14. let me

128 32 12
                                    

Akhir-akhir ini, gue hanya bisa menatap Letta dari jauh. Kami jarang berpapasan karena gedung Manajemen dan rumpun ilmu ekonomi berada di dua tempat yang berbeda. Jadi, kalau nggak janjian ya nggak bakal ketemu. Apalagi udah memasuki semester tua, dimana mata kuliah udah semakin sedikit, intensitas ke kampus bakal berkurang, kecuali kalau banyak mata kuliah yang ngulang, itu lain cerita.

Tapi, hari ini cukup berbeda. Mungkin Tuhan lagi baik sama gue karena saat keluar dari kelas pertama, gue melihat Letta keluar dari salah satu kelas di gedung seberang dengan membawa map birunya dan kelihatan lesu banget. Binar disorot matanya hilang dan antusiasmenya seakan mati, meski Sashi yang berdiri sampingnya itu sedang bercerita pernuh semangat yang berapi-api. Nggak ada senyuman yang disunggingkan, hanya anggukan lemas seakan dia menyimak dengan baik seluruh cerita Sashi.

Kalau kemarin Letta memilih untuk bertahan, mungkin saat ini kaki gue sudah berlari menghampirinya, mengajaknya makan es krim, memeluknya, menepuk-nepuk bahunya, dan melakukan apapun yang bisa membawa jiwanya yang terlihat sedang terbang kemana itu kembali pada tempatnya. Setidaknya kalau gue nggak bisa membuat senyumannya kembali, gue akan memberikan tempat ternyaman untuknya beristirahat dari kejamnya dunia, memastikan kalau dipelukan gue nggak akan ada yang bisa menyakiti dia. Gue akan melindunginya sepenuh hati.

Tapi nyatanya, kaki gue hanya bisa diam di tempat dan hanya mata gue yang bisa bergerak mengikuti langkahnya di gedung sebrang.

"Samperinlah, jangan diliatin terus. Dikira lukisan apa cuma ditatap," bahu gue disenggol oleh Adrian yang memergoki gue memperhatikan Letta dari depan kelas.

"Gaklah. Gue menghargai keputusan dia," gue membalasnya sambil mengikutinya untuk segera turun ke lantai bawah. Letta perlahan menghilang dari pengelihatan gue.

"Kata Sashi akhir-akhir ini Letta jadi sering diem."

"Emang lagi capek kali. Dia kalau capek kan jadi pendiem."

"Pendiem tapi nggak sampe nggak nyambung juga kali kalo diajak ngomong, Le," gue dan Adrian pun memutuskan untuk berjalan menuju kantin untuk makan siang. "Lo tau nggak, Le, apa yang hilang dari Letta setelah lo sama dia menjauh?"

Entah. Gue nggak mau menjawab, meski gue bisa membuat seribu asumsi untuk menjawab pertanyaan Adrian barusan.

"Matanya redup," ternyata bukan gue aja yang menyadari hal itu. Kayaknya satu alam semesta ini bakal sadar, kalau perpisahan kami ini sama-sama memberikan dampak yang cukup besar untuk satu sama lain. "Maksud gue, ibarat lampu ya, Le, matanya Letta udah nggak seterang dulu lagi."

Gue masih diam dan membiarkan Adrian mengoceh dan menumpahkan seluruh hasil analisisnya tentang gue dan Letta.

"Satu hal yang bisa bikin mata nyala itu lo tau, Le," ujarnya.

"Tapi akhir-akhir ini udah enggak, Yan. Kehadiran gue malah mematikan itu semua. Gue udah jadi beban buat dia. Dia mulai merasakan banyak sedihnya kalau sama gue."

Karena kalau gue masih menjadi alasan dia menyala seperti yang Adrian katakan, dia nggak akan memilih untuk pergi kan? Harusnya bertahan kan? Tapi gue sudah mematikan itu semua sehingga dia kehilangan alasan untuk hidup kembali.

___


Arik
Abang jadi mampir ke rumah kan? Barang-barangnya udah Arik siapin.

Me
Iya jadi rik. Tunggu ya bentar lg otw. Letta udh di rumah?

Arik
Blm kok. Aman bang.

Me
Ok sip.

Sore harinya, gue berencana untuk mengambil barang-barang gue yang sempat gue titip di kamar Arik kayak kumpulan jersey bola yang dulu sering dia pinjam, kumpulan kaset PS, sepatu, dan masih banyak lagi. Gue udah bilang sama dia buat disimpan aja, tapi anaknya kekeuh buat ngebalikin. Katanya biar kalau kangen langsung nyamperin, bukan liat barang-barang gue hahaha.

LabyrinthWhere stories live. Discover now