PART 11 (11.3)

145 133 18
                                    

Aku menyusul bunda ke rumah sakit, walau hanya duduk di luar kamar Aras, itu sudah cukup untuk menemaninya yang terbaring. Namun, di antara lorong rumah sakit, langkahku terhenti.

“Kamu nyuruh aku buat lupa, tapi kenapa selalu berkitaran di sekitarku, Alka?” sindirku.

Ia membeku, maniknya melebar. “Ka – kamu masih di sini?” tukasnya tergagap.

Sudah beberapa hari ini, aku melihatnya di rumah sakit yang sama denganku. Apa ia sakit? Apa keluarganya dirawat di rumah sakit ini? Atau ada hal lain yang sedang disembunyikannya?

“Apa kau sakit?” tanyaku menusuk.

“Temanku menginap di rumah sakit ini, Are.”

“Siapa? Wanita selainku?” sergahku.

Alka membatu, ia menatap sendu, tatapan yang seolah menjadi jawaban yang kubutuhkan selama ini. Mengapa tatapannya berubah? Ke mana sinis yang selalu menyelimuti binarnya?

Ada apa, Alka? Apa yang sebenarnya sedang kamu sembunyikan? Batinku.

“Kamu gak perlu tau,” sanggahnya dengan lirih.

“Alka, serumit inikah melupakanmu?” ucapku pasrah.

Ia membuang pandangannya, menatap para perawat yang berlalu-lalang di samping kiri dan kanan.

“Kamu bisa, Are ... Pura, lelaki yang baik,” balasnya acak.

“Aku sedang membahas kita, Alka, bukan, Pura.”

Padahal, aku hanya berjarak tiga langkah darinya, tapi rasanya aku dan ia seperti dua orang yang baru bertemu - berdiri begitu canggung, mengabaikan ingin satu sama lain.

Sekarang, di ujung persimpangan, aku di hadapkan oleh dua pilihan, melupakan atau dilupakan.

“Aku tidak ingin menyakitimu lebih parah dari ini, Are … jadi aku mohon, berhentilah dan pergi dari sini. Jalani hidupmu dan bahagialah.”

“Tanpa kamu suruh pun, aku juga bakalan pergi, Alka. Bukan hanya pikiranku, tapi hatiku juga akan melepasmu ... tenang aja, aku akan bahagia sekalipun tanpamu, itu janjiku.”

Alka tidak bereaksi, paras wajah tampannya hanya datar, tidak terjelajah sama sekali. Ia seperti embun yang menghilang di pagi hari, laiknya uap yang mengering di siang hari. Entah ke mana jalan ini akan membawa, yang pasti bukan lagi ke ranahnya yang selalu didatangi. 

Seandainya bisa, aku ingin memasuki maniknya, mencari apakah masih aku pemiliknya.

“Jangan lagi menoleh ke belakang, itu cara kamu buat pulih,” pintanya yang jauh lebih sendu dari biasanya.

“Aku gak butuh saran kamu, urus saja hatimu sendiri. Selamat, jika kau sudah mendapatkan penggantiku,” erangku.

Aku dan ia saling melempar bising yang tidak bersuara. Sesekali, aku terseret dalam ragu yang dibendungnya, tersesat jauh ke dasarnya. Ia terlalu kosong untuk diresapi, terlalu dalam untuk dihayati. Semakin jauh mengayuh, semakin tersakiti, membuatku tidak bisa lagi mendekati, kecuali mengizinkannya pergi.

******

19 Desember 2017

Di bawah pondok yang barusan selesai dibangun bapak dan Alka, aku terduduk, menatap awan yang sedang beratraksi dengan gemulai. Tidak ada mendung, kecuali cerah dan berangin.

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang