Chapter 10. Titik Balik

22 0 0
                                    

Sepasang mata Nara menjelajahi tiap inci ruang kamar Yuli yang kini telah berubah menjadi TKP. Usai mengamati dengan saksama, Nara mengemukakan pendapatnya. "Sepertinya aku tahu alasan mengapa sidik jari Yuli bisa ada di pakaian Andre. Menurutku seseorang telah melakukan dua pembunuhan sekaligus kemarin malam."

"Maksudmu pelaku pembunuhan Andre dan Yuli adalah orang yang sama?" tanya seorang polisi yang tak lain adalah rekan kerja Nara.

"Pelaku membunuh Yuli terlebih dahulu, bagian tangan dimutilasi agar pelaku bisa menyimpan jari korban di tempat yang lebih kecil, seperti saku celana. Pelaku kemudian menghabisi nyawa korban kedua, lalu menggunakan jari Yuli yang telah pelaku simpan untuk menciptakan sidik jari di pakaian Andre," jelas Nara.

"Pemikiran yang luar biasa! Aku terkesan, tapi menurutmu bagaimana cara pelaku memasuki rumah ini? Saat kita datang pintu masih terkunci dan tidak ada jendela yang pecah atau terbuka." Polisi itu kembali bertanya.

"Lihat ke atas!" perintah Nara.

Nara menunjuk sebuah lubang ventilasi yang terbuka dan sedikit dikotori noda darah. Di bawah lubang ventilasi itu terdapat kursi yang tampak seperti pijakan sempurna bagi seseorang yang ingin keluar melalui ventilasi.

"Jelas sekali, bukan? Pelaku keluar-masuk melewati lubang ventilasi itu," ucap Nara penuh percaya diri.

"Kurasa ventilasi itu terlalu kecil untuk orang dewasa, kira-kira hanya tubuh seukuran remaja usia 15 tahun ke bawah yang bisa melewatinya. Kau mau menyalahkan anak SMP atas kasus kriminal ini?" Salah satu polisi menanggapi pendapat Nara.

"Bisa saja pelakunya memang anak SMP," balas Nara.

Polisi itu melipat kedua tangannya di depan dada sebelum berkata, "Kalau begitu, berarti pelaku pembunuhan Andre dan Yuli bukan orang yang sama. Menurut keterangan saksi dan rekaman kamera pintu, pelaku pembunuhan Andre adalah orang dewasa. Tapi kalau pelakunya beda orang, kenapa sidik jari Yuli bisa sampai ke pakaian Andre?"

Nara mengerutkan keningnya, dia meluangkan waktu untuk berpikir. Pelaku pembunuhan ini sangat licin, pasti akan susah menangkapnya. Nara punya firasat, ini akan menjadi kasus yang sulit.

***

Kelas Rangga telah berakhir, kini dia berjalan santai menuju parkiran kampus. Sesuai isi percakapannya dengan Rania di telepon kemarin, hari ini Rangga hendak mendatangi rumah Andre guna memperbaiki hubungan. Rangga baru saja menyalakan motor ketika tiba-tiba dia mendengar suara tak asing yang memanggil namanya. Rangga lantas berbalik guna menemukan sumber suara, dia bisa melihat Alika yang tengah berlari menghampirinya sambil memeluk beberapa buku.

Alika menghentikan langkahnya di depan Rangga. "Kau mau pulang juga 'kan? Aku boleh nebeng?"

"Boleh, sih. Tapi sebenarnya aku mau ke rumah Andre dulu," balas Rangga.

"Untuk apa?" tanya Alika penasaran.

"Sebenarnya aku tak yakin bahwa itu salahku, tapi aku mau minta maaf saja. Suasana di pemakanam Rian waktu itu benar-benar buruk," ucap Rangga.

"Iya, Andre memang egonya tinggi, dia tak 'kan minta maaf duluan. Ngomong-ngomong, apa aku boleh ikut?" pinta Alika.

Rangga mengangguk singkat, lalu memberikan Alika helm. Sudah menjadi kebiasaan Rangga untuk membawa helm lebih, pasalnya bukan sekali dua kali Alika meminta tumpangannya. Setelah keduanya duduk di atas jok motor, Rangga mulai mengemudi keluar dari area kampus. Mereka tidak membuka percakapan sepanjang perjalanan, mungkin karena panasnya sengatan sinar matahari atau memang tidak ada hal yang hendak diperbincangkan.

