PART 11 RUMAH SAKIT

170 156 6
                                    

"Aku berjalan di lorong yang fana. Di sepertiga tikungan, aku bertemu denganmu, kita terlahir dalam satu rasa yang sama dan dipaksa melupa tanpa diminta."


Bekerja di luar kantor memang menyenangkan. Terlebih lagi bersama Asa, aku bisa mendapatkan wawasan baru dari caranya bekerja. Ia termasuk wanita ulet dan gigih sebagai seorang jurnalis. Asa pun kerap kali bekerja laiknya mesin yang tidak pernah mengenal kata menyerah.

"Itu pabrik apa, Asa?" tanyaku saat kami berteduh di bawah tepian atap pos ronda.

Aku tidak tahu daerah mana yang sedang kami kunjungi, tapi berdasarkan pengamatan, daerah ini seperti berada di kawasan industri, hanya ada pabrik dan beberapa usaha menengah di sini, kalau pun ada rumah, bisa dihitung pakai jari.

"Oh itu - pabrik karet ...," jawabnya dan langsung menenggak air mineral.

Asa menyilangkan kaki, melepas topi hitam yang selalu melekat di kepalanya.

"Kamu capek?" Ketika melihat peluh membasahi paras manisnya.

"Yoi, mana ada kerjaan yang gak capek, Are ...."

Aku tersenyum. Setahuku, Asa tidak pernah mengeluh sedikitpun, apalagi perihal tugas yang ditekuninya. Namun siang ini, ia terlihat sangat jujur dengan dirinya sendiri.

"Berarti kamu juga manusia biasa," ledekku.

"Lo pikir gue apa? Mesin pabrik?" kelakarnya.

"Bukan gitu ... aku cuma salut lihat cara kamu bekerja."

Asa menepuk-nepuk betisnya. "Asal lo tau, Are ... sekalipun hampir enam tahun gue kerja di sini, tetap aja sampai sekarang gue masih kesulitan ...."

"Kesulitan?"

"Yups, kesulitan dalam segala hal." Ia terkekeh.

Aku tidak lagi melanjutkan pertanyaan. Kami hening, melempar pandangan pada jalanan yang ramai. Sesekali bunyi mesin rumput terdengar, sesaat kemudian aroma dari pabrik karet menyengat. Saking baunya, sampai-sampai hidungku mati rasa. Bau ini terlalu tajam, berhasil melumpuhkan semua indera.

Selagi beristirahat, sebuah motor tiba-tiba berhenti. Sontak, mata menyipit, mencoba mengenali si pengendara motor.

"Kak, Are ...," panggilnya sambil membuka helm.

Aku masih menyimak perawakannya. Wajah lonjong, mata kecil, rambut diikat sementara tubuh kurusnya dililit kaus oblong bercorak tengkorak dan kaki jenjangnya dibalut celana jins robek.

"Rewa," gumamku samar-samar seperti kepada diri sendiri. Rewa, adik Alka.

Mengenai Rewa, aku hanya sekali bertemu dengannya. Dulu, ketika aku dan bapak berkunjung ke mal perbelanjaan di Jambi. Alka sendirilah yang memperkenalkan tentang sosok Rewa.

"Ngapain di sini, Kak?" tanyanya, belum beranjak dari atas motor.

Alka bilang, Rewa memang hobi mengendarai motor ketimbang mobil. Jadi, tidak heran bila melihatnya bertingkah seperti ini. Namun, mengapa raut wajah Rewa tidak se-ceria yang terlihat dulu? Sekarang, ia tampak lebih kaku. Cara bicaranya tidak se-santai biasanya. Apa perubahan sikap Rewa karena ia tahu perihal kandasnya hubunganku dan Alka?

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang