Andit memasukkan ponsel ke dalam tas setelah membalas pesan adik tirinya. Sepulang mengajar les, Eki berencana untuk mengantarnya pulang. Sejak kedatangan Pak Burhan di rumah sakit, keduanya memang lebih sering bertemu. Kali ini tak ada alasan lagi untuk menolak tawaran Eki karena memang sudah tidak ada rencana lain.
Lima menit menunggu, deru motor Eki memasuki gerbang bercat biru yang menjadi pembatas antara jalan raya dengan pekarangan rumah Bu Widya yang luas. Area parkir masih penuh dengan orangtua murid yang menjemput anak-anaknya les. Andit berinisitif untuk berjalan mendekati Eki agar tidak terjebak dalam kerumunan kendaraan. Gadis itu menerima helm yang disodorkan remaja yang mirip ayahnya.
Setelah naik di jok belakang, motor Eki bergerak menjauhi gerbang. Andit tak menyangka bisa sedekat ini dengan adik tirinya. Dulu Andit yang hidup berdua saja dengan ibunya memang sempat membayangkan memiliki saudara kandung. Dia memang terbiasa melakukan banyak hal sendiri, tapi sepi sering terasa saat ingin berbagi sesuatu dengan orang lain selain ibunya.
Hari itu, Andit tak sengaja bertemu dengan Eki di perpustakaan sekolah sewaktu masih di SMP. Tak seperti remaja cowok lainnya. Eki bisa dibilang cukup manis. Saat anak lain lebih suka nongkrong di kantin saat jam istirahat, Eki lebih memillih berjibaku dengan buku di perpustakaan. Eki juga bukanlah tipe anak seperti dirinya, menjadikan perpustakaan menjadi pelarian saat tidak memiliki uang saku yang cukup untuk beli jajan di kantin.
Tidak hanya rajin, Eki ternyata anak yang menukai matematika seperti dirinya. Eki sering menanyakan soal matematika yang tak dimengerti saat belajar di kelas. Sejak saat itu perpustakaan menjadi tempat favorit untuk keduanya. Andit sendiri yang sangat pemilih dengan teman cowok bisa dengan cepat dekat dengan Eki.
“Ki, mau nggak aku jadiin adik?” tanya Andit iseng saja.
“Mau banget Kak,” sahut Eki dengan wajah sumringah. “Eki kan nggak punya saudara juga. Eki pengen seperti Kak Andit.”
“Kenapa gitu?” dahi Andit mengerut.
“Kak Andit pinter, bisa mewakili sekolah untuk lomba di mana-mana.” Ujar Eki polos sambil menyodorkan coklat kesukaan Andit.
“Nyogok nih?” Andit mengerling. Sementara Andit membungkam mulut Eki yang kelepasan terbahak di perpustakaan. “Sttt...kamu mau diusir dari sini?”
“Nggak-lah, emang mau ngasih aja buat kakak.” Ucapnya sambil cengar cengir. Saat melihat Eki tertawa, Andit seolah merasakan pernah mengenal wajah yang mirip dengan Eki. Namun sulit sekali menemukan siapa orang yang dikenalnya itu. “Kalau mau besok aku belikan lagi.”
“Kok tahu aku suka coklat?” tanya Andit penasaran.
“Kemarin Eki lihat Kak Amel sama Kak Kiki beli coklat di minimarket. Nggak sengaja dengar obrolan mereka, katanya buat Kak Andit. Tahu gitu dari kemarin Eki sogok pake coklat biar mau bantuin Eki ngerjain tugas.” Eki kembali terbahak dan segera membungkam mulutnya sendiri setelah melihat Andit melotot.
“Dasar kamu ya,” jermari Andit lincah sekali membuka bungkus coklat ditangannya. “Kayak baru sekali aja minta dibantuin ngerjain tugas.”
“Iya..iya...” Eki tersenyum jahil.
“Kamu nggak perlu jadi orang lain Ki untuk bisa punya prestasi. Kamu udah punya modal cukup kok.” Andit mengunyah pelan coklat dimulutnya. Sementara Eki mendengarkan sambil mengerjakan soal seperti penjelasan Andit lima menit yang lalu.
“Maksudnya Kak?” Mata Eki tak beralih dari buku tulis di depannya.
“Iya, kamu itu pinter, rajin pula. Aku yakin, orangtuamu juga nggak memiliki kesulitan ekonomi seperti orangtua Kakak.” Eki mengangkat kepalanya. “Jadi kamu pasti bisa mendapatkan fasilitas apa saja untuk mendukung prestasi kamu.” Andit menatap Eki serius. “Beda dengan Kak Andit, Kakak di sini karena memang harus punya prestasi biar bisa tetap sekolah.”
Senyum mengembang di bibir Andit mengingat kejadian dua tahun yang lalu. Sejak saat itu Eki lebih sering menemuinya, untuk sekedar ngobrol atau sengaja mengajaknya makan di kantin. Eki sering tiba-tiba merajuk setiap kali Andit menolak untuk menemaninya. Andit sendiri heran, bukannya jengah tapi malah suka setiap kali Eki mulai ngambek.
Satu tahun berselang setelah mereka mengetahui bahwa mereka saudara seayah. Eki semakin menjauh karena Bu Sari yang tak lain adalah ibu tirinya melarang Eki dekat dengan Andit. Tidak hanya itu, Pak Burhan, ayah kandung mereka juga terang-terangan melarang keduanya saling akrab. Andit sedih setiap kali bertemu Eki, harus berpura-pura tidak saling mengenal.
Eki kini terlihat lebih dewasa, selain tinggi badannya yang sudah melebihi Andit juga semakin jarang cengengesan meski masih suka becanda. Andit juga senang saat Eki bercerita bahwa dia benar-benar mengikuti jejaknya. Eki sering diminta mewakili sekolah untuk mengikuti lomba. Andit tidak menyangka, Eki serius dengan ucapannya dua tahun yang lalu.
“Kak kita makan dulu ya,” ajakan Eki memecah lamunan Andit yang sejak tadi terdiam di jok belakang.
“Oke,” kebetulan perut Andit juga sudah mulai melilit karena belum diisi siang tadi.
Roda motor Eki menuju sebuah warung bakso favorit mereka. Pengunjung tidak terlalu ramai, sehingga mereka bisa memilih bangku kosong yang terletak di pojok ruangan. Setelah memesan dua porsi bakso, Eki mengikuti langkah Andit yang berjalan meninggalkannya.
“Kak,” tatapan Eki serius membuat Andit melepaskan pipet di mulutnya.
“Hm, apa?”
“Papa akhir-akhir ini sering melamun.”
Wajah Andit menjadi tegang saat Eki memulai pembicaraan. “Memangnya kenapa?”
“Papa sering berantem sama Mama sejak dari rumah sakit. Sejak itu pula aku sering lihat Papa melamun. Kemarin waktu aku pulang ditraktir Kakak, aku juga menemukan Papa sedang melamun di teras.”
“Kamu tanya nggak kenapa?”
“Nggak sih, tapi Papa kelihatan senang saat aku bilang habis ditraktir Kakak karena menang olimpiade.” Andit merasakan tatapan Eki penuh selidik.
“Kok bisa gitu?” Andit semakin penasaran.
“Nggak tahu juga sih,” Eki menggeleng. “Aku pernah nggak sengaja nemuin foto lama Papa sama perempuan diselipin di buku agenda.”
Eki yang bicara dengan wajah datar membuat Andit kesulitan menerka isi hati adik tirinya. Tangan kanannya meraih ponsel dari dalam tas. Tak lama kemudian dua jempol Andit menari diatas layar ponsel. Setelah menemukan yang dicari, Andit menyodorkan ponselnya pada Eki.
“Wanita inikah yang kamu maksud?” tanya Andit sambil menyerahkan ponselnya.
“Iya,” jawab Eki cepat membenarkan.
“Wanita itu ibuku, orang yang ditinggalkan Pak Burhan enam belas tahun yang lalu bersama anaknya yang masih berumur dua tahun.” Andit tersenyum getir. “Pak Burhan meninggalkan kami dengan alasan yang menurutku tidak masuk akal.” Andit tidak peduli dengan reaksi Eki.
Mata remaja di depannya membulat dengan mulut yang masih dipenuhi bakso. Setiap kata keluar begitu saja dari mulut Andit tanpa bisa dikendalikan. Dia tak mau ibunya menjadi orang yang selalu disalahkan. Sudah waktunya Eki tahu yang sebenarnya terjadi.
Tak ada sedikit pun kebencian terbesit di hati Andit pada Eki. Meski Bu Sari dan Pak Burhan pernah memperlakukannya tidak baik. Eki sepertinya juga tak mau ambil pusing dengan masalah orangtuanya. Dia selalu menjadi adik yang baik dan selalu mencari kabarnya jika sudah beberapa hari tidak bertemu.
“Kamu nggak usah khawatir,” senyum mengembang di bibir Andit sambil menatap lurus ke mata Eki. “Aku sudah memutuskan untuk tidak menemui Pak Burhan lagi. Aku juga tidak merasa sakit hati atau apapun sama kamu. Kita tetap bisa sebagai kakak adik, seperti ini sampai kapan pun.”
“Tapi Kak...” Eki menggantungkan kalimatnya. “Bagaimana dengan Papa?”
“Maksudnya...” Andit tidak mengerti arah pembicaraan Eki.
“Sejak dari rumah sakit, Papa hampir setiap hari dipojokkan Mama. Sepertinya Mama takut kehilangan Papa.” Suara Eki terdengar ragu.
“Aku yakin, ibuku nggak akan mengambil Papamu. Ibu tidak seperti orang yang kalian pikirkan.” Andit menundukkan kepala menelan pahit yang dirasakannya kembali.
Semua ucapan Bu Sari kembali muncul dalam ingatannya. Perih, jika Andit teringat kembali dengan pertemuannya dengan Bu Sari. Dia tak ingin melihat lagi wajah ibu tirinya. Apalagi Pak Burhan, orang yang telah menyebabkan banyak penderitaan yang terjadi dalam hidupnya. Namun, tak adil rasanya jika dia harus membenci Eki juga. Adik tirinya hanyalah korban sama seperti dirinya.
“Nanti kamu jadi nganter aku pulang?” tanya Andit setelah menunggu beberapa menit hanya mendapati Eki terdiam. Wajahnya masih menunduk, sibuk mengaduk isi mangkok di depannya.
Andit bisa merasakan ketakutan yang dirasakan adik tirinya. Dia pasti juga tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Pak Burhan. Andit tahu banget bagaimana hidup tanpa seorang ayah. Dia tak mau Eki merasakan apa yang pernah dialami bersama ibunya.
“Iya, kenapa Kak?” Andit berhasil membuat Eki mengangkat kepalanya.
“Nanti aku kenalin sama ibu, kamu mau kan?”
Sempat ragu, “Mau,” jawab Eki kemudian setelah beberapa lama terdiam.
***
YOU ARE READING
MISSING DAD 🍒COMPLETED🍒
Teen FictionBagaimana mungkin memelihara kebencian dan rasa rindu pada orang yang sama? Anindita kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak ia berusia dua tahun. Segala kesulitan hidup ia jalani hanya bersama ibunya. Sementara sang Ayah, hidup bahagia dengan ke...
