Wattpad Original
There are 5 more free parts

Bab 3

40.2K 3.4K 93
                                    


Mataku fokus mencermati kertas-kertas berisi appraisal contract yang diserahkan oleh credit officer padaku. Aku masih memiliki tumpukan dokumen lainnya yang harus aku pelajari sebelum menyerahkannya kembali ke bagian kredit.

Aku tidak memiliki jadwal untuk bertemu customer hari ini. Dalam dua hari kemarin aku menghabiskan waktuku di luar untuk bertemu dengan para calon customer potensialku. Membuat diriku sesibuk mungkin dengan harapan aku bisa mengeluarkan surat wasiat Amelia sejenak dari kepalaku sehingga aku bisa berpikir dengan lebih jernih.

Alih-alih berpikir jernih, Amelia selalu mengikuti ke mana pun aku pergi. Tertanam dalam benakku seperti akar pohon, makin dalam dan semakin dalam. Aku gelisah dan tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan dengan surat wasiat Amelia tersebut.

Seolah memahami situasiku, Max belum menghubungiku kembali sejak terakhir panggilannya pada hari Sabtu yang lalu. Seperti yang laki-laki itu katakan padaku, ia sengaja memberiku ruang dalam satu minggu ini untuk berpikir dengan tenang. Walaupun setiap detik yang aku lewati adalah bom waktu bagiku.

Take it or leave it. Ya atau tidak.

Ya Tuhan. Aku dikelilingi tembok di mana-mana, seperti berjalan di tengah labirin yang aku tak tahu arahnya.

Take it. Aku mengambil resiko menerima Max sebagai suamiku, meski aku sama sekali tak mengenal laki-laki tersebut apalagi mencintainya.

Tetapi, cinta bisa datang setelahnya, Eva. Ya, tentu saja! Sayangnya, aku tak tahu kapan akan terjadi. Bisa saja tak pernah terjadi mengingat trauma yang sudah dijejakkan begitu kuatnya oleh papaku sendiri.

Or ....

Leave it. Mengabaikan isi surat wasiat itu. Tetapi, aku akan kehilangan kesempatan untuk membesarkan baby Ben seperti yang dikehendaki Amelia. Kemungkinan besar, setelahnya aku akan terus dikejar oleh rasa bersalah.

Tanpa kusadari, satu tanganku sudah naik dan memijit kecil-kecil pelipisku. Mentalku tidak siap andai pada akhirnya aku akan mengambil keputusan salah satunya.

"Eva! Eva! Ya ampun. Apa, sih, yang sedang kamu pikirkan sampai tak mendengar aku memanggilmu berkali-kali dari kursiku."

Mendengar namaku dipanggil, aku menegakkan kepala dengan cepat tanpa bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku mendapati Agnes—rekan sesama divisi marketing, tengah berjalan ke arahku. Tangannya berkacak pinggang saat berdiri di depan mejaku.

"Kamu ada masalah apa? Sepertinya serius banget, sampai kepalamu harus dipijit-pijit begitu." Bola mata Agnes menatapku ingin tahu. Aku menggeleng dan melemparkan senyum seringan mungkin. Tak menduga kalau keresahanku sudah sangat terlihat dari luar.

"Tidak. Tidak ada yang serius. Thanks untuk perhatianmu."

"Tadi telepon di meja Zeline berbunyi, ternyata resepsionis sudah salah sambung. Seharusnya ia ingin bicara denganmu. Eh, bukannya telepon lagi dengan nomor extension yang benar, dia malah titip pesan kalau kamu ada tamu. Tidak sopan." Agnes berdecak kesal.

"Maaf jadi merepotkanmu, Agnes. Thanks juga sudah menyampaikannya padaku." Aku memberikan senyum tulus sebagai permintaan maafku.

Aku tak bisa menebak siapa yang datang mengunjungiku di kantor siang-siang begini. Customer biasanya tak pernah mau bila harus datang ke kantor, kecuali benar-benar terpaksa. Mereka lebih menyukai menghubungi ponselku langsung dan kami membuat janji bertemu di luar.

Siapa yang datang?

Aku beranjak dari kursi. Secara bawah sadar, tanganku langsung menyambar ponsel serta buku catatan yang selalu aku bawa ke mana pun. Sebelum berlalu, aku menyempatkan untuk menepuk lembut lengan Agnes agar wanita tersebut tidak keki-kaki amat padaku.

THE TESTAMENTWhere stories live. Discover now