11. silence

115 44 6
                                    

Mungkin aku sudah terbiasa dengan kesendirianku sekarang. Tidak ada Ale di sebelahku yang biasa menemaniku memang rasanya begitu menyakitkan dan menyesakan. Namun, semua rasa sakit dapat dilewati karena sudah kebiasaan yang mau tidak mau yang harus kita lewati.

Rasanya Ale juga melakukan hal yang sama. Kami sama-sama tidak saling berkontak dan saling menghindari. Entah apa misi yang sedang dia jalani untuk menghindariku, tapi misiku adalah aku tidak ingin lagi-lagi menjadi penghalang di dalam hubungan Ale. Mungkin, dia juga sudah memilih untuk mendedikasikan seluruh waktunya untuk Cecil kan? Tidak ada aku lagi dalam jajaran prioritasnya.

Seharusnya aku tidak apa-apa jika kenyataannya memang seperti itu.

I am okay with or without Ale.

I can be happy with or without Ale.

Dua kalimat selalu aku ucapkan tiap kali aku ingin menyerah dan berlari kepada Ale. Dua kalimat tersebut seperti mantra yang aku harap bisa merasakan magisnya. Sebulan sudah berlalu dan nyatanya aku bisa melewatinya.

Meski tiap pagi aku tidak bisa menahan diriku untuk mengintip dari balik jendela dan menatap ke rumah sebrang, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Selama Ale baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.

Namun lagi-lagi takdir berjalan dengan sangat lucu hingga aku harus dipertemukan dengan seseorang yang memiliki kaitannya dengan Ale. 

Hari rabuku berjalan sangat baik hingga di tengah-tengah me time-ku, aku berpapasan dengan Oma Juni di salah satu Mal kawasan Jakarta Pusat. Saat aku sedang membelikan roti pesanan Mamaku di salah satu toko roti, wanita paruh baya tersebut menghampiriku.

"Temannya Alex ya?" Sapanya yang masih memanggil Ale dengan nama panggilan lamanya.

"Sore, Oma." Sapaku kembali masih berusaha untuk bersikap sopan dengan memberinya senyuman kecil.

"Pas banget ya, saya ketemu kamu di sini. Kebetulan ada yang ingin saya bicarakan sejak lama," kata Oma yang sama sepertiku beliau juga memaksakan untuk tersenyum. "Mari, kita duduk dulu nanti. Kurang enak jika berbicara disini."

Alhasil, aku pun dibawa beliau untuk duduk di salah satu resto kenamaan di sini. Aku memperhatikan menu yang diberikan oleh pramusaji restoran, melihat-lihat isi menu tanpa berminat untuk memesan.

"Mau pesan apa?" Tanya beliau.

Aku menggeleng pelan. "Nggak usah repot-repot, Oma. Saya setelah ini masih ada janji dengan teman saya," ucapku berbohong.

Jujur, aku malas sekali harus berurusan dengan beliau ini. Sasak rambutnya yang sangat kokoh itu membuatku semakin malas untuk menatapnya.

"Dengan Alex?"

Tentu saja bukan, batinku. Secara aku dan Ale masih bersih tegang hingga hari ini.

"Bukan, Oma."

"Bagus."

Bagus? Apa yang bagus dari janjiku setelah ini bukan dengan Ale?

"Sebenarnya, apa hubungan kamu dengan Alex?" tanya Oma tanpa basa-basi setelah beliau memesan makanannya.

Aku menatap Oma sejenak, mencari jawaban apa yang ingin didengar dari sorot matanya yang begitu menusukku saat ini. Tapi buat apa aku menjawab sesuai dengan keinginannya? Aku dapat menjawabnya dengan jujur dan apa adanya, itu juga tidak akan merubah keadaanku dengan Ale.

"Saya hanya teman Ale, Oma. Kebetulan juga rumah kami berseberangan."

Lalu Oma tertawa masam. "Saya juga tahu tentang fakta kalau rumah kamu dengan Ale berseberangan. Yang ingin saya tanyakan, apa hubungan kamu sebenarnya dengan Ale hingga dia rela mengorbankan hal-hal besar dalam hidupnya?"

LabyrinthUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum