21. 🍂 Ujian Pertama

33K 4.1K 60
                                    

"Yakin berhenti di sini?"

Mas Bram menatapku dengan wajah ragu. Mobilnya berhenti di pinggir jalan sekitar tujuh kilometer dari kantor. Aku mengangguk mantap.

"Iya di sini saja, nanti dari sini sampai kantor aku bisa naik ojek online," jawabku sambil bersiap turun.

"Rin, tunggu." Mas Bram menahan tanganku, "aku nggak rela deh kamu di bonceng laki-laki lain, iya kalau ojeknya tua, kalau muda?"

"Cemburu?"

"Ya nggak gitu juga Rin, ribet banget sih, bareng sampai kantor kan gak masalah." nada suaranya sudah mulai naik satu oktaf. Sejak semalam, setelah acara lamaran selesai, dia memaksa untuk tiap hari menjemputku dan berangkat bareng-bareng ke kantor. Sejak semalam juga kami berdebat, aku tidak mau dan dia kekeh dengan keinginannya.

"Mas," panggilku pelan, mencoba tetap kalem supaya emosinya turun, "Kan kita sudah sepakat, merahasiakan hubungan kita sampai menjelang hari H, kalau aku nebeng sampai kantor, bisa jadi gosip karyawan lain lho," tuturku kemudian, berharap dia bisa paham dengan apa yang sudah jadi kesepakatan awal.

"Lha. Kan kita tiga bulan lagi juga menikah Rin, nggak masalah kalau mereka tahu. Justru bagus kan, jadi nggak ada anak kantor yang akan pedekate sama kamu."

"Nggak mas, please, kita sudah sepakat lho ini."

Mas Bram berdecak, menyandarkan punggungnya dengan sedikit kesal. Tangan kanannya yang tadi memegang lenganku sudah dilepasnya.

"Terserah kamu deh, pakai taksi online saja, ku tunggu sampai dapat." Dia mengalah, tapi dengan wajah berlipat kesal. Aku hanya nyengir. Sedikit menyentil hidungnya.

"Agak posesif ya ternyata," godaku kemudian. Mas Bram sedikit terkejut, tapi aku pura-pura tak melihatnya, sibuk membuka aplikasi transportasi online, tapi dari ujung mataku aku bisa melihat dia salah tingkah. Lucu juga ternyata, sebelum lamaran saja sok-sok an gombal. Bahkan saat lamaran dengan beraninya di muka hadirin, melempar gombalan yang membuat mukaku bersemu merah. Sekarang? Baru di sentil hidung sudah salah tingkah. Kek anak kucing ketahuan nyolong ikan.

"Udah dapat." Ku tunjukkan layar ponselku yang menampilkan informasi driver yang akan menjemputku, berikut kendaraan yang dipakai. Lelaki seumuran Pak Lek Nur. Nggak tua-tua banget, juga nggak muda.

"Oke." Mas Bram hanya mengangguk.

Lima menit menunggu, mobil jemputanku datang. Berhenti tepat di depan mobil yang kutumpangi saat ini.

"Aku pergi dulu ya Mas," pamitku sembari membuka pintu, tapi dia juga melakukan hal yang sama, "lho? Mas mau kemana?" tanyaku heran, kuurungkan langkahku keluar mobil.

"Ya nganter kamulah, sekalian mau ngomong sama Bapaknya."

"Ngomong apa?" tanyaku heran, feelingku sudah nggak enak.

"Ya ngomong, titip kamu dan jangan ngebut-ngebut."

Rasanya aku ingin tertawa. Menarik tangannya supaya duduk kembali. Tak kusangka, dia begitu posesif seperti ini.

"Nggak usah, kalau Mas ikut turun trus ada anak kantor lewat gimana?"

"Kalau dia macam-macam?"

"Negthink banget sih Mas." protesku tak suka, "Dari sini ke kantor cuma tujuh kilometer lho, kalau Mas takut, bisa tuh nanti ngikutin dari belakang. Lagian ini masih pagi, bapaknya juga gak mau akunnya di suspend kali, dia butuh duit buat makan."

"Ya tapi kan..."

"Kalau debat terus bisa telat lho ini." kuketuk-ketuk jam tanganku.

Mas Bram menghela napas. Lagi-lagi dia mengalah.

Jodoh Pasti Bertamu [TERBIT]Where stories live. Discover now