F A L L

329 60 4
                                    

story by

puffylite

— F A L L —

Mari kuceritakan satu kisah klise anak muda, perkara renjana yang mampu ubek-ubek rasa.

Duduk dulu, minum kopi mu jika perlu.

Tentang Jeongin dan Hyunjin, nama mereka. Mulanya, di tahun 2007, keduanya masih amat belia. Bersua sebab Hyunjin yang tersasar di suatu perkarangan rumah tua di malam natal dan Jeongin sebagai pemiliknya.

Saat itu, Hyunjin ilang arah. Manik arangnya melempar ke kanan-kiri, depan-belakang. Baju kaus oblong kebesarannya ia remat kuat-kuat. Sementara bocah yang satunya mencoba mengintip di balik jendela. Gorden berjuntai berwarna oranye itu disingkap sedikit. Sebab cukup tinggi, ia berjinjit. Munculkan mata dan separuh hidungnya saja. Ibunya di rumah bibi, di rumah besar itu, ia di malam hari tersebut hanya sendiri.

Hyunjin berjongkok, memeluk lutut sebab sudah hampir sepuluh menit tidak ada tanda-tanda orang tuanya tiba. Jeongin kemudian ambil tindakan; ia berlari mengambil kursi kayu di ruang makan, mengangkat ke pintu utama untuk ia jadikan pijakan. Kunci ia dapat, pintu ia buka dengan cepat.

"Kamu siapa?" Tanyanya. Hyunjin berbalik menghadap Jeongin, kemudian bangkit dengan mengusap kasar ujung mata, ia sudah menangis ternyata.

"A-aku Hyunjin."

Jeongin telisik Hyunjin dari ujung kepala hingga kaki. Kepalanya terangkat dengan bibir maju, pongah melirik bocah lelaki itu. "Sana pergi! Ini rumahku. Kamu mau mencuri, ya?" Kedua tangan kurusnya diletak di pinggang, tatapannya pun garang.

Hyunjin kecil menggeleng patah-patah. "B-bukan.."

Jeongin tetap layangkan tatapan musuh, tidak perduli dengan Hyunjin yang bergeming takut dan beri pandangan keruh.

Jeongin maju, mulutnya mengatup dengan gigi beradu-menggesek-gesek satu sama lain sebelum tubuh kecil Hyunjin didorong kuat hingga terduduk di semen. Mau disalahkan bagaimana, Jeongin masih terlalu muda, pula sifatnya tidak bisa dijadikan pembanding dengan orang dewasa. Ia nakal, mungkin sebab ia anak tunggal.

Yang terjadi selanjutnya adalah Hyunjin buat satu lengannya menutup wajah, sementara mulutnya terbuka lebar dengan suara tangis melengking besar. Jeongin gelagapan, ia pikir ia tadi hanya dorong bocah itu pelan. Jeongin lemparkan manik ke segala sudut, berharap tidak ada orang yang mungkin akan menudingnya dan buat ia tersudut.

Jeongin merendahkan kakinya untuk menunduk. Kemudian kepala Hyunjin ia tepuk-tepuk. Bibir kecilnya melengkung ke bawah dan dengan mata yang juga ikut basah.

"Sstㅡ jangan menangis!" Namun malah tangisnya yang ikut tumpah. Tidak selama Hyunjin, tangisnya berhenti. Tangannya merosok ke saku celana, mengambil sebungkus permen berperisa buah, lalu sodorkan pada orang di hadapan yang masih sesenggukan bocah.

"J-jangan menangis.."

Hyunjin dengan isakan yang bersisa, awaskan tangannya dari wajah dan dongakkan kepala. Ia menarik lendir hidung yang meleleh dan menggosok mata dengan punggung tangan. Ia melirik ke arah makanan manis tersebut bergantian dengan paras Jeongin yang tampak sedih. Permen ia terima ragu-ragu, membuka bungkusnya yang sembarang di lempar dan isinya dimasukkan ke mulut. Bahunya masih bergerak naik-turun.

Pucuk hidung Hyunjin hampir semerah tomat. Jeongin arahkan ujung jarinya untuk sentuh itu. Kelopaknya mengedip beberapa kali.

"Hidungmu merah sekali."

Hyunjin pun juga lakukan hal yang sama pada anak di muka, namun ia sedikit menekan pucuk itu dengan telunjuknya. Kemudian keduanya tertawa. Jeongin tarik pergelangan tangan Hyunjin, namun sebelum itu ia bilang, "Ayo masuk! Aku punya permen yang banyak!"

Sejak saat itu, alur mereka terikat padu, mengalir seiring tuanya waktu. Jeongin dan Hyunjin, dua manusia yang bahkan kerap disangka saudara, terlalu mirip, hingga ke perawakan keduanya. Genap 14 tahun bersama, berpikir bahwa keduanya bisa berjalan beriringan tanpa kendala, siapa sangka bahwa sebersit 'rasa' dipendam rapat oleh salah satu mereka.

