6. thin glass

208 47 21
                                    

Kejadian tempo hari di kamar Ale waktu itu membuatku hampir lupa pada misi utamaku yaitu, menjauh dari Ale. Lagi-lagi, menjauh dari Ale itu bukan hal yang mudah disaat dia benar-benar berada di setiap sudut kehidupanku. Mulai dari aku bangun tidur hingga sebelum tidur Ale adalah orang pertama dan terakhir yang aku ajak bicara. Disaat seluruh bagian dari hidup terhubung dengan Ale, aku nggak bisa tiba-tiba berhenti bicara dengannya. Ale tinggal di depan rumahku, Ale adalah teman main adikku, Ale adalah mantu impian papaku dan Ale adalah sahabatku.

Semua terasa sulit disaat Ale masih menjadi tempat ternyamanku untuk bersandar di dalam situasi apapun. He's my comfort person. My safe zone. Kami sudah terlalu lama berbagi kepada satu sama lain dalam berbagai hal. Semua itu tidak bisa dihentikan atau dikurangi kadarnya secara tiba-tiba tanpa membuat Ale menjadi curiga padaku.

"Lo beneran harus nyari pacar, Ta," sahut Sashi di tengah-tengah kesunyian kami berempat yang sibuk menyantap makanan masing-masing. "Lo liat Ale tuh." dagu Sashi menunjuk ke tengah-tengah ruangan dimana pusat acara tersebut dilakukan.

Ale sedang berdiri di samping Cecil yang terlihat begitu menawan malam ini dengan melingkarkan tangannya di pinggang Cecil seperti pacar pada umumnya.

Dan aku langsung menyesali kenapa aku memilih untuk melihat. Kalau adegan di dunia nyata bisa disensor seperti di film-film, aku mungkin memilih untuk melakukannya.

Saat ini, kami berempat, aku, Adrian, Rajen dan Sashi, sedang berada di tengah-tengah pesta ulang tahun Cecil, setelah kami setuju untuk datang demi misi makan enak gratis.

Acara ulang tahunnya digelar di ballroom hotel dengan tema hitam dan putih. Kata Sashi, acara hari ini lebih terlihat seperti resepsi pernikahan. Di gelar di ballroom hotel bintang lima, dekorasi acara didominasi dengan warna putih dengan sedikit sentuhan warna hitam pada hiasan-hiasan di dinding dan di meja yang menyesuaikan dengan tema acara.

Namun, yang membuat acara ini terlihat seperti acara resepsi adalah kehadiran Ale yang selalu berada di samping Cecil dan ikut disalami oleh orang-orang. Selain itu, dress putih panjang yang menyapu lantai yang dikenakan Cecil, serta setelan jas berwarna hitam dengan dalaman kemeja putih serta dasi warna hitamnya, membuat mereka sepasang kekasih yang baru saja merayakan pernikahannya.

"Apa hubungannya Ale sama Cecil dengan gue yang harus nyari pacar?" tanyaku pada Sashi, pura-pura merasa heran meski aku tahu maksudnya apa.

"Emangnya lo nggak iri, Ta?" tanya Sashi penuh dengan keprihatinan saat menatapku. "Lo sama Ale udah kayak magnet yang nggak bisa lepas. Setiap hari nggak ada yang namanya Ale-Letta itu pisah barang sejengkal pun. Lo beneran nggak merasa iri, jealous, atau apapun itu?"

Iya, merasa. "Nggak." Mulutku menjawab berlawanan dengan apa yang hatiku katakan.

"Bohong. Udah cari pacar aja sih, Ta." Sahut Rajen dengan entengnya sambil menyesap cola yang ada di tangannya.

"Enteng banget rahangnya kalo ngomong." Timpalku kesal. "Siapa yang mau gue jadiin pacar emang? Emang dikira gampang nyari pacar? Nyari pacar udah kayak nyari kerjaan."

"Rajen lah." Timpal Sashi dengan sangat entengnya seakan-akan menjadi pacar Rajen adalah solusi yang paling menyenangkan untuk mengatasi masalahku.

"Hell, no." Sahut langsung tanpa berpikir panjang seakan kejujuran yang selalu keluar dari mulut Rajen tidak memberikanku efek samping tersendiri. "Gue masih mau sehat dan nggak mau darah tinggi di umur muda."

Cukup menjadi temannya saja aku sudah membuatku sakit kepala, bagaimana kalau kami lebih dari itu? He's just brutally honest. Rajen sendiri yang bilang kalau dia adalah orang yang sangat sulit untuk dihandle. Sehingga, dia cukup bersyukur kami berempat betah menjadi temannya.

LabyrinthWhere stories live. Discover now