Enggan masuk ke dalam, aku memilih berdiam di belakang gedung hotel. Menjernihkan pikiran yang penuh oleh kejadian demi kejadian yang sulit ditafsirkan.
Lagi pula, berada di keramaian bukanlah sesuatu yang menyenangkan, selain harus berinteraksi dan berbaur dengan orang asing, aku juga dituntut untuk berpura-pura ramah pada setiap tamu yang hadir. Sungguh, itu hal menyulitkan.
“Siapa yang bilang, lo boleh duduk nyantai di sini?” sergah Jeli begitu saja.
Dari mana ia tahu aku berada di sini? Apa ia memasang pelacak di tubuhku? Mengapa selalu berhasil mengusik kedamaian yang ingin diciptakan?
Aku berdiri. “Sebentar lagi aku masuk, Jel.”
“Lo seharusnya ngurus konsumsi, Are.”
“Iya, sebentar lagi aku masuk,” ucapku meminta pengertian.
Jeli menyibak rambut, menarik napas dengan geram. "Sebentar lagi?" ulangnya geram.
Aku mendesah, dan langsung mematuhi perintahnya. Jangan kira senang, ini dilakukan demi menjaga kehormatanku, sebab jika menolak Jeli bisa saja murka dan berteriak-teriak seperti orang gila. Tentu saja, itu bisa menarik perhatian tamu yang hadir.
"Are, lo dari mana aja, pekerjaan di sini masih banyak, dan lo enak-enak keluyuran gak jelas," sergah Sela saat melihatku masuk ke gedung.
"Maaf, tadi aku keluar sebentar."
"Are, bantuin gue … lo pikir ini gak berat?” celetuk Jeli menyela. Ia membawa nampan seukuran tiga kali wajahnya. "Woi, lo dengar, gak?!" Ia terhuyung-huyung.
Dengan enggan, aku hampiri dirinya. Namun, ada yang aneh dengan sikapnya. Jeli mengabaikan uluran tanganku. Ia hanya berjalan semakin dekat.
Selagi sibuk menebak-nebak yang ingin dilakukannya, Jeli sudah lebih dulu menumpahkan isi nampan ke pakaianku.
Mangkuk-mangkuk kecil berdenting - menguasai suasana. Saus merah, cokelat tumpah ruah. Sekarang, aku terlihat seperti ikan yang baru dicelup ke dalam adonan basah.
“Lo bisa megang gak, sih?” rutuk Jeli. "Gara-gara lo isinya tumpah semua."
Aku masih terdiam, mengamati lantai yang dipenuhi berbagai macam saus. Sungguh, tidak menyangka Jeli akan berbuat se-rendah ini.
"Astaga, Are ... lo benar-benar ya," potong Sela.
"Ntah, emang gak becus," timpal Jeli membersihkan tangannya dengan serbet.
Aku menatap Jeli dengan heran. “Kamu yang numpahin, Jeli, kenapa nuduh aku?” pungkasku sambil membersihkan saus yang menempel di baju putihku.
Kini, mata-mata yang ada dalam gedung mulai tertuju padaku seakan-akan sedang menyaksikan opera paling mengenaskan. Mereka berbisik, tatapan sinis, bengis, seolah-olah akulah yang salah dalam situasi ini.
"Ya ampun, Are - lo yang salah, malah gue jadi pelampiasan ... maaf semua, dia emang kayak gini, gak punya sopan santun." Jeli melirik tamu-tamu yang sedang menonton.
“Kalau lo gak mau bantu, seharusnya ngomong, ….” Sela ikut memanaskan suasana.
“Sela, gak gitu ….”
“Udah, jangan banyak alasan lo!” teriak Jeli.
Semua mata masih menatap penuh benci. Aku tidak bisa berkilah ataupun berkelit. Jeli dan Sela, terlalu mendominasi.
"Udah gue bilang, kan - jangan macam-macam sama gue," bisik Jeli saat aku bergeming.
Sungguh, rasanya terlalu sakit, tidak ada yang menolong, apalagi mengulurkan tangan. Mereka hanya sibuk dengan pendapat masing-masing, terlalu bising, hingga telinga dan hati seperti disengat beribu-ribu hujatan melengking.
Selagi fokus menenangkan degup yang bergemuruh, tiba-tiba punggung terasa hangat laiknya sedang di dekap begitu erat.
Secara perlahan, aku berbalik, menatap lirih seseorang yang sedang meletakkan handuk di pundak. Tanpa kata, tanpa suara, kami bersitatap dengan jarak yang begitu tipis.
Mata berembun, hati tersentuh, jiwa memadu. Aku ingin memeluknya, ingin menangis sekuat-kuatnya, ingin hilang dalam dekapannya. Malangnya, tidak bisa, itu hanya ilusi yang dipaksa untuk terjadi.
Ia merangkul, menuntun keluar, menyelamatkan dari ribuan peluru yang tengah ditancapkan di jantungku. Ia menyuruh, masuk ke mobilnya.
“Kenapa selalu diam diperlakukan kayak gitu, Are? Kamu bisa melawan, seenggaknya bela diri kamu sendiri - kamu gak harus patuh dengan semua tuduhan mereka,” omelnya ketika aku telah terduduk lemah di dalam mobil.
“Apa bedanya kamu dengan mereka, Alka?” tukasku begitu saja.
"Ini bukan tentang aku, tapi tentang kamu yang selalu pasrah di hina orang lain." Ia melirik. "Apa kamu se-bodoh itu untuk sekadar menyelamatkan diri kamu sendiri? Berapa kali aku bilang, lanjutkan hidup kamu."
Alka menyalakan mobil, berbaur bersama jalanan yang begitu angkuh.
"Alka, harga diri aku udah hancur - dan itu terjadi ketika aku mutuskan datang ke sini."
“Biar aku antar kamu pulang,” sanggahnya.
“Pulang? Untuk apa?"
"Untuk memulihkan semuanya."
Aku menatapnya, mencoba mencari kebenaran di balik ucapannya. Namun, ia hanya sibuk memandang jalanan tanpa menatap sama sekali.
“Are, kamu bisa pergi tanpa aku. Kamu bisa memulai segalanya lagi dari awal, gak perlu ngorbanin harga diri kamu demi aku … aku bukan lagi pulang yang kamu tuju, bukan pula kompas yang bisa nyelamatin kamu saat tersesat, kisah kita udah berubah - udah gak sama. Udah seharusnya kita cari jalan pulang masing-masing dan itu - antara aku atau kamu, gak ada lagi kita."
Aku menggigit bibir, menahan sesak yang berkunjung.
“Semestinya dulu, kamu gak perlu ngajari aku apa itu arti pulang, Alka, karena nyatanya kamu sendiri gak paham apa arti pulang dan sekarang kamu bilang bukan aku? Semudah itu?”
“Kamu yang buat aku mengenyahkan kata itu, Are. Kamu lupa, dulu kamu satu-satunya pulang yang aku tuju?” sergahnya dengan intonasi meninggi. "Kamu selalu jadi kompas yang ngarahin aku buat pulang dan itu selalu kembali ke kamu."
“Ya, selalu itu yang kamu jadikan alasan – dulu, dulu, dulu, sampai kapan kamu nyiksa aku dengan alasan-alasan itu? Apa belum cukup lihat aku hancur, Alka?!”
Ia melajukan mobil. Tidak lagi terpengaruh dengan keputusasaan yang disampaikan. Suaraku melunak, frustrasi menghadapi kekekehannya.
“Alka, bukankah rumah itu masih ada? Gak bisakah kamu mengembalikannya?”
“Are, mengertilah … gak semua perasaan harus kamu satukan. Kadang, beberapa perasaan cukup jadi ingatan yang diingat seumur hidup, gak semua perasaan ditakdirkan harus utuh."
“Itu kamu, bukan aku!” rutukku seraya membanting pintu mobilnya yang tengah berhenti di depan rumah.
Aku semakin membenci diri sendiri, seharusnya bisa terbiasa tanpa hadirnya, kembali ke sedia kala, atau minimal sedikit lebih berlogika.
Ia telah pindah, bukan lagi di alamat yang sama, telah jauh ke tempat yang sulit diraba, tapi mengapa masih bersikeras harus dengannya?
Padahal, hanya ada memori lama. Kami telah musnah, tidak bisa disebut teman atau mantan, hanya ada di antara keduanya. Sekarang, harus apa? Saat pulangnya telah berubah arah, haruskah pulangku tetap dengannya?
"Pak, jaga dia - karena aku terlalu lelah."
ESTÁS LEYENDO
Garis Rasa (END)
RomanceAku hanya wanita yang tidak bisa mengatakan, "Jangan pergi ... kita belum selesai ...." IG. devii_lestarii08