Tidak tahu tepat waktu, tapi Hyunjin tak bodoh untuk menyadari akan bagaimana debaran jantungnya di saat kulit Jeongin menyentuh seujung jari, atau saat kelopak lentik Jeongin terbuka ketika sempat tertidur di perpustakaan tempo hari, atau saat bagaimana birai ranum lelaki tersebut tertarik ke atas setiap mereka melempar pandang satu dengan yang lain, Ia tak ingatㅡ tidak memperdebatkan sebab tidak ada celah untuk menolak Jeongin yang memikat.

Keduanya seperti terlahir dan bertemu untuk saling melengkapi. Jeongin tidak bisa apa-apa tanpa Hyunjin, begitu pula sebaliknya. Setidaknya begitu, sampai saat ketika Hyunjin yang sedang berjalan cepat dengan jinjingan kado natal di tangan, di bawah salju pertama, Hyunjin dapati Jeongin dengan senyum merekah di kala jemarinya bertaut dengan lelaki lain, tampak begitu bahagia.

Tidak bisa mengelak, Hyunjin berakhir duduk di tengah dua manusia yang sedang dimabuk asmara. Ia bisa lihat jelas, bagaimana Jeongin dengan pipi merona lembut, berujar malu-malu, memperkenalkan sosok yang mendampinginya malam itu.

"I-ini kak Minho, pacarku."

Lee Minho, senior mereka di SMA, seorang kapten basket yang dirundungi banyak wanita ataupun pria. Lelaki itu terlihat sopan, mengulurkan tangan di hadapan Hyunjin yang menjawab jabat dengan paksaan senyuman.

Hyunjin tidak tahu, haruskah marah atau menyambut kabar tersebut dengan haru. Ia merasa konyol, tak sadar bagaimana Jeongin yang dulu menggebu di balik layar telepon, atau ketika membatalkan sepihak janji temu. Ia sudah bertemu seseorang, kekasih, yang bahkan Hyunjin pikir kata itu hanya tercipta untuk mereka berdua di kemudian hari.

Hyunjin meremat paper bag yang ia pangku, biarlah remuk bersama hati dengan batin yang meringis pilu. Berat niat untuk menyodorkan barang itu di muka Jeongin, namun rasanya kekanakan jika ia lempar di tempat sampah. Jeongin-nya, terlihat antusias. Matanya memicing ketika bibirnya melengkung riang ke atas.

"Terimakasih, Hyunjin." Begitu ucapnya dengan menggoyangkan boneka rajut rubah mungil dengan aksesoris natal, cantik sekali, sesuai dengan apa yang pernah Jeongin minta setahun lalu. Hyunjin kabulkan apa yang ia pinta. Biasanya, Hyunjin jua akan mengimbangi dengan bahagia, namun mengapa sorot Hyunjin kali ini tampak kelam penuh duka?

Minho yang sudah pamit perkara urusan pribadi, tinggalkan kedua mereka yang saling menghadap dengan pikiran penuh terisi.

Hyunjin menoleh ke jendela. Memperhatikan salju-salju putih yang turun di atas jalanan yang di sesaki orang-orang yang tampak ria. Ia tersenyum kecil, sebelum memanggil Jeongin yang saat itu sibuk dengan sendok di gelas kopiㅡmengaduk asal, tak minat untuk meminumnya.

"Jeongin, kamu mirip sekali dengan salju."

Ucapan Hyunjin tak dibalas. Hyunjin kembali alih pandang ke si pemuda, menatapnya sendu sebelum kembali sambung kata, "Indah, namun tidak bisa ku genggam lama."

Selanjutnya ia bisa lihat Jeongin yang balas pandang dengan pelan-pelan tengadah kepala. Maniknya bergelimang galaksi, sebuah pemandangan yang selalu buat Hyunjin tenggelam akan euphoria pesona Jeongin tanpa henti. Telapak besar Hyunjin tanpa permisi meraih pipi, mengelus pelan dengan iris mata mereka saling menjangkau permasing arti.

"Maafㅡ maaf aku jatuh cinta."

Sapuan jemari Hyunjin rapuh seiring air mata Jeongin luruh, jatuh. Hampir terisak ia ketika lihat bagaimana iris karamel Hyunjin yang terpaku pada miliknya dan menatap dalam dengan ribuan luka. Buku-buku jari Jeongin dikecup, kemudian ditaruh pelan di meja sebelum Hyunjin beranjak dari duduk.

Untuk saat itu, ia tidak bisa harapkan Tuhan beri mereka kisah lain. Hyunjin sadar diri, Jeongin tak punya gelora yang sama, belasan tahun, Hyunjin jatuh cinta, sendiri saja. Pongah sekali mengira ia satu-satunya titik perputaran hidup Yang Jeongin, disaat ia hanya satu dari kemungkinan lain. Ku beri tahu hal terakhir, Hwang Hyunjin hidup dengan kenaifan semata. Berpikir bahwa takdir akan menjumpun mereka dalam akhir bahagia ketika ia dihancurkan oleh kenyataan telakㅡ tanpa harapan, tidak bersisa. Jeongin, bukan untuknya.

— END —

[ii] Erster SchneeWhere stories live. Discover now