Hold Me Tight | 01

6K 412 61
                                    

Merah keemasan merekah sempurna, tergurat indah di langit senja. Sengaja Samudra berhenti lalu mendudukkan diri di halte bus yang tidak seberapa ramai di sore ini. Memandangi langkah-langkah kaki yang berlalu lalang selalu menjadi caranya menutup hari. Hingga tak lama kemudian angin yang berhembus kencang membawa langit hitam, menjatuhkan tetes hujan ke bumi tempatnya berpijak saat ini. Cuaca memang semakin sulit diprediksi.

Tertangkap oleh netra, wajah para pejalan kaki yang seketika tertekuk kusut. Sambil mempercepat langkah mencari tempat berteduh mereka meggerutu, menghujat hujan yang suka bertamu secara tiba-tiba. Padahal ada lebih banyak berkah yang patut disyukuri daripada datangnya yang tiba-tiba yang bisa menghambat aktivitas, bukan?

Tangannya itu masih terulur, membiarkan gemercik air hujan terhempas di telapak tangannya. Hingga detik berikutnya ia tersentak, tersadar bahwa ini sama sekali bukan jam pulangnya. Sudah banyak menit yang terlewat. Kemudian, dirapatkannya jaket parasut kebanggaan timnya, lalu tanpa pikir panjang ia berlari menerobos ribuan rintik hujan.

Sepanjang langkahnya yang lebar-lebar, lengkung manis di bibirnya tak juga pudar, tak tertahan kala bahagia terlalu menggebu dalam dada. Meletup-letup tak karuan tiap kali melihat medali emas yang ada dalam genggaman. Bukan berlebihan, tapi menjadi yang nomor satu memang seperti ini rasanya.

Semakin tak sabaran Samudra ketika kakinya sudah memasuki gerbang rumah. Dibukanya pintu utama, ada Papa yang sudah duduk di sofa, bersiap menyambutnya. Mungkin.

"Pa-"

"Papa dapat telepon kamu bolos bimbel hari ini? Ke mana?" dingin dengan ekspresi marah yang begitu kentara. Jauh dari apa yang Samudra bayangkan.

Samudra menunduk, sungguh sampai kapan pun ia tak pernah berani menatap balik sorot mata Papa yang begitu menyala itu.

"SAMUDRA!"

Si empunya nama tersentak, lantas buru-buru menjawab. "Aku ada pertandingan Pa." cicitnya pelan, "Ini, lihat ini Pa aku dapat mendali emas!" ada sorak-sorai bahagia yang terselip dalam ucapannya ketika ia menunjukkan mendalinya, membawanya tepat di depan Papa.

Alih-alih tersenyum dan memberikan tepukan bangga, Papa justru membuang muka. "Sudah berapa kali Papa bilang? Berhenti jadi atlet! Fokus pada akademik!"

Tangannya terkepal kuat, uluran tangan yang menggenggam medali itu meluruh. Samudra kecewa, usahanya sama sekali tak mendapat apresiasi. Ini bukan yang pertama kali Papa bersikap demikian. Samudra pikir Papa bisa luluh kalau ia berhasil membawa pulang medali emas di tiap pertandingannya. Tapi nyatanya, Papa masih berpegang pada apa yang menjadi inginnya. Katakanlah, Papa egois.

"Balik badan!"

Samudra menelan ludahnya kepayahan, ia tau apa yang akan dilakukan Papanya setelah ini.

Tanpa dikomando, Samudra membuka jaketnya, membiarkan Papa menggulung seragamnya ke atas. Menyisakan punggungnya yang telanjang.

Samudra menggigit bibirnya dalam-dalam, perih dan nyeri masih belum selesai selama Papa masih mendaratkan cambuk di punggungnya. Tubuhnya yang basah semakin menambah sensasi kesakitan yang ia rasa. Samudra sampai membungkam mulutnya sendiri, menahan jerit kesakitan. Bahkan sampai dibuatnya ia mati di tangan Papa, Samudra akan pasrah, Samudra tak pernah bisa membantah atau barangkali menyuarakan kesakitan yang tiada ampun mendera.

Lagipula Samudra sadar bahwa tak seharusnya ia melawan peraturan yang telah Papa terapkan untuknya. Harusnya ia bisa menuruti semua kemauan Papa, duduk di ruang bimbel, membiarkan otaknya menguap dan telinganya berdengung kencang. Lalu pulang, mengatakan bahwa ia mampu mengikuti semua pelajaran yang diberikan.

"Jangan diulangi lagi, Sam. Papa hanya menginginkan yang terbaik untuk Samudra." bukan, bukan yang terbaik untuk Samudra, melainkan terbaik untuk egonya sendiri.

"I-iya Pa." dalam jawabnya, Samudra ragu. Samudra sudah terlanjur memantapkan hati pada minat dan bakatnya.

"Sudah. Masuk kamar! Istirahat lalu lanjut belajar, jangan lupa mandi air hangat dan obati lukamu! Papa nggak mau kamu sakit!" titah Papa sembari menutup kembali seragam Samudra, membuat Samudra mati-matian menahan perih ketika lukanya bergesekan dengan kain.

Samudra menurut, berjalan gontai menaiki tangga. Terus memikirkan ucapan Papa, di sana tak ia temukan kasih dan perhatian Papa. Papa nggak mau kamu sakit! Samudra tau bahwa sebenarnya ada lanjutan dari ucapan Papa. Papa nggak aku kamu sakit! Nanti kamu bisa tertinggal pelajaran dan posisimu di sekolah bisa turun!

Langkahnya terhenti ketika melewati kamar sang adik, mendorong pelan pintu yang tak tertutup rapat. Dapat ia lihat, kain kompresan bertengger di dahi adiknya dan gurat lelah di wajah Mama yang setia menunggui di sampingnya. Samudra ingin masuk, memastikan sendiri kondisi adiknya yang pasti sedang tidak baik-baik saja, juga ingin membangunkan Mama dan mengatakan bahwa ia bersedia menjaga adiknya. Tapi ucapan Papa tadi tiba-tiba merasuki pikirannya tanpa aba-aba.

"Harusnya kamu paham Sam. Satu-satunya harapan Papa adalah kamu. Kamu sendiri yang tau bagaimana kondisi adikmu."

Jadi, bukankah jika adiknya tidak serapuh itu, Samudra tidak akan dipaksa untuk menuruti semua keinginan Papa? Bukankah semuanya akan berjalan semestinya, seperti dulu seperti Samudra yang bebas melakukan apa yang ia suka? Pada intinya, semua karena adiknya itu, 'kan?

Tangannya terkepal kuat, ada gemuruh dalam dada yang tiba-tiba membuncah. Samudra mengurungkan niat, memilih berbalik badan, tanpa mencari tau apa yang telah terjadi pada adiknya sampai tumbang.

"Kakak...."

🍂🍂🍂

Bersambung....

Bumi Lampung
Terang, 9 Februari 2021



Cerita kedua, semoga cepat selesai😄
Dikit dulu ya, kita pelan-pelan aja duluuu😅
Jangan lupa vote dan komen😉
Stay healthy, kawan❤️

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang