1. good evening

418 65 22
                                    

"Indomie sotonya satu, Bang."

Malam itu di warkop samping kampus, aku ditemani oleh Rajen (dibaca: Rayen), yang mengajakku untuk makan malam bersama dengan teman-temanku yang lain. Yup, pilihan yang sangat fancy, bukan? Namun aku tidak protes karena warkop ini adalah tempat makan indomie kami sejak masih jadi maba dulu.

Saat ini baru aku saja yang datang. Sepertinya ketiga teman kami yang lain masih sedang ada urusan.

"Indomie mulu. Mampus aja tuh perut, Ta. Nggak kapok kemaren udah opname?" komentar Rajen.

"Biarin aja. Biar sekalian mampus juga guenya." jawabku asal.

"Mulai ngasal dah ngomongnya. Lo kenapa?"

Aku membenamkan wajahku pada tangan yang sudah kulipat di atas meja sambil menghentak-hentakan kaki ke tanah frustasi.

"Capek. Hidup. Seperti. Bajingan." aku merengek seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainan favoritnya. Seakan dengan bertidak seperti itu, beban yang ada di pundakku akan hilang seketika.

Mustahil lah.

Tapi, ya udah. Namanya juga lagi capek sama hidup. Mau koprol, kayang atau tiger sprong sekalian, apa saja ingin dilakukan hanya demi melampiaskan rasa lelah yang ditanggung. Rasanya dengan melakukan hal-hal di atas dapat menghilangkan beban-beban yang ada di pundak.

"Emangnya kapan sih hidup bahagia kayak di film-film? Bajingan mulu gue rasa tiap hari. Shit happened all the time, right?" balas Rajen dengan santainya sambil menyesap kopi dengan warna hitam pekat, yang aku rasa kopi tersebut malah cenderung terasa seperti arang buat nyate. Heran, kok si Rajen bisa suka banget sama kopi macam begitu.

"Tapi, lo harus tetap bertahan, Ta. Menyerah akan hidup lo bukan opsi menyelesaikan masalah, tapi cuma menamatkan buku lo dengan masalah yang belum kelar."

Meski ucapanku tadi cuma ngasal karena hari ini terasa sungguh melelahkan fisik mau pun batin, tapi rasanya mendengar ucapan Rajen tadi aku terasa seperti ditampar keras olehnya. Aku mengangkat kepalaku, memandang Rajen dengan wajah sedih dan memelas.

"Lagi pula, lo kadang harus percaya sama kalimat your existence matter. Setidaknya buat satu orang. Itu setidaknya yang menjadikan alasan gue bertahan sampai saat ini. Karena gue sadar keberadaan gue memberikan impact buat seseorang,"

"Cieee, siapa tuh?" tanyaku penasaran dan pada saat itu juga indomie pesananku datang. Aroma soto yang khas menyeruak ke indra penciumanku setidaknya sedikit menghibur hariku yang cukup suntuk ini.

"Gadis. I feel wanted when I'm with her."

"Kalo gueㅡ"

"Lo mah nggak usah pake mikir. Jawabannya udah pasti Ale."

Aku terdiam. Mudah sekali si Rajen ini menyimpulkan. Padahal tadi aku mau menjawab adikku, si Arik. Bocah satu itu rasanya memang tidak bisa hidup sendiri tanpaku. Manja, ceroboh, kekanakan, semua masalah yang dia hadapi pasti dilimpahkan padaku.

"Kok Ale sih?"

Rajen menjentikan jarinya di depan wajahku. "Bangun, woi! Dari dulu kan lo pusat dunianya Ale. Top priority-nya si Tuan Muda Alexander."

"Hello, Rajen, kalau gue pusat dunianya Ale, kenapa dia punya pacar sekarang?" aku membalas sambil melambaikan tanganku di depan wajah Rajen, seakan berusaha membangunkannya juga.

"Terus kalau dia punya pacar itu berarti menunjukan bahwa pusat dunia dia itu si Cecil?" tanya Rajen menyebut nama pacarnya Ale. "Nggak juga, Ta. Nggak semua orang pacaran itu tujuan mengikat rasa sayang mereka."

LabyrinthWo Geschichten leben. Entdecke jetzt