28. 🍂 Ujian Kesabaran.

30.3K 3.7K 89
                                    


Btw, di part ini mulai agak berat yaaaaa.....
Harap sabaaaaar.

🍁🍁🍁🍁

Aku masih perang dingin dengan Mas Bram. Mungkin lebih tepatnya, aku yang masih malas ngomong. Sejak malam itu, ketika wajah kami begitu dekat, aku menjaga jarak aman. Meski aku tahu, itu cara absurd nya supaya aku turun dan makan.

Sudah tiga hari berselang, kami masih pulang pergi bersama, meski tidak banyak saling bicara. Aku enggan memulai pembicaraan, sepertinya Mas Bram pun sama. Walau seringkali aku mempergoki dia menoleh beberapa kali saat kami duduk bersisian, seperti memastikan sesuatu.

Aku masih kesal.

Glenca Aurora.

Nama itu, memang ada saat meeting internal antara departemen media, departemen kreatif dan departemen produksi dalam brief klien, konsep pembuatan Iklan.

Bahkan saat aku meeting penentuan media dengan klien di awal, aku juga tahu kalau Pak Alex, General Manager PT Aerin yang salah satu produknya adalah Aerin beauty care, klien VIP kami itu merekomendasikan Glenca Aurora sebagai talent.

Tapi, aku baru tahu kalau Glenca adalah mantan pacar Mas Bram. Lebih tepatnya, cinta pertama Mas Bram. Wajahnya tak asing, karena profil Glenca sudah pernah kubaca, saat kami meeting internal, walaupun hanya sekilas.

Ah, dunia emang gak selebar daun kelor, tiba-tiba saja mereka dipertemukan kembali di sini.

Sebenarnya, yang membuatku sebal, kenapa hari itu Mas Bram lebih memilih menemui dia dan Pak Alex, daripada membantuku menjelaskan pada anak-anak kantor, tentang hubungan kami.

"Mau sampai kapan diem gitu?" tanya Mas Bram akhirnya. Ini hari ketiga, setelah perjalanan kami pulang pergi hanya didominasi lagu-lagu. Jika pagi aku akan pura-pura sibuk mengecek pekerjaanku dalam perjalanan, maka ketika pulang aku akan pura-pura tidur.

"Pembelian ruang untuk slot iklan Aerin beauty care sudah clear kan?"

Belum sampai kujawab, dia malah menambah pertanyaan yang menyebalkan. Kenapa? Mau memastikan mantan pacar tampil di slot media yang sudah disepakati?

"Kok diem?" Mas Bram melirikku, lalu menepuk saku celana kirinya, "Nggak mau pinjem Hp lagi?"

Cih. Aku melengos.

"Nggak mau, nanti ada yang berdiri."

Mas Bram menahan tawa gelinya, "Masih marah?" tanyanya lagi. Aku tak menjawab, aku tak mau mendengar penjelasan yang tak sesuai harapan, lalu aku uring-uringan. Pernikahan kami, kurang 56 hari lagi. Aku harus bisa menambah stok sabar lebih banyak.

"Cepet tua lho kalau ngambekan," ujarnya kalem.

"Emang sudah tua," balasku ketus. Mas Bram tertawa. Tangan kirinya terentang, mengusap-usap pucuk kepalaku yang tertutup jilbab warna mint pagi itu.

"Kalau ngambek lucu ya, padahal sudah kukasih waktu tiga hari lho, kukira sudah sembuh, masih awet ternyata."

"Aku bukan Mas Bram, yang kalau kesal masuk gua, tiga hari lalu sembuh."

"Terus? Aku harus gimana biar kamu nggak ngambek lagi?"

"Tauk."

"Lah?"

Dia bingung. Hening sesaat. Mas Bram kembali fokus menyetir. Kulirik penampilannya hari ini, ah selaluuuu saja tampan dan mempesona. Benar kata Nana, menyembunyikan hubungan kami juga bahaya, ada banyak tikungan yang bisa jadi jalan serobotan kalau aku nggak waspada.

Jodoh Pasti Bertamu [TERBIT]Onde histórias criam vida. Descubra agora