duabelas - Dhika

244 72 55
                                    

vote dan comment nya jangan lupa ngogghey

-

Mata Azil yang semula terpejam kini tiba-tiba jadi terbuka lebar. Netranya membulat namun kosong ke arah langit-langit dengan napasnya yang tidak berhenti berderu kencang. Sprei bantalnya ikut basah oleh keringat cowok itu yang kini sudah membanjiri seluruh kulit kepala, pelipis hingga punggungnya.

Azil memejamkan matanya beberapa saat sebelum ia buka kembali. Dibenarkannya posisi tidurannya menjadi duduk sambil menghadap ke arah jam dinding di kamarnya. Pukul dua malam.

Dadanya ia elus beberapa kali hingga yang di dalam sana merasa setidaknya lebih tenang dari sebelumnya.

Terkadang, malam-malamnya masih harus dimimpikan kenangan yang sangat menyiksanya itu. Ada satu sudut hati yang masih saja tidak bisa merelakan. Sudah ia coba lupakan berkali-kali, namun tak kunjung juga beberapa lembar ingatan pedihnya itu sirna dari dalam sana.

Azil masih saja mengingat kepergian Madhikari. Namun dengan cara yang menyiksa seisi dadanya hingga saat ini.

▪︎ | Juni 2016 | ▪︎

"Dhika pasti ga kenapa-kenapa kan, teh?"
Azil menatap lekat teh Selene yang berada di sebelahnya, wajahnya ditekuk dalam-dalam.

Malam ini lorong rumah sakit rasanya begitu dingin, padahal sedari tadi banyak pasien dan perawat mundar-mandir dengan gesit di ruang ICU yang entah mengapa terlihat sepuluh kali lebih menyeramkan saat ini.

Teh Selene memejamkan matanya sebentar, mencoba menguatkan dirinya sekali lagi. Kemudian menghela napasnya dalam-dalam sebelum menatap balik adik pertamanya yang masih mengenakan seragam putih biru itu.

Dengan peraasaan tidak karuan serta tubuhnya yang bergetar seirama dengan detak jantungnya yang sangat cepat, buru-buru Azil dijemput cewek itu begitu mendengar Dhika, adik keduanya dihantam keras oleh sebuah mobil tadi sore di perempatan lampu merah. Ketika papah dengan tidak sengaja melepas genggaman tangan mungil Dhika saat ia hendak merogoh saku celananya untuk mengangkat sebuah panggilan dari ponselnya.

Harusnya hari ini menjadi hari yang dinanti-nanti oleh Azil dan keluarganya.
Bulan Juni tanggal enam, harusnya malam ini Azil sedang meniup lilin kue ulang tahunnya di rumah bersama papah, mamah, teh Selene dan Dhika.
Harusnya malam ini Azil sudah membuka kado dari papah dan mamah.
Harusnya malam ini Azil sedang bermain hotwheels barunya bersama Dhika di kamarnya.
Harusnya teh Selene sekarang sudah mengomeli kedua adiknya karena terlalu asyik bermain hingga lupa untuk sholat.

Dan tidak seharusnya musibah ini terjadi.

Lantas tadi jiwa polos Dhika menuntun kakinya untuk menyebrangi jalan raya seorang diri. Masih tidak mengerti, apa arti dibalik lampu warna merah bergambar orang yang menghadapnya di ujung jalan sana.

Papah berteriak nama Dhika begitu lantang. Berlari setelah menjatuhkan kue ulang tahun untuk Azil, ketika melihat putra bungsu nya sudah menuruni trotoar.

Masih teringat jelas suara klakson mobil yang sangat nyaring. Juga suara hantaman sebuah objek yang melayang lalu tersungkur cukup kencang di atas aspal dengan lumuran darah yang keluar dari kepalanya beberapa detik kemudian.

Mulai detik itu pula papah membenci dirinya sendiri. Papah memaki dirinya sendiri untuk yang ke sejuta kali nya hari ini. Hatinya hancur lebur. Dirasa tidak pantas menjadi seorang ayah dari seorang malaikat kecil berusia enam tahun yang masih sangat lugu.

Sementara mamah yang dari tadi tidak berhenti mengisakkan tangisnya di sebelah papah kini terjatuh lemah di atas kakinya. Dunia mamah seakan runtuh ketika melihat Dhika yang terbaring di atas ranjang pasien dibawa turun dari mobil ambulan beserta beberapa selang yang dihubungkan kepada bocah manis itu untuk membantunya bernapas.

Shady | Lee Haechan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang