PART 7 (7.2)

260 272 36
                                    

Sudah empat jam aku dan Alka berada di tempat ini. Sekarang, kami dipaksa bergabung bersama para warga yang sudah lebih dulu berkumpul di dalam tenda.

Daun pisang telah dibentangkan, kaki-kaki disilangkan dan aneka macam makanan disajikan penuh keistimewaan sementara para pria sudah lebih dulu mengambil tempat, sedangkan para wanita disibukkan dengan penyajian makanan.

Menurut berita yang tersiar, ini seperti penghormatan yang diberikan wanita terhadap suami-suami mereka.

“Kalian berdua duduklah, tidak usah repot-repot,” tegur ketua adat ketika aku dan Alka sibuk membantu membereskan perhelatan.

“Tidak apa-apa, Pak ... saya tidak repot kok,” ucap Alka menimpali.

“Kalian adalah tamu di sini, jadi duduklah,” paksa pria tersebut.

“Nurut saja,” bisik wanita yang tadi memberiku minuman.

“Apa dia istrimu?” Kali ini pria di samping ketua adat yang angkat bicara. Pria brewokan dan berambut cepak.

Aku dan Alka seketika membeku. Pertanyaan bapak tersebut berhasil membuat suasana bertambah rancu.

“Dia hanya bawahan saya di kantor, Pak, tidak lebih,” selanya begitu saja.

Baru saja hendak mencerna pertanyaan pria tersebut, Alka justru mematikan harapanku – membunuh segala amin yang dipanjatkan. Aku kecewa mendengar kejujuran yang di sampaikannya, terluka dengan spontanitasnya.

Dulu, setiap kali ada yang bertanya tentang hubungan kami, maka dengan santai ia akan mengatakan, ‘Dia pasangan saya, cuma belum resmi,’ dan aku akan semringah mendengar penuturannya.

Namun sekarang, melihatnya dengan lantang menegaskan posisiku di kehidupannya, menyadarkanku bahwa kami hanya kisah yang mengusang, sebatas tinta yang telah memudar. Mungkin memang sudah takdirnya, ia tercipta sebagai sesuatu yang dikenang begitu lama.

"Kalau dia bukan suamimu, kau tak perlu melayani makanannya … sudah, duduk saja di sini,” sahut ketua adat memotong.

Bibir-bibir mereka mulai tersenyum, tampak terhibur dengan jawaban yang diberikan ketua adat. Aku tidak bisa pergi dari sini – tidak bisa meninggalkan acara ini, hanya bisa mengabaikan semua perkataan mereka - bergabung dengan semua wanita yang sudah duduk di atas tikar rotan.

Jujur, suasana ini begitu riuh, membawaku hanyut pada tiap candaan yang mereka pancarkan. Bapak benar, aku hanya perlu berbaur dengan orang-orang baru, menatap dunia luar, mungkin dengan begitu rasa sepi yang aku rasakan bisa sedikit terlupakan.

Kini, semua makanan sudah selesai disantap. Aku dan Alka langsung beranjak ke tempat acara berikutnya.

Acara pencak silat yang sedang kami saksikan sangat penuh atraksi. Pakaian melayu terlihat begitu elok, peci hitam yang dikenakan pun menambah rasa keagamaan yang begitu kental.  Alka yang berdiri di sebelahku mulai memainkan lensa kameranya, tidak membiarkan momen langka ini berlalu begitu saja.

Untunglah, acara pencak silat selesai, dan saat ini di sinilah kami terkepung. Kali ini aku benar-benar meneguhkan hati, menguatkan rasa agar tidak goyah, lebih tepatnya agar tidak hancur-lebur.

Aku tatap pemandangan yang tersaji, merekamnya dengan hati perih, meski kaki memaksa berlalu, jiwa mengutuki supaya lekas mundur, tapi tugas ini membuatku terduduk pilu.

Aku turuti ucapan Alka, memegang kamera, sementara Alka bergabung melakukan wawancara langsung.

Calon mempelai wanita mulai dihias dengan hena, ukiran-ukiran bunga tertancap dengan lentur di kulit indahnya. Warna merah berkibar, bersatu dengan euforia yang berkoar-koar. Apa sebesar itu kebahagiaan seorang wanita yang akan melangsungkan pernikahan? Ia tampak bahagia.

“Apa gambarnya bagus?” tanya Alka tiba-tiba.
Mataku masih hanyut dalam kekaguman yang terlintas, mengacuhkan ucapannya.

Aku masih fokus menyimak wanita tersebut, ia meliuk-liuk manja, sesekali sang ayah menyuapinya dengan makanan, sementara ibunya mengusap puncak kepalanya. Aku iri dengan tawa itu, iri dengan bahagia yang tengah dirasakannya dan iri karena wanita itu memiliki kehidupan yang begitu sempurna.

“Bisa aku lihat gambarnya, Are? … Are …,” ujar Alka di sampingku.

Aku kembali ke dunia nyata, menyadari Alka yang sejak tadi terabaikan – menyerahkan gambar yang selesai diambil, membiarkannya menilai. “Oke,” jawabnya setelah selesai memindai gambar tersebut. 

Semua gambar sudah dirampungkan, tidak lupa aku dan Alka berpamitan dengan ketua adat serta sesepuh desa. Sore mulai terlihat, mengharuskanku dan Alka agar berlekas pulang. Jalanan malam yang pekat merupakan salah satu kelemahan Alka. Ia tidak terlalu suka berkendara di saat malam, katanya keadaan gelap sering membuatnya mengantuk.

Tiba di dalam mobil, aku membuang pandangan – melirik langit yang mulai keemasan, berharap bisa menetralkan semua lelah akibat beraktivitas satu harian.

“Alka, apa memang gak ada lagi harapan untukku?” gumamku tanpa memandang wajahnya.

“Berhenti mempertanyakan sesuatu yang sudah kamu tahu jawabannya.”

Aku menelan saliva, lalu menyandarkan kepala. “Apa sekarang, aku terlihat begitu menyedihkan?” tanyaku berat sambil menoleh ke arahnya.

“Apa kamu butuh jawabanku?” Ia bergeming bagai patung di emperan toko. 

“Kalau kamu gak ingin menjawabnya, gak usah dijawab."

“Are, berhenti akan jauh lebih baik, ketimbang harus memperjuangkan hal yang telah usai.”
Mobil kembali melaju, membawaku pergi dari sini. “Aku tau ini sakit, tapi akan lebih sakit jika kamu membuang waktu untuk menanam kembali pohon yang telah mati.”

Semua orang hanya menyuruh berhenti, tapi tidak ada satu pun yang menjelaskan bagaimana caranya untuk berhenti. Jika hanya sebatas ucapan, aku pun bisa mengatakannya.

“Bagaimana caranya, Alka? Kau bisa memberitahuku?” tanyaku sarkas.

“Paksa ….”

“Apa kau sudah melupakanku?”

Ia mendesah, tangannya mencengkeram erat stir mobil, sedangkan binarnya terbuang jauh ke jalanan ramai. “Aku tidak melupakan sosokmu, Are ….”

“Jika kau tidak melupakanku, lantas?”

“Aku hanya melatih rasaku agar berhenti memihakmu.”

Langit menghitam, buram tanpa warna, senja telah tiada, menyisakan kelam yang membara. Sayup-sayup video usang termelodikan indah, menghempas di liang candala.

Para jiwa mengemis asa, mengembalikan selamat pada kata ‘Sampai jumpa’, awalnya tidak apa-apa, sebelum menyadari bahwa rasa itu telah punah. Tanpa rekayasa, tanpa drama, ia menjelma hampa – menampar hingga jatuh bernanah.

******

Ada yang gemes gak sama Alaka ??? 😌😌😌

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang