Chapter 19 : Hidup dalam neraka

117K 9.4K 442
                                    

Seorang gadis meringkuk di atas kasur memeluk dirinya sendiri dengan mata bengkak dan linangan airmata yang tak berhenti mengalir dari sumbernya. Dadanya bahkan terlalu sesak untuk menampung oksigen.

Ya itu adalah aku.

Tak kusangka dan tak pernah terbayangkan diriku akan berada dalam jurang terjal ini. Bagaimana bisa nasibku bisa mengenaskan sekali?

Aku sudah kembali ke New York, ke mansion Gabriel. Ya, Gabriel. Bukanlah Reagan yang dulunya kuanggap Gabriel. Mereka kembar. Ternyata mereka adalah kembar. Bagaimana ceritanya sampai tak ada yang tau bahwa Gabriel punya kembaran? Kenapa tak ada satu manusiapun yang tau? Ataukah hanya aku saja yang begitu bodoh?

Andai boleh memilih, aku benar-benar tak ingin dilahirkan ke dunia ini. Cabut saja nyawaku Tuhan! Setelah bunuh diri pun aku masih belum mati.

Jangan bilang hidup selucu itu.

Nasib sial memang selalu ditakdirkan untuk orang-orang bodoh sepertiku.

Aku meremas dadaku keras mencoba menghilangkan sakit tapi tentu saja tak berguna sama sekali. Malah semakin menjadi-jadi. Kasur ini... kamar ini... tempat ini... kamar mandi itu...

Semua ini hanya mengingatkanku pada sosok dirinya. Reagan. Dan sekarang, mungkin dia tak pernah kuizinkan kembali lagi ke hatiku. Tepat saat dia sudah menyentuh hatiku, dia kembali menghancurkannya.

Isak tangisku kembali muncul saat bayang-bayang wajahnya menghantam kepalaku. Oh god aku tak tahan dengan kenyataan ini.

***

Tiga hari berlalu dalam kurungan. Tidak ada yang mengurungku, akulah orang yang mengurung diriku sendiri. Kini aku tak lagi menangis. Tubuhku begitu lemas hingga untuk membuka mulut saja aku tak mampu lagi.

Oleh karena itu aku tak makan apapun selama tiga hari selain minum air dari kamar mandi!

Setragis itu memang. Aku ingin mati. Harusnya aku tak menyentuh air. Biarkan aku mati kelaparan dan kehausan. Tapi aku belum sanggup.

Entah apa yang kuharapkan dari hidup ini.

Kuusap mataku, menatap keluar jendela pada mobil-mobil yang berderet di bawah sana. Lalu sosok itu muncul keluar dari dalam mobil dengan balutan setelan formalnya yang serba hitam.

Gabriel. Bukan Reagan.

Hatiku kembali diiris dan aku kembali meringkuk di kasur. Reagan, tidakkah dia akan datang?

Tok tok tok.

Aku tak menggubris ketukan di pintu. Palingan itu adalah para pelayan yang mencoba memaksaku makan. Semenjak hari dia membawaku kembali ke New York, Gabriel tak pernah datang untuk menjumpaiku di dalam kamar. Aku bersyukur dia tak menampakkan dirinya karena aku tak siap melihat wajahnya. Pikiranku akan melalang buana pada Reagan.

Tok tok tok.

Mungkin aku perlu memaki mereka untuk berhenti memberiku makan dan mengganggu masa berdukaku. Dengan lemas aku turun dari ranjang, membuka pintu.

Reagan?

Tidak. Gabriel. Dia berdiri di depan pintu dengan wajah dingin dan sebuah senyum tipis. Aku langsung mendorong kembali pintuku tapi dengan gesit pria itu menahannya.

"Istri durhaka."

Aku kembali mendorong pintuku sebisa mungkin tapi dengan tenaga lemahku lawan tenaga kuatnya, dialah yang memenangkan pertarungan pintu ini. Aku melepaskan tanganku dari pintu dan dia masuk ke kamar.

"Makan."

Dia mengambil nampan yang baru saja dibawakan oleh pelayan lalu di letakkan di atas meja tak jauh dari tempatku berdiri. Makanan itu tampak seperti kotoran di mataku. Aku tak akan memakan apapun untuk melancarkan aksi bunuh diriku yang kedua kalinya ini.

TRAPPEDOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz