8. SEINA BUKAN URUSAN BAGA

322 27 0
                                    

Baga mendorong pintu cafe yang ia kunjungi kemarin. Ia kira ini akan sesepi semalam, ternyata jauh dari dugaannya. Beberapa pengunjung menatap Baga yang berdiri di tengah pintu untuk beberapa saat, sebelum semakin melangkah lebih jauh. Seingatnya ia benar-benar meninggalkan ponsel itu tepat pada meja dekat jendela yang sekarang diduduki dua perempuan di sana.

"Permisi," kaki Baga mengarah pada seolah pelayan.

"Semalam ada ponsel yang ketinggalan di sini?" Baga menunjuk meja yang dia tempati.

"Di meja sana."

Pelayanan perempuan itu diam sejenak, tampak mengingat. Kemudian menyuruh Baga menunggu. "Biar saya tanya ke teman saya dulu, ya, kali aja ada yang tau. Tunggu sebentar."

Baga mengangguk sekilas. Tubuh tingginya masih memakai seragam sekolah serta berbalut jaket hitam yang membuatnya tampak mencolok di sana. Sejenak ia mengedarkan pandangan. Cafe ini sudah ramai. Lalu, seseorang menghampiri. Laki-laki, terlihat masih muda dengan kumis tipis. Rambutnya  gondrong dikuncir.

"Hp kamu yang ketinggalan?" Pertanyaan itu yang pertama keluar saat berhadapan dengan Baga.

"Iya."

"Semalam saya memang nemu hp di meja situ." Ujar laki-laki itu. "Tapi, sekarang hp-nya nggak ada di saya."

Alis Baga terangkat. "Jadi di mana?"

"Saya kasih ke yang punya Cafe. Beliau yang simpan. Kalau kamu mau ambil mungkin nggak bisa sekarang, orangnya nggak ke sini soalnya."

Baga mengerjap pelan. "Kira-kira kapan saya bisa temui orangnya?"

"Besok. Kamu ke sini lagi. Di jam-jam segini. Nanti biar saya yang bilang ke pak Adam kalau yang punya hp lagi cariin."

"Oh, iya .. ini atas nama?"

"Baga."

Waiter itu mengangguk, menyungging senyum ramah.

****

Langit sudah gelap saat Baga berhenti di jembatan penyeberangan orang. Dia berdiri di sana, menengok ke arah bawah. Meskipun sudah malam begini, kendaraan masih ramai berlalu lalang. Lampu-lampu jalan dan gedung tinggi mulai menyala. Setidaknya masih ada alasan untuk Baga tetap bertahan. Sekalipun apa yang dihadapinya selalu membuat sesak. Terlalu menghimpit dada Baga.

Rambutnya yang lurus diterpa angin, Baga memejamkan mata sejenak. Menghirup udara dalam-dalam. Sebelum dia menoleh dengan raut masam, seseorang lebih dulu menendang kakinya cukup keras. Umpatan Baga tertahan.

"Iseng lo?" Tanya Baga ketus.

Bukannya minta maaf, Indira malah menunjukkan senyum miring. Bersedekap dan pindah posisi di samping Baga.

"Ngapain lo di sini?" Tanya Indira, sebenarnya tidak peduli juga. Cuma sekedar basa-basi.

"Mau loncat?"

Baga menoleh tajam. "Gue nggak punya alasan buat lakuin hal konyol kayak gitu."

"Kirain."

"Lain kali ga usah mengira-ngira."

BAGAWhere stories live. Discover now