Dua Belas

542 62 5
                                    

Keesokan harinya langit berwarna biru cerah mewarnai pagi. Walaupun begitu sisa-sisa hujan masih nampak di dedaunan. Angin yang sesekali bertiup menerpanya membuat bintik-bintik air hujan itu jatuh berguguran dan menghilang di tanah yang becek. Hawa dingin masih berselimut di udara pagi ketika sinar mentari sudah mulai menyibak rimbun pepohonan. Suara derasnya aliran air yang mengalir di selokan depan pondok terdengar jelas hingga ke depan masjid. Hujan deras semalam menyisakan tanah becek dan licin serta muncul banyak genangan air di mana-mana.

Ketika aku masuk ke ndalem untuk menyapu suasana rumah itu sangat sepi. Memang sudah menjadi rutinitasku untuk menyapu rumah sampai halaman, perasaan enggan dan segan harus dilawan. Untuk pekerjaan dapur biasanya dikerjakan oleh santri putri. Itupun kalau ada tamu aku yang sering disuruh oleh Bu Nyai. Apalagi sekarang Mbak Fandra sudah menikah dan kelihatannya belum ada yang menggantikan sehingga aku sering menggantikan tugasnya memasak air minum untuk para tamu.

Ketika aku hendak membuang sampah di samping rumah kulihat ada Ning Ica yang sedang duduk sendirian di ruang belakang. Di tangannya ada HP yang dipegang dan terus dipelototinya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku, kami memang berjarak agak jauh. Aku berjalan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Aku tidak ingin dilihatnya. Akan tetapi ketika aku membuang sampah gadis itu lantas terperanjat melihat ke arahku. Dia kemudian pergi begitu saja setelah melihat diriku. Seolah-olah aku adalah hantu yang ditakutinya. Apakah salahku? Kenapa dia terlihat begitu sedih? Mungkinkah perpisahan kakaknya itu begitu mengguncang hatinya? Iya, mungkin perceraian kakaknya itu adalah penyebab kesedihannya. Lalu kenapa ia begitu acuh padaku? Kenapa dia menghindariku?

Terasa ada yang hilang saat aku melihatnya dalam keadaan demikian.

Sebenarnya walaupun dia sedang tidak berdandan dan kerudungnya dipakai asal-asalan pun tetap saja terlihat aura kecantikan itu di wajahnya. Tapi penampilannya seperti ini adalah hal yang amat tidak biasa bagi gadis cantik itu. Biasanya dia selalu tampak ceria. Aku terus berpikir tentangnya sambil melangkahkan kaki seusai bersih-bersih di ndalem. Tak berapa lama kemudian aku sudah berada di pondok, tempat menuntut ilmu yang seolah sudah menjadi rumahku sendiri. Rumah peninggalan nenekku di kampung jarang sekali aku tengok. Mungkin sekarang tembok dari bambu itu sudah menjadi santapan rayap-rayap yang kelaparan. Aku hanya pulang menengoknya sesekali untuk memanen kopi. Hasil penjualan bijih kopi itu lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku.
Keseharianku selain ngaji adalah berjibaku dengan mesin-mesin sepeda motor bobrok di bengkel tempatku pertama kali kerja sehabis lulus SMA dulu. Di bengkel inilah dulu aku pertama kali mengenal Ning Ica. Perkenalan itu kemudian membuatku sempat keluar dari bengkel ini. Rasa cinta pada seorang perempuan ternyata dapat mengubah haluan hidup. Benar kata Gus Malik ketika menukil salah satu petikan kalimat dari kitab al-hikam itu, "seseorang akan menjadi budak dari apa yang dicintainya". Cintaku padanya membawaku pada rasa patah hati yang teramat mengguncang hidupku. Dan pertemuanku dengan orang tua di tepi laut itu membuatku terseret pada pusaran waktu dan bahkan kemudian membawaku terlibat dalam kehidupan rumit Gus Malik beserta keluarganya. Orang tua di tepi laut itu menyadarkanku akan hakikat hidup ini. Aku pun disuruhnya untuk berguru pada Gus Malik. Kemudian aku berhidmah menjaga toko milik Gus Malik setelah keluar dari bengkelku bekerja. Aku teringat kembali pada peristiwa kebakaran hebat yang meluluh-lantakkan toko Gus Malik itu masih menyisakan rasa penasaran di pikiranku. Siapa pelakunya? Lalu apa hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Gus Malik? Dan apakah ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Kyai Suja' beberapa tahun sebelumnya?

Sebelum berangkat kerja aku menyempatkan diri untuk menjemur pakaian yang tadi kucuci di kamar mandi. Jemuran pakaian berada di belakang pondok, dekat dengan pondok putri. Hanya butuh beberapa menit saja bagiku untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Aku lantas kembali ke pondok.

"Sedang apa Kang?" tanya Gus Malik tiba-tiba. Aku berhenti dan menghadap ke arah guruku itu. Aku merasa bingung harus menjawab apa karena aku yakin apa yang sedang kulakukan diketahui Gus Malik. Aku sedang berjalan pelan menuju ke arah pondok setelah menjemur pakaian yang kucuci sehabis subuh tadi. Gus Malik menyapaku dari teras rumahnya. Gus Malik tak berpeci menampakkan rambutnya yang Nampak tak terurus. Dia hanya memakai kaos oblong putih dipadu sarung berwarna putih kotak-kotak. Kulihat ada sesungging senyum di bibirnya yang membuatku merasa adem.
"Mau ke pondok Gus," jawabku akhirnya. "Kenapa Gus?" aku mengajukan tanya.
Gus Malik terdiam beberapa saat.
"Maksud saya kamu tidak usah terlalu kepikiran dengan apa yang sedang dihadapi gurumu. Kamu belajar saja. Kalau mau kerja, jangan lupa ditata niatnya. Agar tidak sia-sia waktu yang kau habiskan," ucap Gus Malik lagi.
"Nggih Gus," jawabku pelan. Bagaimana putra Kyai Suja' itu bisa tahu isi pikiranku?
"Sudah ada kunyit yang bisa dipanen?" tanyanya lagi.
"Nanti coba saya lihat Gus. Maaf Gus, apa sekarang jenengan sudah nggak pernah terasa sakit lagi Gus?" aku memberanikan diri bertanya.
"Beberapa hari ini aku sudah merasa lebih baik," jawabnya kemudian.
"Mungkin obat dari rumah sakit itu mujarab ya Gus," selorohku.
"Allah sebenarnya tak butuh perantara untuk menyembuhkan penyakit hambanya. Sudahlah, sebaiknya sekarang kamu segera berangkat kerja."

Tiba-tiba Ning Ica datang mendekat ke arah Gus Malik. Gadis itu membisikkan seseuatu pada kakaknya. Aku masih berdiri memaku khawatir kalau Gus Malik masih mau mengajakku berbicara.
"Kenapa nggak ngomong langsung padanya?" ucap Gus Malik agak keras. Ning Ica lantas mencubit lengan kakaknya itu hingga membuat Gus Malik berteriak. Ketika Gus Malik hendak memarahinya Ning Ica kembali berbisik-bisik di telinganya. Aku semakin bingung haruskah melanjutkan langkah untuk kemudian berangkat kerja atau berhenti dulu. Namun akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan langkahku karena melihat adik-kakak itu masih berbicara dengan suara yang tak mampu kudengar.
"Tunggu!!!" teriak Ning Ica mengagetkanku. Aku seketika berhenti lagi. Gadis itu berjalan ke arahku sedangkan Gus Malik berdiri memandang kami lekat.
"Ada apa Ning?" tanyaku dengan rasa penasaran yang membuatku bertanya-tanya. Detak jantungku berdesir-desir melihatnya semakin mendekat ke arahku.
"Mas Fans, Ica boleh titip dibelikan pulsa nggak? Boleh ya? Pasti boleh kan?" tanyanya dengan raut ragu. Matanya kemudian menunduk. Aku semakin menangkap perubahan-perubahan dalam sikapnya.
"Iya. Silahkan. Berapa Ning?" tanyaku. Gadis itu lantas memberikan secarik kertas kepadaku. Dia kemudian pergi sambil mengucapkan terimakasih. Kulihat Gus Malik tersenyum padaku ketika aku masih mengikuti langkah kaki adiknya itu. Aku sangat malu terlihat oleh Gus Malik sedang memperhatikan adiknya seperti ini. Setelah beberapa saat berdiri memaku aku kemudian mendekat ke arah Gus Malik dan menyalaminya seraya berpamitan mau berangkat ke bengkel.
"Seminggu lagi kita puasa ya?" Gus Malik berkata dengan pelan. Aku menatapnya penuh tanda tanya. Puasa apa maksudnya? Bukankah Ramadan masih lama lagi?
"Nanti kujelaskan. Sekarang pergilah," lagi-lagi Gus Malik berkata dengan suara yang sangat pelan. Dan aku semakin merasa heran melihat Gus Malik seolah mampu membaca batinku.

Aku mengendarai sepeda motor menuju bengkel dengan rasa penasaran yang terus menghantui. Aku mampir di sebuah konter kecil untuk membeli pulsa pesanan Ning Ica. Dan sesampainya di bengkel suasana masih sepi. Pak Breng baru datang dan di depannya sudah ada secangkir besar kopi yang masih mengepulkan uap panas. Mulutnya menyemburkan asap. Lelaki itu tertawa menyambut kedatanganku.
"Nampaknya gelisah sekali. Kenapa? Utangnya sudah jatuh tempo? Atau hatinya sudah jatuh lagi pada hati seorang gadis pesantren yang katanya cantik-cantik itu? Jangan gala uterus dong jadi anak muda! Nikmati hidup ini! Kopi saja yang terasa pahit bisa dinikmati! Kenapa hidupmu enggak?" seloroh Pak Breng disertai tawa. Aku mendekat untuk duduk di sampingnya dan menyeruput kopi di meja depannya. Di pinggir bedak bengkel ada beberapa meja dan kursi yang biasanya dipakai oleh para customer. Kami duduk di sana.
"Pura-pura sedih Pak," jawabku pelan.
"Bisa-bisa saja Bro! Padahal aslinya memang sedih beneran ya? Hahaha!!!" Pak Breng lantas terkial.
"Bahagia sekali kau Pak kalau lihat temannya sedang sedih!" balasku cepat. Aku kembali menyeruput kopinya.
"Sudah naluri sedari kecil, kebahagiaan menjadi semakin sempurna kalau melihat kesengsaraan orang lain! Hahahaha!" Pak breng semakin terbahak-bahak.
Hampir kuteriakkan umpatan yang mengeram di hatiku. Tiba-tiba terlintas wajah teduh Gus Malik di pelupuk mataku. Segera kuucap istighfar di hati. HP di saku bajuku bergetar. Aku cepat-cepat membukanya. Debar-debar di dadaku semakin menjadi-jadi ketika kulihat Ning Ica mengirimu pesan WA.

[Assalamualaikum Mas Fans.
Mas, maafkan Ica ya, Ica tdk bisa menepati janji yang dulu Ica ucapin sendiri...]

Kubaca pesan Ica dengan dada bergemuruh. HP kututup segera. Dan gadis itu masih mengetikkan pesan sesuatu.

Kopi di depanku terasa kian pahit. Dan serta merta hilang semua kenikmatan itu.

Bersambung.

Purworejo, 26 Sept 2019.

Ruang SunyiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora