10. let go

218 45 32
                                    

Tempat pelarian terbaik adalah rooftop gedung fakultas sambil duduk di sana dan menikmati angin sepoi-sepoi di sore hari. Di telingaku sudah terpasang satu earphone yang memutar salah satu lagu milik Keane yang berjudul Thin Air.

Kakiku sibuk mengetuk-ngetuk lantai beraspal, memandang kota Jakarta dari atas lantai empat sambil memutar balikan memoriku tentang Ale kemarin. Aku benar-benar sudah resmi menjaga jarak dari Ale dan Ale sepertinya melakukan hal yang sama. Karena saat berpapasan di koridor kampus tadi, hal yang sama-sama kami lakukan adalah memutar balikan arah jalan kami agar tidak saling bertemu.

Jujur, rasanya campur aduk. Aku seperti benar-benar sudah kehilangan sahabatku meski kami belum sama-sama medeklarasikan untuk berpisah. Aku seperti menyerahkan persahabatanku dengan Ale yang sudah bertahun-tahun itu dengan alasan yang paling konyol. Gara-gara terjebak perasaan tidak bernama.

Atau aku menolak untuk menamainya.

"Ngapain lo sendirian di sini?" Suara familiar samar-samar terdengar di telingaku diantara suara Tom Chaplin yang mendominasi pendengaranku.

Aku menoleh ke belakang dan mendapati Rajen sedang menutup pintu rooftop yang ada di belakangnya. Nggak lama setelahnya, dia ikut duduk di sampingku.

"Lagi meratapi nasib," jawabku singkat.

"Kenapa lagi?" Tanya Rajen sambil mengeluarkan permen kaki merah dari saku kemejanya yang membuatku sedikit terkejut karena bukan batangan rokok yang dia keluarkan. Aku paham betul bagaimana Rajen cukup ketergantungan dengan barang tersebut.

"Tobat lo?"

"Enggak. Cuma jaga-jaga Ale muncul terus matahin rokok gue kayak waktu itu," sahut Rajen. "Sayang uang gue. Rokok makin mahal, cukainya naik mulu."

"Ye!" seruku sambil menjitak kepala Rajen. "Kesehatan lo lebih mahal, Rajen, kalo kenapa-kenapa nanti."

"Iye... nanti deh gue coba berhenti."

"Nanti kapan? Pas dijemput malaikat?"

Kini giliran Rajen yang menjitak kepalaku. "Sembarangan!"

Aku hanya terkekeh pelan. Kadang seru kalau bisa membuat Rajen kesal. "Santai sih, Je, Ale juga nggak bakal dateng."

Dengan permen kaki yang sudah di mulutnya itu, Rajen tertegun memandangiku seperti sedang menganalisa apa yang sedang aku pikirkan melalui tatapan penuh menghakimi itu.

"Pasti ada sesuatu diantara kalian. Kenapa? Kali ini resmi berantem?"

"Nggak berantem tuh."

"Terus?"

"Ya... menjauh aja karena mungkin emang udah waktunya."

"Udah waktunya apa? Ngaku saling suka tapi telat jadi nggak bisa bareng? Terus udah nggak bisa ngeliat sebagai sahabat lagi?"

Sumpah! Ekspresi yang Rajen berikan sekarang tuh beneran bikin naik darah. Satu alisnya tersebut terangkat, lalu dirinya tertawa pelan sambil memberikan ekspresi I told you so. Kalau Rajen itu bentuknya bola, mungkin udah aku tendang jauh-jauh dari sini.

"Sok tau." Balasku santai, mencoba meredam emosiku karena ucapannya barusan.

"Sok tau apa lagi denial?"

"Rajen, sekali lagi lo ngomong gue sumpahin lo - "

Rajen mengangkat kedua jarinya lalu membentuk menjadi huruf V, "Peace," lalu tersenyum tidak memelas dan memberikan gestur mengunci mulutnya rapat.

Kini mataku memandangi langit, lalu mulai menghitung berapa banyak burung yang beterbangan disana, lalu perhatianku kembali kepada Rajen dan mulutku otomatis bersuara, menceritakan seluruh isi kepalaku kepada Rajen.

LabyrinthOù les histoires vivent. Découvrez maintenant