Cessalie : 22

1.6K 98 7
                                    

Halo semua selamat membaca yaa💗💗


“Gue ke dalem dulu ya,” ucap Bima seraya mengacak rambut Cessa.

Cessa mengangguk pelan. Menatap punggung tegap Bima yang lama-kelamaan masuk ke dalam rumah. Suara jangkrik yang bersahut-sahutan mengisi kekosongan malam hari ini. Tanpa sadar air mata Cessa jatuh membasahi pipinya yang mulus. Kenyataan itu sulit diterima olehnya. Bima, orang yang dicintainya menganggapnya hanya sebagai adik.

Cessa juga sadar diri kalau seharusnya tidak mencintai seseorang yang sudah mempunyai pacar dan anak. Satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa cinta itu adalah menjauh atau menemukan seseorang yang membuatnya jatuh cinta lagi.

Namun bagaimana bisa? Menjauh dari Bima dan menemukan orang baru. Huh. Membayangkannya saja sudah membuat Cessa sesak setengah mati. Lagi pula kenapa dirinya harus merasakan jatuh cinta sih, menurutnya lebih baik dulu sebelum jatuh cinta. Hidupnya lebih tenang dan tidak pernah merasakan sakit hati.

“CESSA, MASUK!” teriak Calvin dari pintu belakang rumah.

Dengan gerakan cepat Cessa mengelap air matanya. “Aku mau di sini.”

“AYO BURUAN MASUK!”

Cessa menggeleng. “Nggak mau.”

Calvin tampak berpikir dan tak lama kemudian ia berteriak, “LO DIPANGGIL BIMA!” Mendengar kata Bima, Cessa pun segera berlari menghampiri Calvin.

Calvin tersenyum tipis. “Gue nyebut nama Bima baru lo mau masuk.” Calvin mengacak rambut Cessa. Cessa tersenyum paksa. Mereka berdua masuk ke dalam dan segera berjalan ke arah dapur untuk makan malam.

Ada sekiranya 25 tusuk sate ayam bumbu kacang beserta lontong yang terhidang di atas meja saat Cessa memasuki ruang makan. Ada juga Bima, Leon, dan Clara yang sudah duduk di bangkunya masing-masing. Cessa pun segera duduk di tempatnya.

Seperti biasa, Clara selalu melayangkan tatapan tajam ke arah Cessa, berharap Cessa musnah akan tatapannya itu. Bima yang mengetahui hal tersebut langsung membuka suara.

“Nah karna Cessa udah dateng, marilah kita mulai acara makan malam hari ini,” ucap Bima memecahkan keheningan di antara mereka.

“Sebelum makan alangkah baiknya jika berdoa terlebih dahulu...”

“Apaan sih, Bim, garing,” marah Clara.

“...berdoa dimulai,” lanjutnya. Diam-diam Cessa tersenyum sebelum akhirnya berdoa.

“Ayo kawan-kawan dimakan!” ujar Calvin.

“Wih enak nih,” Bima mulai memotong lontong. Ia memberi satu lontong ke Cessa yang diam saja. “Ayo makan, Cess, jangan kaku amat.”

“I-Iya kak.”

“Tau, nih, Cessa, udah seminggu tinggal di sini masih aja kaku,” sahut Calvin. “Ya nggak, Yon?” Calvin menyenggol lengan Leon yang ada di sebelahnya. Leon hanya membalas dengan mengangkat sebelah alisnya.

“Pura-pura itu biar diambilin. Manja banget si lo!” sinis Clara. Tiba-tiba tangannya digenggam oleh Bima, ia tahu kalau laki-laki itu menyuruhnya supaya tidak emosi.

“Terlalu sibuk bangun rumah pohon sampai lupa nyiapin makan,” ucap Bima sambil mengunyah sate.

“Emang biasanya lo yang nyiapin makan?” tanya Calvin.

“Enggak sih, tapi lupa nyuruh Cessa masak,” sahut Bima.

“Aku inget, tapi pas aku liat kulkas nggak ada bahan buat masak.” Cessa akhirnya bersuara.

Clara mendelik ke arahnya. “Alah... emang dasarnya lo males jadi sengaja nggak bilang ke Bima.”

“Enggak kok. Tadi Kak Bima suruh aku diem jadi aku nggak berani ngomong.” Cessa berkata jujur. Sejak Bima berdebat dengan Clara tadi, tampaknya suasana hati laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja, Cessa pun tidak berani membuka suara sebelum laki-laki itu yang memulainya.

“Untung aja Leon peka jadi dia beliin sate,” ucap Calvin yang menghindari perdebatan antara Clara dan Cessa.

“Bukan peka, tapi karna perutnya udah perih,” ujar Bima seraya tertawa.

“Perut Kak Leon luka?” tanya Cessa tak mengerti. Laki-laki yang disukainya menatapnya gemas.

“Dih, pura-pura goblok.” Clara menyindir Cessa. Jujur dirinya sudah muak dengan wajah yang menurutnya sok polos.

“Perih itu maksudnya laper,” jelas Bima. Sedangkan Leon yang sedang dibicarakan hanya diam tak menanggapi, masih sibuk makan.

Btw, Yon, satenya pakai racun nggak?” tanya Calvin meledek. Pasalnya baru-baru ini ada berita tentang seorang perempuan yang mengirim sate bercampur dengan racun.

Leon berhenti makan kemudian membalas tatapan Calvin. “Pakai,” ucapnya singkat.

“Bodoh! Mana mungkin Leon campurin sate ke makanan kita, apalagi dia ikut makan,” ucap Bima dan dilanjutkan dengan kekehan dari Calvin.

*****

“Ini mau ditaruh di mana?”

Selesai makan malam Cessa bersama dengan Calvin sedang memindahkan barang-barang yang diperlukan ke rumah pohon. Tidak begitu banyak sih, hanya kasur lipat, karpet berbulu, meja, dan lemari kecil saja.

Ya lagi-lagi Bima membelikan itu semua untuk Cessa dan rumah pohonnya. Hal tersebut semakin membuat Cessa tidak enak, tapi Bima selalu meyakinkannya kalau Cessa bukanlah orang yang menyusahkan.

Cessa heran pada Bima kenapa dia begitu baik. Padahal ia hanya orang asing yang diajak tinggal bersama mereka. Bahkan Cessa ingin pulang ke rumahnya pun dilarang keras oleh Bima dan juga Leon. Cessa tidak tahu harus membalas perbuatan mereka dengan apa.

“Cess? Taruh di mana?” tanya Calvin sekali lagi seraya membawa meja bulat berukuran sedang.

Cessa meneliti sekeliling. “Ditaruh di bawah jendela aja deh,” ucap Cessa pada akhirnya.

“Oke.” Calvin menaruh meja itu di bawah jendela. Jendela itu bersebelahan dengan pintu masuk, tidak ada interior lain selainnya. Setelah semua barang ditaruh dan disusun sedemikian rupa, Cessa dan Calvin segera duduk di karpet yang letaknya di tengah-tengah.

“Lo yakin mau tidur di sini sendirian?” tanya Calvin memastikan. Dirinya tahu kalau gadis di sampingnya ini penakut.

Cessa mengangguk mantap. “Iya.”
“Emang nggak takut?”

“Eeee... nggak,” jawab Cessa ragu. Perasaan takut sih ada tapi Cessa lebih memilih melawan rasa takut itu daripada tidur di ruang keluarga yang berujung bangun tiba-tiba di kamar Leon. Percayalah Leon jauh lebih menakutkan daripada setan. Ya walaupun laki-laki itu tidak pernah berbuat apa-apa padanya, tapi tetap saja wajahnya menyeramkan.

“Nanti gue tidur sendirian dong?” ucap Calvin memelas. Biasanya ia tidur bersama dengan Cessa di ruang keluarga.

“Kenapa nggak tidur bareng Kak Leon?” tanya Cessa.

“Nggak, dia nyeremin.”

“Kakak takut sama Kak Leon?” Cessa mengarahkan badannya ke arah Calvin. Tampak tertarik dengan perkataan Calvin.

“Iya.”

“Kok takut sama sahabat sendiri?”

“Gue takut diusir sama dia, Cess, ini kan rumahnya dia.” Calvin tertawa menertawai jawaban asalnya.

“Kakak nggak punya rumah?”

Calvin sontak menoleh. “Punya dong! Tapi itu dulu!”

“Biasa aja, Kak. Kan aku nggak tau,” ucap Cessa.

“Kakak takut nggak kalau tidur sendiri?” tanya Cessa. Satu hal yang Calvin ketahui dari gadis di sebelahnya ini adalah kepo.

“Nggak takut, cuma kesepian aja, nggak ada yang bisa dipeluk,” balas Calvin bercanda.

“Kalau Kakak tidur emang harus ada yang dipeluk?”

Calvin mendengus. Tuh kan gadis itu kepo-an. Selalu menanyakan hal-hal yang tidak penting. “Iya Cessa...” jawabnya.

“Berarti Kakak peluk aku dong?!!” Mata Cessa ingin keluar saat mendapat anggukan dari Calvin. Ia memukul lengan Calvin bertubi-tubi.

“Aduh, aduh, sakit!!!” Calvin pura-pura kesakitan, padahal pukulan itu tidak ada rasanya. Lima detik kemudian Cessa berhenti memukul lengan Calvin saat menyadari sesuatu.

“Kalau Kakak nggak bisa tidur kalau nggak ada yang dipeluk—“ Jeda. “—berarti kakak peluk Kak Bima pas kalian tidur berdua dong?!!”

Calvin melotot, sepertinya dia salah bicara. “Heh, enggak ya! Gue normal, Cess, Ya Allah...”

“Tapi Kakak bilang...”

“Enggak sumpah gue bohong! Ya ampun, Cessa, gue nggak nyangka polos-polos tapi pikirannya kayak gitu.” Calvin berucap seolah tidak percaya.

“Ish, kok jadi aku.” Cessa memajukan bibirnya.

“Jangan majuin bibir, mau gue cium?”

“Cium?” Cessa tampak berpikir, mengingat kejadian yang tidak akan bisa dilupakan. “Kayak aku sama Kak Bima nggak sih?” gumamnya sambil memegang bibirnya.

“Lo pernah dicium Bima?!” Calvin memandang wajah Cessa penasaran. Wajahnya seketika berubah, tidak ada tawa lagi di sana. Cessa mengangguk polos.

“Sialan Bima!” geram Calvin sambil mengepalkan tangannya. Melihat itu membuat Cessa mendadak panik, ia pun berusaha mencari alasan.

“Emangnya kalau cium kening aku nggak boleh?” Cessa berusaha menutupi kejadian aslinya, di mana Bima menempelkan bibirnya pada bibir Cessa.

“Jadi Bima cium kening lo?” tanyanya, “bukan bib—“ Calvin tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena tidak mau otak Cessa tercemar.

“Iya, Kak Bima bilang aku ini adiknya. Jadi nggak ada salahnya seorang Kakak cium adiknya.” Cessa menundukkan wajahnya, mengelap buliran air yang menetes saat mengingat hal yang menyakitkan.

“Lo kenapa?” tanya Calvin.

“Aku sedih Kak Bima anggap aku sebagai adiknya.”

Calvin menghela nafas panjang. “Emangnya Bima harus menganggap lo sebagai apa?” Cessa diam tak dapat menjawab.

“Dengerin perumpamaan gue, anggap kita sebagai penonton dan orang yang kita cintai sebagai film sedih di bioskop. Kita sedih banget sama filmnya, setiap alur di film itu selalu mengandung bawang. Kita mau keluar dari teater karena nggak kuat sama alurnya, tapi di satu sisi sayang dengan uang yang kita keluarin untuk membeli tiket bioskop itu. Terus kita harus gimana? Ya diam di tempat, tonton film itu sampai selesai,” jelas Calvin.

“Lo ngerti kan maksud gue?” tanya Calvin pada Cessa yang mengerutkan alisnya seraya menatap langit-langit rumah pohon dan membuka mulutnya sedikit.

“Mengandung bawang? Bioskop? Teater? Apa maksudnya sih?” Cessa bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

“Yah nggak ngerti nih bocah.” Calvin berdecak. Sial, ia sudah membuat perumpamaan yang cukup jelas tapi gadis ini tidak memahaminya.

Cessa menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Coba Kakak jelasin sekali lagi.”

“Udah lah lupain!” ucap Calvin yang tampak malas untuk menjelaskannya lagi. Mengambil bantal kemudian merebahkan tubuhnya di atas karpet.

“Tidur, udah malem,” titah Calvin pada Cessa yang diam memandanginya.

“Kakak mau tidur di sini?” tanya Cessa. Calvin menggeleng.

“Gue mau nemenin sampai lo tidur.” Cessa pun merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan matanya berusaha untuk tertidur lalu membuka matanya lagi dan melirik Calvin yang sudah memejamkan matanya.

“Kakak jangan tidur, katanya mau temenin aku.”

“Nggak tidur, cuma tutup mata doang.” Calvin menjawab tapi masih memejamkan matanya.

“Awas aja kalau sampai tidur beneran.”

“Enggak Cessa....” Calvin membuka matanya, melirik jam tangannya. “Jam sepuluh mah masih sore bagi gue. Jadi tenang aja gue nggak bakal tidur.”

“Kak aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Cessa. Calvin beranjak duduk, menanti ucapan Cessa.

“Sebenarnya aku pengen banget dibacain dongeng sebelum tidur...”

“Lo udah gede masa dibacain dongeng si?” Oh iya, dirinya lupa kalau Cessa cuma gede badan—ralat—tidak gede-gede banget sih, tapi pemikirannya masih kayak anak-anak.

“Tapi pas masih kecil aku nggak pernah dibacain dongeng...”

“Sama kalau gitu.”

“Aku pengen kayak orang-orang, Kak.”

“Nggak semua orang kalau mau tidur dibacain dongeng.”

“Ish, Kakak..”

Calvin menghela nafas melihat wajah Cessa yang memelas. Kasihan juga sih sebenarnya. Dirinya sama dengan Cessa, tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. “Sekarang lo mau apa?” tanyanya.

“Aku mau Kakak bacain aku dongeng!” ucap Cessa semangat.

“Ya udah tapi lo harus tidur. Gue nggak mau ya udah capek-capek bacain dongeng tapi lo nggak tidur,” ucap Calvin mengingatkan.

“Siap!”

Calvin menyandarkan tubuhnya ke tembok dekat dengan kepala Cessa. Ia tampak berpikir cerita apa yang harus diceritakan pada gadis itu. Jujur dirinya tidak tahu cerita dongeng rakyat ataupun cerita fabel. Oleh karena itu dia berpikir keras, memutar otaknya hingga menemukan satu cerita.

“Nih dengerin ya...”

“Jadi pada suatu hari ada seorang gadis yang tengah bermain dengan seekor kucing di jalan yang sepi. Kemudian dia terperanjat kaget saat suara klakson mobil berbunyi. Ada tiga orang laki-laki tampan, tapi yang lebih tampan laki-laki yang keluar dari kursi samping pengemudi. Salah satu dari mereka berteriak ‘Lo udah bosen hidup?!’ gadis itu tampak ketakutan saat melihat wajahnya, lalu...”

Cessa mencubit pinggang Calvin saat menyadari sesuatu. “Ish, kok Kakak malah ceritain pertemuan pertama kita?!”

“Udah dengerin aja,” ucap Calvin kemudian lanjut bercerita.

“Singkatnya gadis itu jatuh cinta pada...”

“Kakak jangan ceritain yang bagian itunya dong!”

“Berisik nih, mau didongengin kagak?”

“Nggak usah.” Cessa berbalik badan memunggungi Calvin.

Eh, Cessa marah padanya?

To be continue...

pada ngeship Cessa sama siapa nih???

CESSALIEWhere stories live. Discover now