PART 3 (3.2)

1.1K 1.1K 179
                                    

Orang-orang baru mulai bermunculan. Banyak dari mereka yang tidak pernah terbayangkan akan menjadi bagian dari kisahku. Aku yang mengira dunia ini terlalu sempit, mulai dihadapkan dengan fenomena-fenomena yang tidak terduga.

Semestinya, aku bisa menatap sekeliling dengan cermat, membagi apa-apa yang bisa dibagikan pada mereka. Namun, aku terlalu jauh memikirkan segala hal, hingga perlahan-lahan yang aku temui hanya sepi yang tidak berujung.

"Assalamualaikum ...," ucap wanita di belakangku. Lamunanku terputus, menebak-nebak wanita yang sedang berada satu radius denganku. Aku mengenal suara ini, ia wanita yang begitu berharga untukku.

"Waalaikumsalam," jawabku merekah. Ibu memeluk, mengusap puncak kepalaku. Ya, ia adalah ibu, setengah bagian dari diriku.

"Apa kabar, Nak?" tanya ibu lembut.

"Baik, Bu. Ibu, apa kabar?"

"Seperti yang kamu lihat ...." Ibu tersenyum. "Ibu, sehat." Aku miris melihat wajah ibu. Tidak ada lagi tanda-tanda bahagia di raut wajahnya, yang bisa aku potret hanya kepedihan dan kehilangan yang masih membekas dalam binarnya.

Aku memang tidak bisa menggantikan sosok bapak untuk ibu, tapi mulai sekarang, akan aku pastikan selalu ada di sampingnya, seperti bapak yang selalu setia menemani ibu.

******

Aku duduk di ayunan depan rumah, kembali menatap anak-anak yang sibuk bermain bola. "Hei, Tetangga!" Wajahku berpaling, bagai ada magnet yang menariknya -- memindai pria bermata cokelat tersebut. "Apa kau mengacuhkan panggilanku?" Setelah mendekat. Tampaknya ia baru pulang kerja, terlihat dari pakaiannya yang masih lengkap.

"Aku gak dengar," bantahku.

"Bohong," sangkalnya.

"Sampai kapan kamu berdiri di situ?" Tatkala ia hanya berdiri di depanku.

"Apa kamu menyuruhku duduk?"

"Bukan, tapi kamu menghalangi pandanganku." Pura tertawa, semakin mendekat, mengambil duduk di sebelahku, membuatku ingin cepat-cepat berlalu.

"Bagaimana dengan tawaranku waktu itu?" Ya, tadi pagi ketika mengantarkan kopi ke kantornya, Pura menawarkan agar aku bersedia bekerja di perusahaan tempat ia bekerja. Tentu saja, aku abaikan.

"Aku belum memikirkannya," elakku. Aku kembali melirik anak-anak bermain bola kaki, sampai lupa bahwa Pura masih menatapku. Aku gerah? Iya, karena titik cokelat itu, seperti sedang membobol ruang kecilku. "Kamu ngapain lagi di sini?" Ketika bosan meladeninya.

"Gak ada ...." Mengendikkan bahunya.

"Kalau gak ada, bisakah kamu pergi?"

"Kenapa? Apa kamu takut?"

"Aku hanya gak suka, itu aja ...." Sudah cukup, Alka saja yang membuatku lelah. Aku tidak ingin mengundang siapa pun lagi untuk merasuk ke dalam kisahku. Cara ia mendekatiku, terlalu sama dengan cara Alka mendekatiku. Bukannya takut, tapi perihal hati siapa yang tahu?

******

Aras, mengajakku menemaninya ke supermarket. Tempat yang akan kami kunjungi tidak terlalu jauh dari rumah, hanya berselang lima belas menit, aku dan Aras sudah berada di supermarket yang akan kami tuju.

Supermarket ini, sangat besar, terletak di samping deretan toko baju, didominasi pengunjung wanita muda dan tua. "Supermarket ini adalah langganan bunda berbelanja, Are, selain harganya murah, bahan-bahan yang dijual juga sangat berkualitas," jelasnya menyurapai sales supermarket.

Aku mengangguk, seraya mengambil keranjang belanjaan -- mengelilingi seluruh rak sayuran, mencari bahan-bahan segar yang akan digunakan Aras untuk memasak makan malam.

"Aras, aku juga mau mencari sesuatu. Apa kamu keberatan kalau ditinggal?"

"Kamu mau beli apa?"

"Aku mau nyari sabun mandi, masalahnya kulit ibu sensitive, jadi gak bisa pakai sabun sembarangan," terangku pada Aras.

"Nanti, kita ketemu di depan, aja."

Aku terima saran darinya, lantas menyusuri rak demi rak yang berjejer. Ibu memang tidak bilang, jika ia lupa membawa sabun mandinya. Namun, melihat kulitnya yang memerah, sudah pasti ibu menggunakan sabun yang tidak cocok dengan kulitnya.

Aku berhenti, mataku berhasil menemukan merek sabun yang biasa ibu gunakan. Aku ambil dua botol sabun berukuran besar, membawanya ke meja kasir. Aku selesaikan pembayaran lantas keluar dari supermarket.

Selagi menunggu Aras, pandanganku tertuju pada satu titik. Apa itu ia? Tanpa aba-aba kakiku berjalan lebih dekat dengannya. Detik ini, aku tak akan lagi menjauhinya -- mendekatinya bagai lebah yang mengerubungi serbuk sari.

"Apa kamu nunggu, Rewa?" Setelah sampai di hadapannya. Rewa, nama adik Alka.

Bagi Alka, menunggu Rewa berbelanja merupakan pilihan terbaik, ketimbang harus menemani adiknya berputar mengelilingi seluruh supermarket.

Alka menengadah, membuka kaca mata hitam yang dikenakannya. Ia bisu -- semu -- bagai batu, membeku. "Kamu masih marah?" tanyaku, memberanikan diri.

"Kamu masih di sini?" Mengabaikan pertanyaanku.

"Urusan aku belum selesai, Alka." Meyakinkannya.

"Urusan apa lagi?"

"Urusan hatiku yang kau tangguhkan."

"Gak ada gunanya lagi, Are. Udah berapa kali aku bilang, seharusnya kamu ngerti," ketusnya.

Aku hempaskan napas dengan gusar -- kesal melihat kesungguhannya -- berusaha meneguhkan hati agar tak rapuh. Aku tahu ia marah -- sadar bila ia terluka, tapi aku bagaimana?

Alka berdiri dari duduknya. Rahangnya mengeras, binarnya ganas, ia menjelma serupa kabut panas. "Kamu mempersulitku, Are. Kedatanganmu hanya membebaniku."

Tanganku terkepal. Beban? Aku beban? Hah, ingin rasanya kurobek perasaannya, mencari kejujuran yang tersisa. "Apanya yang sulit? Aku yang mendekati kamu, atau kamu yang sedang membenciku?" sungutku.

"Delapan bulan sudah berlalu, sekarang kamu datang seakan semuanya baik-baik saja. Kamu pikir semudah itu, Are?"

Aku tatap kembali matanya, mencari rasa yang barangkali masih ada. "Aku gak bilang ini mudah, Alka. Ini juga sulit buat aku ..."

"Kamu yang memutuskan hubungan ini ...."

"Aku ingin kamu ngerti. Aku ingin kamu kasih aku waktu, tapi kamu justru ...."

"Ngerti? Kamu lupa, dua tahun lebih aku ngejar kamu, Are ... dan kamu bilang, aku gak bisa ngertiin kamu? Apa serendah itu rasa aku buat kamu?"

Suaraku melunak. Berusaha menghancurkan benteng yang digunakannya. "Alka, izinkan aku memperbaiki segalanya."

Alka mengusap wajahnya. Ini respons yang diberikan tubuhnya jika sudah frustrasi.

"Perbaiki? ... yang kamu perbaiki itu bukan kaca atau boneka mainan kamu. Ini hati aku, dan bagaimana bisa, kamu memperbaikinya ketika aku sendiri gak berniat memperbaikinya?"

Aku hening, terdiam bagai pecundang -- tertunduk bagai pasukan kalah perang -- hancur, musnah, punah, runtuh tanpa penyangga, menyakitkan.

Tatapanku kosong -- tidak lagi memiliki kata-kata untuk membantahnya, mengenaskan. Alka berpaling, lenyap bagai embun yang mengering, keterlaluan.

Ini semakin merumitkan. Bagaimana lagi, aku menyambung rasa yang telah patah? Tidak ada lagi gurau yang merayu, tak ada lagi sapa malu-malu.

Apa lagi yang harus diramu, jika rasanya telah menjauh sementara rasaku telah memadu? Ya, kecuali memaksanya terjun ke skenario baru. Aku yang merindu, biarkan aku yang merangkak, sekalipun itu membuatku hangus bagai debu.

*******

Yuk, duduk denganku.
Mari mengorek sisi terdalam Alka ...
Udahan lah yah ????

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang