Dua Puluh Dua

362 41 11
                                    

Tak enak hatiku mendapati begini sikap suami. Dinginnya malam masih kalah dingin dengan sikapnya. Ketakutan-ketakutanku kala hendak menikah dengannya dulu terbukti sudah. Mungkin aku memang tak pantas untuknya. Dia terlalu baik untukku. Aku terlalu kotor untuknya.


Walau dia tak berkata apa-apa namun aku dapat membaca gelagat sikapnya. Setelah malam pertama itu dia sepertinya curiga padaku. Apa yang telah kulakukan sebelum ini seperti dapat diendusnya. Masih dua minggu dia menjadi suamiku, dan sudah begini rikuh rasanya bertatapan mata dengannya. Bagaimana waktu-waktu yang harus kulalui di masa yang akan datang?


Bukannya menghabiskan waktu bersamaku sebagai istrinya, dia justru setiap saat bersama Mas Malik, kakakku satu-satunya. Yang membuatku kesal, walau tak ada hal penting yang perlu dibicarakan dia tetap berada di dekat Mas Malik. Menghindariku. Sebenarnya senang hatiku melihat keakraban mereka. Salah satu kebahagiaan suami-istri adalah dapat melihat pasangannya menjalin keakraban dengan sanak keluarga. Namun jika aku sebagai istrinya disisihkan?


Apakah aku sudah mencintainya?


Pertanyaan itu seketika membuat dadaku berdesir. Selama ini tak pernah ada dalam hatiku tersimpan namanya. Kalaupun ada, itu hanyalah perasaan ketertarikan melihat lawan jenis yang memiliki pelbagai kelebihan. Dan itu tidaklah selalu bisa dinamakan sebagai sebuah rasa cinta, menurutku.


Lalu kenapa aku jengkel merasa tak diperhatikannya? Perasaan cintakah yang menumbuhkannya? Bukankah rasa cinta selalu beririsan dengan benci? Aku menelan ludah. Meneguk gelisah.


Pikiranku kembali berputar-putar. Apakah rasa jengkel ini tumbuh karena hakku sebagai istrinya tak terpenuhi? Ataukah karena telah tumbuh rasa cinta di hatiku? Carut-marut hatiku. Kalang kabut hati ini menata perasaan. Kebahagiaan yang ingin kusemai di biduk rumah tangga rupanya tandus belaka.


Telah dingin kopi yang kuseduh beberapa saat yang lalu, dan dia tak kunjung pulang. Kutanyakan pada umi apa yang seharusnya aku lakukan, perempuan penuh kasih sayang itu memintaku tenang menunggunya di sini. Kulakukan apa yang dimintanya itu. Aku kembali ke kamar guna merapikan tempat tidur. Kusemprotkan pewangi ruangan. Kubuka jendela lebar-lebar. Lalu kuhamparkan sajadah dan segera aku melaksanakan salat dhuha. Kuhirup ketenangan dalam setiap gerakan salat dan setiap untaian doa yang kubaca.


Setelah selesai salat empat rakaat pintu kamar terbuka. Terdengar bunyi pintu berderit lembut. Dadaku menggeletar. Kucoba khusuk dalam berdoa. Pontang-panting aku berusaha. Dan sia-sia. Dia berjalan mendekat. Keberadaannya di sisiku membuat pikiranku ke mana-mana. Lagi-lagi dia menatapku dingin. Apakah selalu begini lelaki yang di hatinya hanya ada Ilahi tatkala memandang wanita? Sebegitu tak pentingnyakah diriku di hadapannya? Apakah begini manifestasi dari i'tikad maa fi qolbi ghoirulloh?


"Kenapa lama sekali?" tanyaku lirih. Dia tak menjawab, matanya memandang jendela yang memperlihatkan pohon-pohon rambutan dengan tatapan kosong. "Kopinya di meja ruang tengah, Mas. Tapi sudah dingin," tukasku.


"Sudah dingin?" dia bertanya.


Aku mengangguk.


"Aku tak suka kopi yang sudah dingin, bikin asam lambung naik," suara lirih itu dibalut nada sarkastis.


"Aku pun tak suka sikap yang dingin. Kopi yang dingin masih bisa diminum, kalau suami yang dingin? Ke mana akan kusandarkan kegetiran perasaanku tatkala butuh kehangatan?" kuberanikan bersuara.


"Kamu menyindirku?"


"Menasihati. Kamu sudah jadi suamiku, Gus. Kalau keliru aku berhak menasihati," semakin berani aku bersuara dan menatap matanya.


"Bersama Mas Malik aku mendata santri baru yang baru saja mendaftar pagi ini."


"Santri putra?" tanyaku penasaran.

Ruang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang