PART 2 (2.2)

1.5K 1.5K 254
                                    

Langit semakin memanas, awan putih menepi ke sudut cakrawala sementara hamparan langit biru terlukis bagai segenggam cat tumpah. Aku mempercepat langkah -- menghindari panas yang mulai menyala, lantas mulai mencari pria pemesan kopi.

Aku melangkah dengan sedikit berani mengamati seluruh area yang saat ini dimasuki. Sesuai tebakan, kantor megah ini bergerak di bidang media cetak. Bunyi printer dan suara mesin berkumandang di mana-mana, memberi kesan tersendiri untukku.

Aku abaikan perasaan tersebut, sambil bergegas mengantarkan pesanan yang barangkali sudah ditunggu sejak tadi. Aku simak satu per satu perawakan orang-orang di sini, mencocokkan dengan kriteria yang disebutkan Aras tadi sebelum menyuruhku kemari.

"Hei, wanita pengantar kopi ...." Suara itu berhasil menyita perhatian, menghentikan gerak kakiku.

Mataku mulai memindai perawakannya, rambut sedikit pirang dengan potongan undercat, wajah tegas, bola mata cokelat, alis yang tidak tebal, tubuh yang tidak terlalu gemuk, dengan tinggi kira-kira 168 cm. Setelah menelaah cukup lama, aku yakin ia pria yang tadi dimaksud oleh Aras.
"Helo, hei ... yah, malah melamun." Sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depanku.

Aku serahkan sepuluh cup kopi padanya. "Ini," ucapku datar.

"Kenapa melamun?" tanyanya setelah meletakkan kopi tersebut di meja kosong.

"Saya takut kalau salah orang," jawabku seadanya.

Ia memberiku uang pas. "Apa kamu orang baru di kantin? Wah, sejak kapan, bunda merekrut pegawai se-manis ini?" gumamnya.

"Permisi." Lantas segera berlalu dari hadapannya.

"Hei, nama kamu siapa?" Aku mengacuhkannya. "Wanita pengantar kopi?" teriaknya ingin tahu. "Hei ... aku akan menemuimu di sana ...." Tentu saja, aku tidak menghiraukannya.

Nama? Apalah arti nama -- apa nama sepenting itu? Lalu, ketika ia mengenal namaku, apa ada yang berbeda? Bukankah, tanpa mengenal nama, dialog bisa tercipta dengan sendirinya? Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana sebuah nama bisa membuat orang-orang berdebar.

"Alka, apa namaku masih membuatmu jatuh cinta?"

******

Mengingat kantin yang sedang ramai, membuatku berjalan lebih cepat. Sesekali berlari ringan, berjalan cepat -- terburu-buru, berharap agar segera sampai di kantin. Namun, hampir di ujung tangga, kakiku berhenti. Menatap sesosok pria yang tengah bersandar di tiang tangga.

Aku berhenti, berdiri tepat di depannya, dan ia hanya sibuk bersandar sembari melipat kedua tangan. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya tanpa ada nada ramah sedikitpun. Dari mana ia tahu jika aku berada di sini?

"A -- aku, habis ngantar kopi," jawabku tergagap.

"Kopi?" ulangnya.

"Iya."

"Bukankah, kamu sangat membenci kopi?" pungkasnya tajam. Mengenai kopi, aku memang tidak menyukainya sama sekali. Bagiku, kopi bukanlah sesuatu yang harus disukai, wanginya yang menyengat, warnanya yang hitam, ampasnya yang bertumpuk, dan rasanya yang pahit, tidak ada satu pun yang membuatku jatuh cinta dengan kopi.

Dulu, setiap kali mencium aroma kopi perutku mual, lidah terasa hambar, sementara Alka akan mengalah -- rela tidak menyeruput minuman kesukaannya, hanya demi membuatku nyaman. Bukan hanya Alka, bapak pun melakukan hal yang sama.

Bapak pernah bilang, aku mirip sekali dengan ibu. Waktu ibu tengah mengandungku, ibu tiba-tiba membenci wangi kopi. Setiap ibu melihat bapak menyeduh biji hitam tersebut, bapak harus rela menerima omelan yang tiada henti dari ibu. Untung saja, bapak sangat menyayangi ibu. Mungkin saja karena itu, aku sangat membenci serpihan hitam legam itu.

"Aku hanya mencoba menyukai apa yang kamu sukai, Alka," balasku mencairkan suasana.

Namun, Alka hanya kokoh bagai tembok. "Untuk apa, Are? Untuk apa lagi? Jangan konyol ...."

"Untuk terbiasa dengan hal yang aku benci ... kamu tahu sendiri, 'kan, kalau aku sangat membenci kopi? Tapi sekarang, aku akan belajar menyukainya."

Aku mencoba melihat reaksinya, tapi sayang ia tidak menunjukkan apa-apa. "Bukankah, aku sudah menyuruhmu untuk pulang, kenapa masih di sini?" tanyanya mengalihkan.

Percuma bermain tarik ulur dengannya, tetap saja ia tak mengerti atau pura-pura tidak mengerti? "Alka, ada apa sebenarnya? Apa yang sedang kamu sembunyikan?" tanyaku lugas.

Aku tatap mata beningnya, mata yang selalu berhasil menjadi wadah paling menenangkan untukku. "Are, gak ada gunanya lagi kamu di sini ... aku hanya muak melihatmu di tempat ini. Jangan keras kepala." Dengan intonasi yang menekan.

"Alka, maaf itu masih ada, 'kan? Kenapa kamu ingkar?" jawabku menatap lekat wajahnya.

Alka menghela napas, membuatku sedikit gundah. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Are. Kamu tidak perlu lagi repot-repot mengulang semua hal yang sudah kamu sudahi."

Aku telan air liur dengan paksa, menahan deru yang mulai mengusik. "Aku tidak repot, Alka."

"Tapi aku kerepotan, Are ... sangat-sangat kerepotan."

Aku tidak pernah berpikir, hal ini akan menjadi rumit seperti ini. Delapan bulan telah berlalu, bukannya rindu yang berkeliaran dalam benaknya, melainkan benci yang teramat dalam hingga membuatnya tidak lagi bisa aku kenali.

"Alka, kamu tau, gak semudah itu untukku membuka ruang bagi orang lain, setelah bapak meninggalkanku, apa kau juga akan meninggalkanku?" tanyaku dengan mata yang mulai berkaca, tentu masih ditahan sebisaku.

Tiba-tiba, aura Alka berubah, dadanya naik- turun, bibirnya terkatup sagat rapat, ia seperti menahan sesuatu yang begitu merumitkan dalam kepalanya. "Tanya dirimu, Ar. Kamu yang lebih dulu mencampakkanku, dan sekarang kamu bilang menyesal? Rasaku tidak sehebat yang kamu pikirkan, Are. Rasa yang aku punya, tidak sesabar yang kamu bayangkan."

"Alk ...."

Alka berlalu, seperti dulu ketika aku berlalu darinya. "Are, jangan pernah mencoba menyukai apa yang kamu benci, itu hanya membuatmu tersiksa." Aku terpaku -- gagal mempertahankannya dan kalah ketika melepasnya.

Sosoknya sudah tidak terbaca olehku, ia menjauh ketika aku mendekatinya dan ia sirna ketika bayangku memerangkapnya.

Goresan rasa tidak lagi sekomplit dulu, sekarang sirna terhantam oleh ragu yang merajai. Aku susun setiap kepingan masa lalu, menimbunnya dengan keberanian yang terbelenggu. Ia kaku ketika kataku telah mengumbar, sementara ia hambar ketika rasaku mulai menggelegar.

Salahku yang terlalu buta memahami maksudnya, salahku yang terlalu tuli mendengar bisikan hatinya, dan salahku yang terlalu bisu ketika membungkam hatiku yang mengarah kepadanya.

Sekarang, perih yang ia sembunyikan semakin terlihat jelas. Namun, aku mengerti perih itu hanya ia tujukan kepadaku.

******

Hei terimakasih karna kalian udah sampai pada Part ini.

By the way, untuk PART 2 Bagian 3 InsyaAllah hari Kamis yah...

Kalian harus menunggu Seperti aku yang menunggu. 🤗

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang