Diamnya Lino

408 97 22
                                    

Lino, lo kejem banget, sih.

No, lo bego. Tuh, liat akibat perbuatan lo! Lia patah tulang!

Otaknya nggak dipake, sih.

Marah ya marah. Tapi jangan sampe nyelakain adek kelas juga, dong! Kelas kita banyak yang ngomongin, nih. Tercemar gara-gara lo.

Ya. Kalimat-kalimat itu memenuhi benak Lino. Lino yang beberapa hari ini memutuskan untuk membungkam mulutnya dari pagi hingga petang pun sebenarnya tak ingin melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain. Apalagi ini menyangkut Lia dan para sahabatnya. Lino bukan tipe orang yang kejam.

Tapi nyatanya dia sudah melukai Lia.

Itu yang ia pikirkan.

Kalau seandainya Lino tidak mendengar kalimat-kalimat menyakitkan itu pun, dia akan tetap merasa bersalah. Siapa juga orang yang tidak ikut sakit bila orang yang dicintainya sakit? Apalagi penyebabnya adalah dirinya sendiri.

Sekadar informasi, setelah mendengar cacian teman-teman di sekolahnya, Lino makin merasa terpuruk. Lino bukan lagi menganggap dirinya orang yang gagal melindungi Lia. Lino menganggap dirinya orang jahat yang tidak memiliki peri kemanusiaan. Entah dia pantas mendapatkan Lia atau tidak. Yang jelas, yang ia inginkan hanya dua. Maaf dari Lia dan keluarganya, juga kesembuhan Lia.

Semenjak melalui hari-hari yang diisi oleh cacian teman sekolahnya, Lino belum angkat bicara. Masih tetap membungkam. Tak bicara pada siapapun, termasuk pada sahabat-sahabatnya.

Untungnya, pintu rumahnya tidak dikunci. Setelah Chandra bertanggung jawab atas rusaknya pintu rumah Lino, Lino memutuskan untuk membiarkan para sahabatnya keluar masuk rumahnya. Sayang, Lino tak menanggapi ucapan kawan-kawannya. Hanya diam, diam, dan diam. Sesekali ia tersenyum, mengangguk, menggeleng, namun dengan mulut terkatup.

Macam juragan sariawan.

"No, oi! Lo nggak bosen apa, diem mulu?" Abin menekan-nekan hidung mancung Lino. Lino yang sedang mengelus kucing-kucingnya hanya mengangkat alis.

"Udah, No. Lupain aja omongan orang di sekolah." Chandra menepuk bahu Lino. Lino lagi-lagi hanya mengangkat alis.

"Halo pengabdi kucing!" Handi tiba-tiba muncul di ruang keluarga Lino. Dari kamar mandi. Jadi sedari tadi dirinya menerima telepon dari Lia di kamar mandi Lino. "Tadi gue teleponan sama Lia. Lo denger nggak?"

Lino berhenti mengelus kucing. Matanya menatap Handi. Tetap dengan ekspresi datar, Lino beradu tatap dengan Handi beberapa saat.

Dia ngomong apa aja?

Sayang, pertanyaan itu hanya terucap di batin Lino. Mulutnya tetap terkatup.

"Denger nggak?" tanya Handi ulang.

Lino tak menjawab. Tangannya kembali mengelus kucing. Matanya menyorot ke bawah.

"Diem mulu lo, Mas Lino jelek. Entar bibir lo nyatu baru tau rasa."

Lino melotot pada Handi. "Sembarangan aja lo kalo ngomong."

Handi nyengir. "Akhirnya lo ngomong juga."

"Nggak sengaja."

"Dih?!"

"Emang tadi Kak Lia ngomong apaan, Bang?" tanya Jojo dengan senyum berseri-seri. Sekadar informasi, gigi Jojo sudah tidak berbehel sejak dua hari yang lalu.

"Dia nanyain Mas Lino," jawab Handi.

Jojo membuka mulutnya lebar-lebar, berlagak kaget. Anak itu menatap Lino usil. Lalu sebelah tangannya ia letakkan di dada. "Mas, aku kok deg-degan ya? Mas Lino deg-degan nggak?" Tangan Jojo yang satu lagi bergerak menyentuh dada Lino.

Mas Kucing [END] ✓Where stories live. Discover now