Sesampainya di depan rumah Andre, keduanya serempak kaget bercampur bingung. Tanpa mengetahui apa yang sudah terjadi, kini mereka menatap heran garis polisi yang telah menyegel rumah Andre. Untunglah Andre adalah sosok yang cukup terkenal di dunia maya, hanya dengan mencari namanya di kolom pencarian Google, berbagai artikel berita mengenai kasus kematian Andre sontak muncul.

Rangga dan Alika saling bertukar pandang, mereka sama-sama sulit mempercayai bahwa kedua sahabatnya telah mati terbunuh dalam kurun waktu yang begitu singkat. Keduanya tidak yakin apakah semua ini murni kesialan semata atau mereka memang tanpa sadar telah memulai permainan dengan malaikat pencabut nyawa gadungan.

Di sisi lain Rania baru saja mematikan komputernya, dia melirik jam di ponsel yang telah menunjukkan waktunya makan siang. Namun, rasa lapar Rania lenyap, mungkin karena sejak tadi pagi dia terus-menerus gelisah memikirkan Yuli yang mendadak tidak ada kabar bak hilang ditelan bumi. Pada akhirnya Rania memutuskan untuk keluar kantor sejenak, dia hendak mendatangi rumah Yuli guna mengecek keberadaan teman sekantornya itu.

Rania kembali memesan ojek online, gara-gara motornya yang masih tertahan di kantor polisi, dia jadi lebih sering menggunakan aplikasi hijau. Berpergian memang terasa jadi kurang leluasa, pengeluaran pun bertambah, tetapi apa boleh buat, Rania belum bisa membayar tebusan motornya lantaran gaji bulanan belum turun.

Singkat cerita, Rania sampai ke tempat tujuan dan hasilnya bukanlah hal yang bagus. Prasangka terburuk Rania menjadi kenyataan, rupanya garis polisi juga sudah terpasang di depan rumah Yuli. Rania yakin betul kalau aplikasi Death Timer adalah biang di balik kepergian orang-orang yang dia sayangi. Rania masih bisa berpikir positif bahwa mungkin kematian Rian hanyalah suatu kebetulan, tetapi lain halnya dengan kematian Andre. Waktu prediksi Andre tiba-tiba berubah menjadi begitu singkat sesaat sebelum si pembunuh mengetuk pintu, rasanya cukup mustahil jika semua ini terjadi tanpa kesengajaan.

Rania tahu Yuli pasti tidak memedulikan peringatannya dan tetap mengunduh aplikasi Death Timer, dasar sifat alami manusia, kian dilarang kian dilakukan. Sekarang Rania baru menyesal, mestinya dia tidak pernah mengenalkan Death Timer kepada Yuli. Bahkan sebaiknya Rania mendengarkan Rangga sejak awal agar dia dan ketiga sahabatnya tidak akan mengunduh aplikasi perenggut nyawa itu. Air mata hampir membasahi pipi Rania, tetapi dia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Tatapan Rania seketika berubah tajam, dalam kondisi seperti ini bukan saat yang tepat untuk meratapi nasib.

Rania mengeluarkan ponselnya, dia hendak mengecek Death Timer guna mengetahui seberapa banyak waktu yang masih tersisa. Namun, sesaat sebelum Rania menekan ikon aplikasi Death Timer, mendadak layar ponsel berganti lantaran adanya telepon masuk dari Alika. Rania tentu saja mengangkat panggilan itu, tetapi alih-alih Alika yang berbicara, dia malah mendengar suara Rangga di ujung telepon.

"Ran! Apa kau sudah lihat berita hari ini?" tanya Rangga yang terdengar begitu risau.

Rania segera mengerti apa yang ingin Rangga perbincangkan. "Iya, aku sudah tahu tentang kasus Andre. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan sekarang, kurasa situasi ini benar-benar buruk!"

"Baiklah, di mana kita akan bertemu?"

"Di kafe dekat kampus kalian saja. Kau sedang dengan Alika 'kan? Ajak dia juga!" pinta Rania.

"Iya, aku dan Alika akan langsung ke sana. Kau juga cepatlah datang," ucap Rangga yang kemudian mematikan telepon.

 Kau juga cepatlah datang," ucap Rangga yang kemudian mematikan telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Hullo~! Readers!

Selesai lebaran author akhirnya update lagi! Udah pada puas kan makan ketupat sama kue ಡ ͜ ʖ ಡ

Wooho~! Makasih banyak buat readers yang udah cobain nebak alur cerita ini, author seneng banget ngebacain ya (≧▽≦)

Eitsss tapi ingat, cerita ini baru sampai 10 ch loh, alurnya masih panjang~! Jadi nantiin terus ya kelanjutan Rania dkk ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

See u later~! 💢❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Towards DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang