10 - Should We?

12.4K 1K 86
                                    

ALVINO

Beberapa hari ini entah kenapa aku merasa Sheenaz sedang menghindariku. Aku tidak tahu apakah perasaanku ini benar atau salah, namun yang membuatku yakin kalau Sheenaz sedang menghindariku adalah setiap kali aku bertemu dengannya di koridor atau di mana pun itu, ia selalu membuat alasan untuk segera pergi dari hadapanku.

Minggu kemarin ketika aku menemukan keberadaannya di taman rumah sakit, lalu saat aku menghampirinya, aku tersadar kalau Sheenaz sedang dalam mood yang tidak baik.

Ketika mataku bertemu dengan matanya, ada sorot yang berbeda di sana. Sorot matanya sendu, berbeda sekali dengan sorot matanya yang selama ini selalu berbinar ketika mengobrol denganku maupun dengan yang lainnya.

Bukan hanya aku yang merasa Sheenaz menjadi pendiam belakangan ini, Erlan dan Gema pun ternyata menyadari perubahan tersebut.

Seperti kemarin lusa ketika aku baru menyelesaikan jadwalku dan hendak bersiap untuk pulang ke apartemen, namun Erlan dan Gema malah masuk ke dalam ruanganku lalu duduk di salah satu kursi dan kemudian langsung menginterogasiku.

"Lo sama Sheenaz lagi ada masalah?" Gema yang pertama kali membuka suara.

Aku mengangkat sebelah alisku bertanya, "Nggak." Jawabku jujur yang masih sambil memasukkan barang-barangku ke dalam tas yang kubawa.

"Gue tanya Sheenaz juga jawabnya begini. Kenapa sih?" Erlan ikut bertanya penasaran.

"Buset dah lo berdua nggak percayaan banget sama gue?" Aku berdecak seraya menatap mereka berdua jengah. "Gue juga nggak tahu kenapa. Setiap gue ketemu sama Sheenaz, dia selalu ngehindarin gue."

"Nah itu!" Seru Gema. "Lo ada salah kali sama dia?" Lanjutnya lagi.

Aku menggelengkan kepalaku setelah mengingat-ingat kalau selama ini hubunganku dan Sheenaz baik-baik saja.

"Perasaan terakhir kali dia nganterin lo balik si Sheenaz masih baik-baik aja deh. Kenapa sekarang dia jadi jaga jarak begini sama lo? Ada kejadian yang nggak ngenakin nggak pas dia nganterin lo balik, Vin?" Tanya Erlan bingung.

Aku kembali menggelengkan kepalaku. "Pas gue sama dia sampai di unit gue sih ada Leica di sana."

Erlan dan Gema serentak saling menatap. "Serius?" Tanya Gema shock.

"Kenapa sih?" Tanyaku tidak mengerti.

"Masih nanya kenapa lagi ini anak!" Ucap Erlan menatapku tidak percaya.

Aku tidak menjawab dan menatap mereka berdua menunggu salah satu di antara mereka menjelaskan apa maksudnya.

"Lo nggak ngerasa kalau Sheenaz suka sama lo?" Tanya Gema gemas.

"Anjir kelamaan jomblo jadi nggak peka begini." Erlan menimpali.

"Sheenaz suka sama gue?" Tanyaku yang langsung diangguki oleh mereka berdua. "Nggak mungkin lah. Buktinya apa coba?"

"Astaga susah emang kalo jiwa kepekaannya udah gone." Decak Gema seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lo nggak sadar waktu lo sakit si Sheenaz se khawatir itu sama lo?" Kali ini Erlan kembali bersuara.

"Ya khawatir sebagai teman emang salah?" Aku mencoba mengelak.

"Teman, you said?" Ucap Erlan terkejut. "Jangan dikira gue sama Gema nggak tahu kalau kalian bahkan udah pakai aku-kamu-an ya. Sejauh ini gue nggak pernah dengar tuh lo ngomong pakai aku-kamu-an ke orang lain selain sama Leica."

Aku bahkan tidak sadar dengan perihal tersebut. Entah sejak kapan panggilan tersebut berubah dari lo-gue menjadi aku-kamu. It just happened naturally.

CITO. [COMPLETED]Where stories live. Discover now