Chapter 00. Prolog

332 74 335
                                    

Jodoh, rezeki dan ajal, itu semua adalah rahasia Tuhan, tidak satupun manusia yang mengetahui dengan pasti tiga takdir tersebut. Namun tentu saja, sejatinya manusia adalah makhluk yang begitu penasaran. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, apa kau pernah memainkan permainan yang katanya bisa menunjukkan persentase cinta hanya dengan memasukkan namamu dan nama orang yang kau taksir. Jikalau tidak pernah pun kau pasti tahu tentang ramalan zodiak atau shio yang katanya bisa mengukur tingkat kecocokan dengan pasangan. Aku pribadi tidak terlalu mempercayai ramalan-ramalan itu, tetapi rasa penasaran selalu mendorongku untuk mencobanya.

"Candra, aku pulang duluan ya. Kau juga jangan lembur kemalaman," ujar Yuli, teman sekantor terakhirku yang belum pulang.

"Maunya sih begitu, Yul. Tapi kerjaanku masih banyak," balasku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.

"Kau ini kerja terus, istirahatnya kapan? Mau tunggu sampai tifus baru istirahat," sindir Yuli.

Aku tidak merespon, saat ini aku berambisi untuk naik pangkat, aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Kudengar langkah kaki Yuli perlahan menjauh, akhirnya wanita itu pulang, menyisakan aku seorang diri di dalam kantor. Sejujurnya aku lelah, tetapi kupaksakan mata ini untuk tetap terbuka dengan bantuan secangkir kafein. Waktu berlalu hingga akhirnya pekerjaanku selesai, kurentangkan otot-otot tubuhku, rasanya begitu puas.

Aku menghabiskan sisa kopi di dalam cangkir lalu mengecek ponsel, rupanya pukul sebelas lewat. Aku masuk ke dalam lift guna mencapai lantai dasar. Sepanjang perjalanan dari lantai dasar menuju parkiran, aku terus menatap layar ponselku. Bukan apa-apa, aku hanya sedang menggulir beranda Instagram, hal wajar yang dilakukan seseorang ketika bosan 'kan.

Aku hendak memasuki mobil ketika iklan sebuah aplikasi menarik perhatianku. Aplikasi itu bernama Death Timer yang mengklaim dapat memprediksi kapan pengguna aplikasi akan meninggal. Aku tidak terlalu menggubrisnya, itu hanyalah aplikasi meramal konyol yang pastinya tidak akurat.

Aku menyalakan mobil dan segera tancap gas keluar dari kantor. Baru beberapa menit di jalan, aku sudah terjebak macet, padahal sudah larut malam tetapi Jakarta masih saja padat kendaraan. Dilanda rasa bosan segera kuraih ponselku, aku tiba-tiba teringat akan aplikasi Death Timer. Iseng dan penasaran, aku memutuskan untuk memasang Death Timer, kurang dari satu menit aku sudah bisa membuka aplikasi itu.

Ternyata untuk masuk ke dalam Death Timer diperlukan email dan nomor telepon, tidak berpikir dua kali aku segera mengiakan, lagi pula sebagian aplikasi juga meminta hal yang sama. Setelah itu layar berganti, kini menampilkan sebuah pertanyaan. Death Timer mempertanyakan jenis kelamin dan tanggal lahirku, usai kujawab dua pertanyaan itu, pertanyaan lainnya muncul bergilir. Mulai dari makanan yang sering aku konsumsi, sosial media yang sering aku gunakan, tempat-tempat yang sering aku kunjungi dan masih banyak lagi. Sekarang aku menerka bahwa Death Timer akan memprediksi kematian berdasarkan pola hidup.

Setelah menjawab semua pertanyaan, munculah animasi cacing putih kecil yang mengejar ekornya sendiri. Lama aku menunggu, cacing itu belum juga menggapai ekornya, alhasil aku beralih ke Instagram sejenak. Aku memotret setir dan kendaraan-kendaraan di depanku, sebelum foto itu kuunggah ke status, aku sempat menambahkan beberapa stiker lucu dan menandai lokasi.

Aku kembali ke Death Timer, seketika mataku membelalak melihat prediksi dari aplikasi tersebut. Death Timer menampilkan keterangan 00 tahun, 00 hari, 01 jam, 12 menit, dan 45 detik. Yang benar saja, mana mungkin aku akan meninggal dalam satu jam ke depan? Aku menolak untuk percaya pada Death Timer, tetapi rasa takut mulai merangkaki diriku, angka detik yang terus berhitung mundur benar-benar tampak mengerikan. Pikiran buruk sedari tadi mengganggu ketenanganku, sekarang aku sedang di jalan raya, ada banyak hal buruk yang mungkin merenggut nyawaku.

Akhirnya aku keluar dari kemacetan, kini jalannya sedikit menyempit karena aku sudah memasuki daerah perumahan. Aku hendak melalui pertigaan, ketika tiba-tiba sorot lampu mobil yang melaju dari arah kiri menyilaukan pandanganku, hal itu terjadi serentak dengan bunyi klakson yang begitu memekakkan telinga. Buru-buru kuinjak pedal rem, mobilku berhenti dadakan, alhasil tubuhku sedikit terlonjak ke depan.

Dalam hitungan detik aku menyaksikan dengan jelas suatu kejadian yang cukup mendebarkan. Sebuah mobil melintas cepat lalu menabrak pohon besar yang lokasinya tusuk sate, bumper depan mobil itu benar-benar hancur, asap mengepul keluar dari mesin-mesinnya yang mengalami kerusakan. Aku tidak kuasa mengecek keadaan si pengemudi karena kini keringat dingin mulai mencucuri sekujur tubuhku, jantungku berdebar tak karuan, entah kenapa aku merasa nyawaku sedang terancam.

Seolah tidak melihat apapun, aku segera meninggalkan lokasi kecelakaan. Kupaksakan tanganku yang bergetar untuk tetap mengemudi, mobilku melaju begitu kencang hingga aku beberapa kali berbelok tajam. Aku ingin secepat mungkin mencapai rumah, tempat yang aman dan nyaman, di mana aku bisa menemukan ketenangan.

Beberapa saat kemudian tampaklah sebuah rumah bercat putih dengan desain modern—ya, itu adalah rumahku. Akhirnya aku bisa bernapas lega usai memarkirkan mobil di dalam pagar. Aku melangkah masuk ke dalam rumah, benar-benar sunyi, tentu saja, aku tinggal sendiri sebab di umurku yang hampir kepala tiga, aku belum juga menemukan pasangan.

Kunyalakan satu persatu lampu sepanjang perjalanan menuju kamar, rumahku cukup luas padahal aku tinggal sendiri, aku harus mempertimbangkan untuk membeli rumah yang lebih kecil. Sesampainya di kamar, seketika kurebahkan tubuh penatku di atas kasur, senang sekali bisa merasakan tumpukan kapuk yang lembut ini. Cukup lama aku berbaring, tetapi aku belum juga terlelap, rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Kulirik ponsel yang kuletakkan di atas meja. Tentu saja, Death Timer, aku masih penasaran dengan aplikasi itu.

Segera kuraih ponselku untuk membuka Death Timer, tenyata angkanya masih berhitung mundur dan kini waktu yang tersisa adalah 00 tahun, 00 hari, 00 jam, 19 menit dan 10 detik. Aku mengamati setiap sudut kamarku, semuanya tampak baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda sesuatu yang buruk akan terjadi, lagi pula sekarang aku aman di dalam rumah. Aku menertawai diriku sendiri, bisa-bisanya aku sempat percaya dengan ramalan semacam itu, padahal aku bukan anak kecil lagi.

Aku hendak meletakkan ponselku ke tempat semula ketika tiba-tiba semua lampu di rumahku padam. Sedikit kaget, aku mengintip ke luar jendela, rupanya lampu jalan masih menyala, kemungkinan besar listrik rumahku turun. Apa boleh buat, aku harus menyalakan kembali listrik dari luar.

Kunyalakan senter ponsel guna membantuku melihat jalan di kegelapan, tiap langkah yang kuambil terasa begitu mendebarkan. Mulai datang perasaan bahwa aku tidak sendirian dalam galap, hawa mencekam itu muncul karena pandanganku terbatasi, alhasil aku tidak akan pernah tahu jikalau ada sesuatu yang mengintaiku dari suatu pojok yang sama sekali tak tersentuh cahaya.

Namun aku tidak peduli dan terus melangkah maju, sebab aku tahu bahwa aku hanya sedang paranoid. Aku berhasil ke luar dari rumah dan buru-buru kuhampiri miniature circuit breaker, ternyata dugaanku benar, listrikku turun.

Aku hendak menyalakannya kembali ketika tiba-tiba kepala bagian belakangku terasa sakit, bagai terkena pukulan benda tumpul. Rasa sakit itu muncul diiringi dengan bunyi dengung kencang yang berasal dari dalam kepalaku sendiri. Kesadaranku perlahan pudar, aku jatuh membentur tanah, tubuhku begitu lemas tetapi sebelum mataku terkatup sepenuhnya, aku sempat menatap layar ponselku yang masih menampilkan Death Timer. Walau pandanganku semakin kabur, aku masih bisa menyaksikan detik yang terus berhitung mundur hingga angka nol.

***

Note: Miniature Circuit Breaker(MBC) adalah sakelar manual yang dapat menghubungkan (ON) dan memutuskan (OFF) arus listrik. MBC juga dapat terputus otomatis ketika arus listrik yang digunakan sudah melebihi kapasitas.

Hullo~! Readers!

Oughkey jadi ini pertama kalinya author nulis prolog karna author sadar cerita kali ini alurnya lumayan lambat, supaya readers stay tuned makanya author bikinin prolog. Gmn-gmn, dah penasaran ga nih?? (◔‿◔)

Udah, gitu ajah, see u di chapter 01 yakk ( ˘ ³˘)♥

Towards DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang