7. forever

192 44 30
                                    

Seharusnya aku sudah tahu kalau Ale tidak akan langsung membawa kami pulang ke rumah. Ketika aku membuka kedua mataku, mobil Ale sudah berhenti di parkiran McDonald yang aku rasa ini masih jauh dari rumah. Aku menoleh ke samping kananku, menemukan Ale sedang menyantap burger di tangannya sambil menatap ke jalanan luar dengan tatapan kosongnya. Dan di saat itu juga aku kembali mengingat alasan mengapa aku memilih untuk tertidur selama perjalanan tadi. Bekas kemerahan lipstik itu masih terlihat di sana dan masih memberikan efek yang sungguh negatif pada perasaanku.

Sepertinya Ale sadar aku menatapnya terlalu lama, dia pun menoleh ke arahku dan melebarkan senyumannya, senyuman khas Ale dengan kedua matanya yang berbinar seperti bocah lima tahun. 

"Hey."

Aku membalasnya hanya dengan senyuman sekilas sebelum mengalihkan wajahku darinya, menolak untuk menatapnya. Daripada emosiku memuncak dan menguasai diriku, lebih baik aku yang menghindar. Aku tidak ingin bersikap aneh di depan Ale. Seperti yang pernah dia katakan, dia bukan berteman denganku kemarin sore, sehingga kami sudah terlalu hapal dengan kebiasaan masing-masing.

"Laper nggak? Tadi gue beli Big Mac buat lo." Ale meletakan satu bungkus Big Mac di atas pangkuanku.

Aku mengangguk sambil bergumam pelan. "Thanks."

Aku tidak menyentuh sama sekali makanan yang diberikan Ale padaku. Selera makanku hilang, pikiranku entah bertebaran kemana, mataku fokus melihat kendaraan yang sesekali berlalu lalang dari luar jendela. Hari ini aku benar-benar berada di luar kendali. Perasaanku, emosiku, semuanya terasa berjalan di luar kuasaku. Apa yang aku rasakan terhadap Ale terasa semakin abu-abu dan membuat efek yang terasa semakin aneh pada diriku.

Aku benar-benar tidak bisa mengatakan sikapku menjadi seperti ini karena aku menyukai Ale. Aku tidak bisa membedakan mana perasaan yang tumbuh karena aku suka Ale dengan perasaan aku sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Ale di kehidupanku sehingga sulit bagiku untuk kehilangan Ale bahkan hanya sedikit bagian dari dirinya.

Dan Cecilia malam ini benar-benar membuatku merasa kalah. Kali ini, aku yang merasa kalah. Melihat sikapnya kepada Ale malam ini benar-benar membuatku takut bahwa dia bisa mengambil Ale sepenuhnya dariku. Bukan bermaksud posesif, biasanya tidak ada pacar yang senang pacarnya memiliki sahabat lawan jenis.

"Ta."

"Hm?" balasku hanya dengan gumaman kecil yang mungkin tidak terdengar olehnya. Aku masih akan terus menolak melihat Ale, hingga bekas kemerahan dari ujung bibirnya itu hilang. Sungguh, itu adalah salah satu pemicu emosiku yang memuncak saat ini. Hal tersebut membuatku sadar, bahwa yang Ale ucapkan padaku pagi itu tidak benar adanya. Bahwa bekas kemerahan itu menyadarkanku bahwa Ale tidak akan berada di sampingku selamanya. Bahwa kami, pasti akan memiliki hidup masing-masing suatu saat nanti. 

"Lo serius nggak marah sama gue?" Tanya Ale.

"Enggak, Le." Jawabku tanpa minat. 

"Terus, kenapa lo malah natap keluar jendela? Gue ada disini lho, Ta. Bukan di luar jendela." Balas Ale. "Susah ya liat mata lawan bicaranya kalau lagi ngomong?" Tegur Ale dengan nadanya yang cukup kesal.

Dan mendengar ucapannya barusan tidak membuat apa yang sedang aku rasakan saat ini membaik. Hal terbaik atau mungkin terburuk yang bisa aku lakukan adalah mengatakan sejujurnya yang berada di dalam kepalaku, yang semoga, bisa membantu melerai dan menenangkan seluruh perasaan-perasaan aneh ini.

"Nggak susah." Jawabku ketus. "Gue cuma nggak mau liat lo. Gue nggak bisa liat lo saat ini, Ale." Aku mekankan setiap perkataanku berharap Ale mengerti akan maksudku.  Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan diri sebelum mulutku mengeluarkan kata-kata yang akan aku sesali nantinya.

LabyrinthWhere stories live. Discover now