Chapter 03. Awal Mula

150 57 266
                                    

Akhirnya lima sekawan itu dapat kembali bersua, masing-masing dari mereka saling bercerita tentang pengalaman menarik yang terjadi belakangan sambil sesekali bernostalgia tentang masa-masa SMA. Andre telah mematikan siaran langsungnya sejak makanan tiba, pastinya dia juga tidak mau melewatkan momen berharga ini. Perbincangan mereka berlima terus mengalir bak air, tak sekalipun mereka kehabisan topik obrolan.

Namun mendadak Rania merasakan ada sesuatu yang ganjal di dalam perutnya, dia tak yakin telah memakan sesuatu yang mempercepat pencernaannya, tetapi sekarang dia mesti ke toilet guna memenuhi panggilan alam.

"Eh aku ke toilet dulu, ya." Rania hendak berdiri dari kursinya sembari memandang Alika.

Mungkin kaun hawa diam-diam dapat saling bertelepati, pasalnya hanya lewat pandangan mata Alika bisa mengerti maksud Rania. "Aku temenin ya, Ran. Sekalian aku mau pakai wastafel juga."

Rania dan Alika kompak menuju toilet. Mereka berjalan sejenak lalu memasuki pintu dengan logo perempuan minimalis berwarna merah muda. Ternyata toilet itu sedang sepi, saat ini hanya ada mereka bedua di dalam. Rania buru-buru masuk ke dalam bilik, sedangkan Alika hanya memandangi pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Sebelum buang air besar, Rania melapisi dudukan kloset dengan tisu toilet, dia memang bukan sosok yang begitu higienis, tetapi toilet umum terasa sangat kotor baginya.

Kini Rania hanya berdua dengan Alika, kesempatan emas untuk menanyakan sesuatu yang tidak bisa dia lontarkan di depan ketiga sahabat lainnya. "Lika?" panggil Rania dari dalam bilik.

"Hm?" gumam Alika menanggapi Rania.

"Lika, kau pacaran dengan Rangga, ya?" tanya Rania tanpa basa-basi.

Mendengar itu Alika refleks tersenyum tipis. "Belum pacaran sih, Ran. Tapi kayaknya Rangga suka sama aku deh."

"Kenapa kau bisa mikir gitu?"

"Rangga itu baik banget loh, dia suka antarin aku ke mana-mana. Tadi juga dia yang antarin aku ke sini," jawab Alika tersipu malu.

"Jangan baper dulu, Lika. Siapa tahu Rangga cuma kasihan, kau tak bisa bawa motor sendiri 'kan?" Rania sedikit meragukan pernyataan Alika.

"Tapi, Ran. Rangga ngajakin aku keluar loh!" seru Alika.

Rania yang hendak menyiram kloset sontak kaget. "Serius, Lika? Rangga ngajakin ke mana?"

"Ke bioskop, nonton film horor loh. A Quite Place 2!" Alika makin bersemangat, film horor kedengarannya seperti genre favorit untuk kencan pertama, bukan? Sebuah alasan yang bagus untuk mendapatkan pelukan ketika orang yang kau taksir sedang ketakutan.

"Kelihatan banget kalau Rangga mau PDKT. Kau saja sudah punya calon pacar. Apa kabar aku yang masil jomlo dari lahir?" keluh Rania yang baru saja keluar dari bilik.

"Yang sabar, Ran. Aku doain kau cepat ketemu jodoh, deh."

Rania tidak berkata apapun, namun dalam hatinya dia mengaminkan doa Alika dengan sepenuh hati. Setelah mencuci tangan di wastafel, Rania dan Alika kembali ke meja makan guna bergabung dengan tiga sahabat lainnya. Lima sekawan itu lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbincang dibanding menyantap makanan, tidak salah, tujuan utama mereka datang kemari memang reuni. Waktu terasa berlalu begitu cepat, langit yang semula biru sekarang mulai bercampur jingga, kelimanya tak mau pulang ketika gelap, maka dari itu mereka mulai bersiap-siap untuk meninggalkan restoran.

"Eh, ini yang mau bayar makanan siapa?" tanya Andre tiba-tiba.

Seketika Rangga melirik ke arah Rania. "Bayarin ya, Ran. Kau 'kan sudah kerja, gajimu stabil pula."

"Lah, kok aku? Suruh Andre yang bayar, kemarin aku lihat dia baru dapat uang dari endorse obat peninggi," tolak Rania.

Enggan membayar Andre justru berdalih, "Lika, kau saja yang bayar, ya? Kita di sini 'kan sekalian rayain kau menang olimpiade."

"Tapi yang ngajak reuni di sini 'kan Rangga. Harusnya kau yang bayar," ujar Alika sambil menyenggol Rangga dengan sikunya.

Menyaksikan sahabatnya yang saling oper, Rian bermaksud memberikan solusi. "Kenapa tidak bayar sendiri-sendiri saja?"

Mendadak suasana di meja itu menjadi geming untuk beberapa saat, hingga tiba-tiba Andre memecah keheningan. "Kurang asyik kalau bayar sendiri-sendiri. Begini saja, kalian tahu Death Timer?"

"Apa itu?" tanya Rania mewakilkan rasa penasaran Alika, Rangga dan Rian.

"Kemarin aku tak sengaja ketemu aplikasi unik ini di Play Store. Kalian lihat sendiri saja." Andre menunjukkan layar ponselnya pada keempat sahabatnya. Dari deskripsi, aplikasi itu mengklaim dapat memprediksi kapan penggunya akan meninggal. "Bagaimana kalau kita semua download Death Timer, terus yang waktunya paling sedikit harus bayar makanannya. Seru 'kan?"

Penasaran dan antusias, akhirnya mereka memutuskan untuk mengunduh Death Timer, pengecualian Rangga, dia sedikit tak yakin dengan aplikasi itu. "Eh, sebentar. Kalian yakin aplikasi ini aman?"

"Kenapa, Rang? Kau takut?" tanya Andre dengan nada yang menantang.

Meski demikian Rangga tidak terpancing. "Bukan begitu, Dre. Cuma ada baiknya kita hati-hati 'kan?"

"Tenang saja, Rang. Palingan hasil prediksinya nanti angka acak," ujar Alika santai, sebab dia sama sekali tidak mempercayai aplikasi itu.

Sempat ragu sejenak, namun akhirnya Rangga memutuskan untuk tidak mengunduh Death Timer, alasannya bukan karena takut, tetapi dia waspada. "Kalian download saja, aku tidak mau. Biar aku bayar makananku sendiri."

Mendengar hal itu, keempat sahabatnya tidak memaksa, biarlah Rangga memilih keputusannya sendiri. Ponsel Rania selesai mengunduh Death Timer, alhasil dia langsung membuka aplikasi itu. Untuk masuk ke dalam Death Timer rupanya diperlukan email dan nomor telepon, tanpa pikir panjang Rania segera memberikan email juga nomor teleponya. Rania kira setelah mengisi itu dia bisa langsung bisa mendapatkan angka prediksi, ternyata tidak, Death Timer justru memberikan beberapa pertanyaan bergilir yang mesti dia jawab.

"Login-nya ribet juga, ya?"

"Jawab saja, Ran. Pertanyaan gampang kok itu," balas Andre.

Usai diyakinkan Andre, Rania lanjut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu, total ada sekitar sepuluh pertanyaan bergilir. Kini layar ponsel Rania berganti menunjukkan animasi loading, cukup lama hingga akhirnya dia didahului oleh Alika.

"Prediksiku sudah keluar! Tiga belas hari, lima jam, dua puluh menit, dan sepuluh detik." Alika membaca prediksinya.

Rania kembali melirik layar ponselnya, ternyata prediksinya juga sudah keluar. "Punyaku enam belas hari, dua jam, lima puluh menit, dan dua belas detik."

"Dua puluh delapan hari, dua puluh tiga jam, empat puluh menit, dan sebelas detik. Wah! Prediksiku paling lama!" seru Andre mengetahui prediksinya yang nyaris menyentuh satu bulan.

Rania, Alika, dan Andre menyebutkan prediksi mereka dengan santai, tentu saja karena mereka tidak mempercayai angka-angka itu. Namun sedikit berbeda dengan Rian, dia tampak sedikit ketakutan saat membaca prediksinya. "Kenapa waktuku sedikit sekali, sih? Lima jam, lima belas menit, dan lima detik."

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Hullo~! Readers!

Tokoh-tokohnya udah mulai main sama aplikasi Death Timer tuhh ( ꈍᴗꈍ)

Eheumm kalo penasaran tungguin chapter selanjutnya ya~!

See u later~!(◍•ᴗ•◍)❤

Towards DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang