PART 9 ROOFTOP

204 190 13
                                        

“Dalam ukiran kenangan, kita semakin tersudutkan. Tujuanku membuatmu bertahan, akan tetapi tujuanmu justru membuatku terlupakan.”

Untuk kesekian kalinya aku kembali termenung. Merindukan sosok bapak agar ada di sini. Kepergiannya yang sangat mengejutkan membuat segalanya hancur berantakan. Tidak ada lagi pria pertama yang akan memelukku dengan erat.

Ketika air mata itu menetes, bapak akan selalu datang – mengecup kepala, mengatakan bahwa dunia ini tidak pernah lepas dari rasa sakit, dan aku kembali tenang dalam pelukannya.

Kini, tidak ada lagi. Bapak telah pergi, menghilang ke dunia yang berbeda. Aku hanya bisa memandang bulan kesukaannya – mencari keberadaannya. Bapak pernah bilang, bulan tidak pernah kesepian walau hanya bersinar seorang diri, karena ada bintang yang menemaninya.

Sama halnya denganku. Sekalipun merasakan sakit sendirian, merasakan sepi tanpa siapa pun, tidak perlu khawatir, sebab bapak akan selalu ada di sampingku. Namun sekarang, ia di mana? Mengapa aku tidak bisa menemukannya di atas sana?

“Are, bulannya indah, ya?”

Aku tersentak, menarik pandangan dari langit malam. “Eh, Bunda,” sapaku. 

Bunda duduk di samping ayunan yang kududuki, memandang bulan sepertiku.

“Kalau duduk sambil lihat bulan seperti ini, jadi keingat masa camping dulu,” ungkap bunda.

“Bunda, pernah camping?”

“Ya pernah, dong. Gini-gini, Bunda juga punya masa muda … kau kira Bunda hidup di zaman purba?” jelas muda tersenyum. “Waktu itu, sama ibu kamu juga ….” 

“Ibu jarang cerita sama aku, Bun.”

“Ibu kamu itu misterius, pendiam sekali orangnya … tertutup kayak kamu,” balas bunda terkekeh.

“Dulu, pas Bunda baru ketemu sama Dita di SMP, Bunda juga kesulitan mendekati ibu kamu.” Bunda menyilangkan kakinya.

“Kamu mau tau, kenapa Dita luluh sama, Bunda?” Aku senyap, menanti bunda. “Itu karena bunda sampai bela-belain bolos sekolah hanya untuk menjenguk ibu kamu yang lagi sakit.” Bunda tertawa riang.

Aku ikut tertawa, hanyut bersama kenangan masa lalu bunda dan ibu.

“Apa Bunda juga akrab sama almarhum, Bapak?” tanyaku penasaran.

Bunda mengangguk. “Bapak kamu itu teman baik, Bunda … kami kenal sejak SMA dan Bundalah yang mengenalkannya pada Dita … Bunda bahagia sekali karena jadi saksi perjuangan mereka … mereka berdua adalah pasangan yang serasi, Are.”

Aku mengangguk. Tidak bisa berkata-kata. Hanyut pada cerita romansa ibu dan bapak. Sungguh, aku baru tahu ternyata bundalah yang berperan di dalam pertemuan bapak dan ibu.

“Bunda tahu betul, bagaimana Dudi begitu mengagumi Dita, tapi syukurlah setelah tiga tahun perjuangan, akhirnya ibu kamu mau nerima Dudi sebagai calon suaminya.” Dudi, nama bapak. “Dudi itu pria yang baik, Are … bapak kamu itu adalah pria yang luar biasa.”

Pantas saja, Alka dan Bapak begitu dekat, benakku. Kini, aku paham bahwa bapak dan Alka mempunyai sifat yang sama, sama-sama gigih dan pantang menyerah. Alka gigih memperjuangkanku dan bapak gigih memperjuangkan ibu. Bedanya, ayah meninggalkan ibu untuk selamanya, sementara Alka meninggalkanku tanpa sempat memulai segalanya.

“Kisah cinta itu menyenangkan, Nak. Kita bisa jatuh kepada siapa pun yang kita inginkan dan kita juga bisa jatuh kepada seseorang yang bahkan tidak pernah kita pikirkan sama sekali … tapi, terkadang kita harus berada di tempat yang salah dulu, sebelum jatuh di tempat yang tepat,” jelas bunda kembali menerawang.

“Apa tempat yang kuhuni bukan tempat yang tepat, Bunda?” lirihku tanpa sadar.

“Jangan berpikiran seperti itu, Are. Kau harus tahu, Nak, cinta yang sempurna itu tidak ada, yang ada bagaimana cara kita membuat cinta itu menjadi sempurna.”

“Hah,” desahku.

“Are, duduk di samping kamu seperti duduk di samping Dita. Kalian berdua adalah wanita yang manis, kalian terlalu pandai menyembunyikan perasaan masing-masing ….”

“Tapi aku bersyukur ibu punya bunda,” lirihku.

“Kamu salah, tapi bundalah yang bersyukur punya Dita.” Bunda terkekeh. Matanya berbinar. Namun, aku hanya diam, merenungkan ucapan bunda.

“Kau pun harus tau, Are, tidak ada ikatan tanpa perpisahan … cepat atau lambat, semuanya akan pergi pada waktunya, entah karena maut atau karena belum jodoh.”

Aku terhenyak, terpaku pada pernyataan bunda.
Bunda mengusap pundakku bagai paham beban yang sedang kurasakan.

“Tidak ada yang suka dengan kehilangan, Nak … tapi larut pun percuma – tidak ada gunanya. Walaupun berat, harus dijalani, hanya dengan begitu hati kita bisa mengerti bahwa sedih, sakit, marah dan kecewa semuanya adalah bumbu kehidupan.”

Mataku basah. Aku harap bisa seperti itu, Bunda, jawabku dalam hati.

******

See You NEXT WEEK YA ..
MAKASIH UDAH BACA ..
LUV ♥️

Garis Rasa (END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora