Cessalie : 07

3.8K 188 13
                                    

Hai semua selamat membaca dan jangan lupa vote komennya ❤️

Cessa POV :

“Cantik banget!!!”

Aku tersenyum malu saat mendengar pujian dari Kak Bima. Aish, bisa sekali dia membuat jantungku berdegup kencang. Sekarang dia tengah menatapku seraya tersenyum manis, melihat penampilanku saat ini. Aku memakai dress selutut yang baru dibeli bersama Kak Leon tadi. Kak Bima tersenyum menunjukkan kedua lesung pipinya yang cukup dalam. Aku paling senang melihatnya seperti itu, dia terlihat manis.

Sekarang kami berdua sedang berada di kamarnya. Dia duduk di pinggiran kasur, memakai kaos hitam oblong dan celana Levis pendek. Rambutnya yang acak-acakan menambah kesan tampan.

“Gue mandi dulu ya,” ucapnya lalu segera masuk ke kamar mandi.

Aku duduk di pinggiran kasur, tempat yang Kak Bima duduki tadi. Pikiranku berkelana teringat saat aku tidur bersamanya semalam di ruang keluarga. Mengingat cerita Kak Bima yang katanya di rumah ini banyak penghuninya, aku jadi susah untuk tidur. Aku memang tipe orang yang penakut.

Saat itu aku memperhatikan wajahnya dalam-dalam. Tentu saja dia sudah tertidur, mana mungkin aku berani menatapnya terang-terangan kalau dia masih terbangun. Aku melihatnya tanpa berkedip, rambutnya yang berantakan dan agak panjang menutupi dahinya, hidungnya mancung, dan bibir tebalnya yang berwarna merah muda, jangan lupakan lesung pipinya yang masih terlihat sedikit walaupun dia sedang tertidur. Aku melirik tangan kanannya yang memeluk pinggangku membuat aku menyunggingkan senyuman. Tangan kiriku pun ikut aku lilitkan di pinggangnya, mengikuti apa yang dia lakukan saat ini. Hingga posisi kami saat ini seperti berpelukan. Entah keberanian dari mana aku melakukan hal itu.

Aku kembali melihat wajahnya. Tidak bosan-bosan aku melihatnya. Astaga kenapa dia sangat tampan?

Ya, sepertinya aku sudah jatuh hati pada Kak Bima. Di waktu yang sesingkat ini. Padahal kita baru saja bertemu tapi kenapa aku sudah menaruh hati padanya. Mungkin karena sifatnya yang lebih hangat dibandingkan dengan Kak Calvin, apalagi Kak Leon. Perlakuannya yang baik padaku juga bisa jadi penyebab aku jatuh hati padanya. Dan juga... wajahnya yang sangat manis, ya, itulah penyebab utamanya.

Aku jadi senyum-senyum sendiri. Membayangkan perkataannya kemarin malam.

“Lo tau? Lo itu gemesin banget!” Aku meremas baju yang kukenakan saat ini. Darahku berdesir. Bulu kudukku berdiri. Apa maksudnya dia bilang seperti itu? Aku senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Tak lama kemudian pintu kamar mandi dibuka. Memperlihatkan Kak Bima dengan rambutnya yang basah. Sangat tampan. Aku mendesah pelan, melihat Kak Bima keluar kamar mandi sudah lengkap dengan pakaiannya. Coba saja Kak Bima keluar kamar mandi masih memakai handuk sama seperti kak Leon tadi pagi, pasti lebih... Huh, padahal aku ingin lihat roti sobeknya. Astaga, ada apa dengan pikiranku? Sudah tidak waras.

Kak Bima duduk di sebelah kiriku. “WUAHHH...” Kak Bima menguap sambil merentangkan kedua tangannya lalu menaruh tangan kanannya di pundakku. Seperti kak Bima pura-pura menguap supaya Kak Bima merangkul pundakku. Dia menoleh ke arahku.

“Jalan-jalan yuk!” ajaknya.

Aku menoleh. “Jalan-jalan?”

“Iya. Sekalian beli makan. Lo nggak bosen di rumah mulu?”

“Udah biasa.” Bisa dibilang sejak lulus SMP aku hanya diam diri di rumah tidak pernah ke luar. Hanya mendapat siksaan dari kedua orang tuaku, dan melayani mereka. Awalnya bosan tapi lama-kelamaan aku terbiasa.

Omong-omong tentang orang tua, aku jadi kangen dengan mereka. Ya, walaupun mereka jahat tapi aku yakin kalau mereka sebenarnya baik. Aku jadi ingin pulang ke rumah. Melihat keadaan mereka. Kira-kira mereka sedang apa ya?

“Kak Bima, mau anterin aku pulang ke rumah nggak? Aku mau tinggal di rumah aku aja.” Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus tinggal di sini.

Kak Bima melepas rangkulannya. “Dan ngebiarin lo disiksa sama Angel dan Lucas yang katanya orang tua lo?” Kak Bima menjeda ucapannya. “Maaf, gue nggak mau.” Dari raut wajah yang kulihat, sepertinya Kak Bima sangat marah mendengar ucapanku. Kak Bima terlihat tak seperti biasanya.

“Tapi aku kangen sama mereka,” lirihku.

Kak Bima berdecak. “Orang tua kayak mereka kenapa masih dikangenin?” ucapnya. “Mereka bahkan udah ninggalin lo sendirian di tengah jalan dan lo masih pengen tinggal sama mereka?! Otak lo di mana?!” ucapnya meninggikan suaranya. Wajah Kak Bima merah padam.

Aku tersentak mendengar penuturan dari Kak Bima. Mataku memanas tanda cairan bening ingin keluar. Aku menundukkan kepalaku saat air mataku menetes. Dadaku begitu sesak mendengarnya.

Memang, kedua orang tuaku jahat pada anaknya. Namun aku yakin mereka melakukan itu pasti ada maksud tertentu. Aku sayang pada mereka. Mereka juga sayang padaku walau kasih sayang mereka pakai cara yang berbeda. Kalau mereka tak sayang padaku sudah pasti mereka tidak akan memberiku makan, tidak akan memberiku kamar, tidak akan menyekolahkanku walau sampai SMP, tidak akan memberiku ponsel walau ponsel jadul, setidaknya mereka memberikanku ponsel supaya aku bisa mereka hubungi di saat aku pulang telat. Intinya mereka sayang padaku.

Bahuku bergetar, cairan kental hendak keluar dari hidungku tapi aku tarik untuk masuk lagi ke dalam, pipiku basah karena air mata. Aku merasakan sebuah pelukan hangat di badanku. Aku tahu itu berasal Kak Bima. Kak Bima menuntun kepalaku menuju dada bidangnya.

“Ma-maafin gue. Gue nggak bermaksud ngomong kayak gitu,” ucapnya lirih dan agak serak. “Gue hanya khawatir sama lo. Gue takut lo disiksa lagi sama mereka. Gue nggak mau liat luka sedikit pun di badan lo. Gue... sayang sama lo.”

Demi apa pun rasanya aku ingin pingsan. Kak Bima bisa sekali membuat perutku serasa ada ribuan kupu-kupu terbang di dalamnya. Aku tak tahu harus sedih ataupun senang saat ini.

Aku berusaha melepas pelukannya kemudian mendongak. “Kak Bima... Beneran sa-sayang... sama a-aku?” Kak Bima mengangguk mantap membuat jantungku berdegup kencang.

Kak Bima mengelap air mata di pipiku. “Iya gue sayang sama lo.”

“Aku juga.” Astaga kenapa aku bilang seperti itu? Aku rasa pipiku sudah merah malu saat ini.

Kak Bima tersenyum menggoda. “Juga apa?” Wajah Kak Bima sangat menggemaskan saat mengucapkan kalimat itu. Apalagi kedua lesung pipinya yang dalam minta dipegang pakai jari.

“Sa-sayang,” jawabku singkat.
Kak Bima mengulum bibirnya berusaha agar tidak tersenyum.

“Sayang siapa?”

Tampaknya Kak Bima sedang mengerjaiku saat ini. Sumpah aku sangat malu dan senang. Aku diam, tak mampu untuk berbicara karena sangat gugup.

Kak Bima menatapku intens. “Kok diem?” tanyanya. “Sayang siapa?” tanyanya lagi.

“Kak Bima.” Dengan cepat aku langsung memalingkan wajahku yang sudah sangat merah. Aku mendengar Kak Bima terkekeh geli. Aku dapat merasakan kak Bima memegang tengkuk leherku supaya kembali menatapnya. Aku hanya mengikuti pergerakan kak Bima, hingga aku dapat melihat kembali wajahnya. Tangannya masih setia di tengkuk leherku.

Kak Bima menatapku dengan serius kemudian dia memajukan wajahnya hingga jarak antara wajahku dengan wajahnya hanya beberapa senti saja. Tubuhku menegang seketika, seperti tak bisa digerakkan, saat benda kenyal mendarat tepat di atas bibirku.

Kak Bima memejamkan matanya, membiarkan bibir kami bersatu tanpa ada pergerakan. Ya, kak Bima hanya mencium lama bibirku tanpa dilumat. Aku terlena dengan ciuman kami. Aku pun ikut memejamkan mata. Aku dapat merasakan sudut bibir kak Bima ditarik ke atas. Kak Bima tersenyum namun bibirnya masih menempel pada bibirku.

“EKHEM!” Sebuah deheman seseorang memberhentikan aktivitas kami. Dia adalah Kak Leon. Kak Bima menjauhkan bibirnya dari bibirku.

Demi Tuhan aku panik setengah mati saat ada orang yang melihat ciuman kami. Rasanya ingin mengubur tubuhku dalam-dalam.

“Kenapa?” tanya Kak Bima santai. Hei, apa Kak Bima tidak malu pada kak Leon?

“Clara nelpon,” ucap Kak Leon. Aku hanya memperhatikan keduanya.

“Kenapa?”

“Dia kangen sama lo. Perutnya minta diusap.”

Laki-laki berlesung pipi itu sedikit berdecak sembari bangkit dari duduknya. Kak Bima langsung mengambil hoodie putih miliknya di dalam lemari dan memakainya. Kemudian dia mengambil ponselnya di nakas dan langsung pergi dengan langkah cepat meninggalkan kamar.

“Kak!” panggilku. Aku hendak mengikutinya tapi pergelangan tanganku ditahan oleh kak Leon.

“Bima mau pergi bentar!” Kak Leon langsung pergi meninggalkan kamar
.
Dadaku terasa sesak. Siapa Clara? Kenapa Kak Bima langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Bahkan dia juga melupakan aktivitas kami sebelumnya.

Dan, apa maksud dari ucapan kak Leon? Perut si Clara minta diusap? Apa maksudnya?

To be continue...

Si Bima, bisa-bisanya main cium anak orang begitu. jangan dicontoh yaaa


CESSALIEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora