ternyata di sana pun golongan darah yang dibutuhkan Galuh tidak ada. Stoknya kosong. Putus asa akhirnya gadis itu kembali ke rumah sakit.
Lorong rumah sakit yang dingin dan tak bersahabat membuat rasa nyeri di hatinya kian terasa. Segala hal buruk berkecamuk di benaknya. Bagaimana bila tiba-tiba sang ibu harus pergi? Bagaimana bila ia harus mengubur mimpi-mimpinya, sekolahnya, cita-citanya? Bagaimana bila ia tinggal sendirian? Dan banyak ketakutan lain yang menghantui pikiran Anindita.
Bumi ini luas, ramai, dan sumpek. Tapi Andit kian merasa ia sendirian, tersudut dan tak dianggap ada oleh dunia. Kepada siapa ia akan mengadukan nasibnya? Entah sudah berapa lama gadis itu menangis. Ia juga merasakan matanya berat dan mukanya sembab. Ini hari terburuk yang pernah dialami Andit seumur hidupnya.
Andit terkejut saat seseorang mengusap rambutnya lembut. Gadis itu mengangkat wajahnya dan menemukan Satria berdiri di depannya. Andit menyusut air di mata dan hidungnya dengan lengan kaus panjang yang ia pakai.
"Kak Satria..."
Satria berjongkok di depan Anindita. Senyumnya bukan seperti biasa saat ia melempar pesona dan membuat gadis-gadis menjerit histeris. Andit menangis lagi saat Satria menyentuh wajahnya. Gadis itu sesenggukan di pundak Satria. Lelaki itu membiarkan Andit melepaskan tangisnya di sana. Tak sepatah kata pun terucap. Ia hanya mengusap kepalanya lembut.
Andit menarik wajahnya setelah puas menangis. Gadis itu tertunduk sambil meremas ujung kausnya.
"Kamu udah makan?" tanya Satria.
Andit menggeleng lemah. Ia bahkan lupa untuk makan. Seingatnya setelah kemarin sore ia membeli bakso yang mangkal di depan rumah sakit, ia tidak makan apa-apa lagi sampai siang ini.
"Ayo ikut aku. Kita makan dulu." Satria menarik Andit ke kantin rumah sakit. Setelah menghabiskan segelas teh manis hangat dan semangkuk soto, Andit mulai kelihatan tenang.
"Kenapa nggak ngabarin aku?"
"Maaf, Kak. Aku nggak ingat. Hapenya juga ketinggalan di rumah." Andit baru ingat kalau ia seharusnya memberi kabar ke sekolah. Sudah berhari-hari ia tidak masuk. Tentu saja teman-temannya khawatir.
"Amel dan Kiki sudah mencari kamu ke rumah hari itu, tapi kata mereka rumah kamu digembok."
"Kakak kok bisa tau aku di sini?"
"Aku nanya tetangga kamu."
Andit mengangguk paham. Mereka duduk diam memperhatikan orang-orang yang datang dan pergi silih berganti. Kantin ini cukup ramai. Kebanyakan yang makan di sini adalah keluarga pasien yang sedang dalam perawatan rumah sakit. Raut lelah tergambar di wajah-wajah mereka. Saat seperti ini, barulah orang-orang paham bahwa nikmat sehat itu luar biasa. Namun jika sudah lepas dari rasa sakit, orang-orang kembali lupa untuk bersyukur. Andit menghela napas panjang.
"Uhm ... Andit, aku boleh bertanya?"
"Tentu saja. Kakak mau tanya apa?"
"Dari kemarin, kamu sendirian merawat ibu kamu?"
Andit mengangguk. "Aku cuma tinggal berdua sama Ibuk." Andit menceritakan ibunya yang terlalu lelah bekerja. Entah bagaimana seluruh kisah hidupnya mengalir begitu saja. Padahal sebelum ini Andit adalah anak yang kuat. Ia selalu menutup rapat-rapat rasa sakitnya. Namun bersama Satria, bendungan itu seolah tumpah. "Aku bingung, harus minta tolong sama siapa, Kak. Kondisi Ibuk nggak ada perubahan. Tabunganku juga udah menipis."
"Andit, kamu nggak bisa menahan semua ini sendiri. Ada orang yang harusnya bertanggung jawab pada kalian berdua. Pak Burhan. Kita harus hubungi ayah kamu."
"Nggak! Aku nggak bakal minta tolong sama dia! Buat apa?!" Andit bicara nyaris berteriak. Untung saja kantin tidak seramai tadi.
"Tapi Ndit, ... dia masih ayah kamu, masih suami sah dari ibu kamu. Bagaimana pun dia harusnya tahu kondisi ibu kamu sekarang."
"Dia bukan siapa-siapa kami lagi, Kak."
Satria menarik napas panjang. Dia maklum dengan sikap Anindita barusan. Pasti rasanya sakit sekali ditinggalkan seperti itu. Anindita masih merasakan kemarahan pada dirinya. Perasaan dicampakkan kembali hadir, membuka luka lama saat Burhan tak sudi menyapa, bahkan menatap pun tidak. Entah terbuat dari apa hati lelaki yang ia sebut sebagai Bapak.
Dua remaja itu kembali ke ruang perawatan Galuh. Tatapan lemah Galuh menyambut kedatangan mereka. Andit meremas jemari perempuan itu. Telapak tangannya masih pucat dan terasa dingin. Galuh masih membutuhkan donor darah.
"Aku udah coba cari ke PMI kak, tapi golongan darah Ibuk stoknya kosong. Aku nggak tau lagi harus gimana lagi."
"Andit, aku nggak maksa kamu untuk melakukan hal yang tidak kamu suka. Aku nggak akan ikut campur apa pun keputusan kamu. Aku ngerti sama kemarahan kamu, tapi ... aku mohon, coba kamu pertimbangkan lagi untuk menghubungi ayah kamu."
Satria terus berusaha memberikan pengertian pada Anindita. Lagi pula, bukan hal mudah bagi gadis seumuran Andit untuk mengurus semuanya sendirian. Belum lagi biaya rumah sakit yang tidak sedikit jumlahnya. Sampai kapan Andit dapat bertahan dengan tabungannya? Seseorang harus bertanggung jawab atas mereka. Dan orang itu adalah Burhan.
"Kita nggak akan tahu kalau kita tidak mencobanya, Ndit." Anindita masih bergeming. Sejujurnya, apa yang dikatakan oleh Satria ada benarnya. Namun kekerasan hati Andit menghalanginya berpikir jernih.
"Setidaknya, hubungi ayah kamu untuk memberi tahukan keadaan Ibuk. Kita nggak bisa tinggal diam kaya gini, kasian Ibuk, Ndit."
Andit tertunduk. Setetes air mata kembali jatuh. "Kakak benar. Aku akan coba menghubungi Bapak." Andit tergugu. Tangisnya kembali tumpah.
Satria menghapus air mata di pipi Andit. "Nah, gitu dong. Semangat. Mana dia Anindita yang kuat dan selalu semangat itu? Aku udah lama nggak lihat senyumnya," ujar Satria. "Aku juga akan usaha buat cari pendonor buat Ibuk. Kamu tenang aja, ya..." lanjutnya.
Andit mengangguk, "Terima kasih, Kak. Maaf, aku selalu ngerepotin Kakak." Andit kembali menangis.
"Eits! Bukan nangis. Senyuuum...."
Andit menarik bibir, membentuk segaris lengkung di wajahnya. Senyum pertamanya sejak beberapa hari terakhir. Gadis itu akhirnya kembali memiliki harapan.
***

ESTÁS LEYENDO
MISSING DAD 🍒COMPLETED🍒
Novela JuvenilBagaimana mungkin memelihara kebencian dan rasa rindu pada orang yang sama? Anindita kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak ia berusia dua tahun. Segala kesulitan hidup ia jalani hanya bersama ibunya. Sementara sang Ayah, hidup bahagia dengan ke...