PART 4 DI BAWAH TERIK MATAHARI (4.1)

1K 978 246
                                    


Kau tak ingin menatapku. Namun sayang, aku tak ingin menjauhimu. Di bawah terik mentari langkahmu semakin dilafalkan.


Tidak ada ketenangan yang bisa ditenangkan. Semua keriuhan itu hanya berkoar di benak, berkonspirasi menjadi beban yang tak bisa disingkirkan. Aku urut kepala yang terasa nyeri, menatap sinar lampu yang berkedip. Sejak semalam, aku tidak bisa tidur, anganku masih saja mengarah padanya. Aku benar-benar merindukannya. "Kamu sudah bangun, Nak?" tanya ibu ketika aku baru keluar dari kamar.

"Iya, Bu." Selesai menunaikan salat subuh, ibu memang langsung beranjak dari tidurnya. Bagi ibu, tidur setelah salat subuh, hanya membuat kepalanya pusing. Aku kagum dengan ibu, mau selelah apa pun, ia akan tetap tertidur tepat di jam sembilan dan bangun di tengah malam, karena faktanya ibu memang gemar sekali mengerjakan ibadah malam.

"Bersihkan tubuh kamu ... setelah itu, kita sarapan." Aku turuti permintaan ibu, lantas membasuh raga yang terasa begitu letih. Aku percepat kegiatanku sembari berlekas menemui ibu yang telah menunggu di meja makan.

Kami santap sarapan pagi dengan formasi lengkap, hanya ada empat wanita di rumah ini. Namun rasanya, sudah cukup untuk memulai kembali waktuku yang sempat terabaikan. Kendatipun, aku masih terpukul dengan kehilangan yang kurasakan, tapi aku harus tegar karena masih ada ibu yang harus aku perjuangkan. "Bu, boleh aku bertanya?" Setelah bunda dan Aras beranjak dari meja makan.

Ibu membersihkan mulutnya dengan tisu sedangkan aku masih gugup. Aku gigit bibir bawah, berusaha memberitahu ibu mengenai hal yang mengganjal di relungku. "Apa boleh, aku kerja lagi, Bu?" Tanpa memandang ibu.

"Kerja?" Aku masih menunduk. Jika, aku mulai takut atau ragu, aku tidak mampu memandang wajah lawan bicaraku, apalagi wanita yang telah melahirkanku, dia pasti tahu mengenai semua hal yang aku sembunyikan darinya. Menunduk adalah satu-satunya pelarian yang aku punya. Aku hanya takut melihat reaksi yang akan aku dapatkan dari mereka.

"Iya, Bu ... kerja seperti dulu."

"Maksud kamu? Kita balik ke, Jambi?"

"Bukan, tapi aku mau kerja di sini, Bu."

"Kerjaan seperti apa yang kamu maksud, Are?" tanya ibu sedikit memaksa.

"Kerjaan yang aku impikan, Bu."

Ibu menghela napasnya, aku ragu melihat reaksi ibu. "Are, kita numpang di sini, Nak, kalau kamu kerja di tempat lain, gak enak sama bunda."

"Bu ...."

"Kali ini mengertilah, kita tidak bisa tinggal di sini terus-menerus, rumah kita bukan di kota ini, Are," ucap ibu yang aku tahu tidak bisa dibantah. Jika, intonasi ibu sudah berubah maka satu-satunya jalan hanya patuh tanpa menyanggah.

"Gak apa, Dit ... bila Are, ingin bekerja di tempat lain, biarkan saja. Toh, untuk masa depannya juga, kita selaku orang tua gak boleh egois," celetuk Bunda.

"Aku gak enak sama kamu, Lit ... rasanya, aku sudah sangat merepotkan kamu."

"Kamu aja yang merasa direpotkan, Dita. Aku biasa aja, malah aku senang karena sahabat baikku ada di sini, denganku."

"Santai aja, Bu ... lagian, kalau Are kerja di kantin, percuma juga, yang ada dapur malah berantakan," timpal Aras ketika sibuk dengan rempah yang diraciknya.

"Aras," tegur bunda.

"Beneran, Bun ... Are, gak bisa masak ... dia itu harus les dulu sama aku." Aku tidak tersinggung, karena ucapan Aras benar adanya. Aras tidak bisa memanipulasi kata-kata yang akan disampaikannya. Ia hanya mengatakan apa pun yang terlintas di hatinya.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang