Hold Me Tight | 02

3.3K 338 14
                                    

Samudra masih fokus pada sarapannya, lebih memilih mengaduk-aduk serealnya ketimbang mengangkat kepala lalu bertegur sapa dengan Papa. Kalau bisa Samudra mengungkapkan apa yang ia rasakan pada Papa, Samudra akan bilang bahwa masih ada rasa kecewa yang tersisa di hatinya. Tertimbun bersama rasa-rasa sebelumnya.

Sebenarnya Samudra masih menunggu Papa mengucapkan selamat dan memberi tepukan bangga padanya, maka dari itu mau sekecewa apa ia dengan Papa, Samudra masih saja duduk di meja makan. Padahal bisa saja anak itu hanya menghabiskan susunya lalu bergegas pergi ke sekolah, toh jam masuk sekolah tinggal dua puluh menit lagi.

"Sam."

Samudra mengangkat kepalanya tak sabaran, ada secercah harap yang mengembalikan semangatnya. Semudah itu perasaannya dipulihkan.

Samudra belum sempat mengatakan apa-apa sampai Papa kembali membuka suara, "Soal kemarin sore Papa minta maaf. Samudra pasti tau, kenapa Papa memperlakukan Samudra seperti itu. Pa-"

"Papa cuma mau yang terbaik untuk Samudra, iya Samudra tau itu. Kalau Papa mau ingatin Samudra buat jangan lupa ikut bimbel hari ini, iya Samudra ingat. Papa nggak perlu khawatir, Samudra akan nurut semua mau Papa." mengucapkannya, ada kecewa dan marah yang mengundang sesak dalam dada. Sesulit itukah bagi Papa hanya untuk mengucapkan selamat padanya? Tak bisakah Papa berhenti mengucapkan Papa cuma mau yang terbaik untuk kamu, karena yang tertangkap oleh Samudra kalimat itu semata hanya untuk menutupi ego Papa, membuat Papa seolah sangat perhatian dan paling tau apa yang diinginkan Samudra.

"Papa bangga punya anak seperti kamu..."

Tapi bukan itu yang Samudra mau, bangga yang Papa maksud bukan karena prestasi yang ia dapatkan, melainkan kepatuhan Samudra untuk menuruti semua perintah Papa. Samudra tak lebih dari robot yang diprogram pemiliknya atau anjing yang diperintah majikannya.

"Samudra harus rajin belajar karena Samudra satu-satunya harapan Papa. Samudra sendiri yang tau bagaimana kondisi Benua."

"Iya Samudra tau. Sam-" belum selesai Samudra menjawab, Papa sudah memotong kalimatnya, "Kita bicarakan lain kali. Ada adikmu, jangan sampai ia dengar masalah ini." ucap Papa cepat menginterupsi Samudra untuk mengalihkan pembicaraan begitu melihat Benua berjalan menuruni tangga dengan dituntun Mama.

"Kok aku dateng jadi pada diem?" Benua membuka suara. Masih berdiri membiarkan Mama menarik satu kursi untuk ia duduki. Anak itu lalu tersenyum pada Mama sebagai ungkapan terimakasih. 

"Iyalah, orang yang lagi kita omongin kan tiba-tiba dateng, ya nggak Pa?" sahut Samudra asal.

Melihat wajah sang adik menegang,  Samudra lantas buru-buru mencairkan suasana. "Bercanda kali Dek!" ucap Samudra, mengusak rambut sang adik yang duduk di sampingnya. Lega langsung menjalari perasaan Benua.

"Ma, bolehin Benua berangkat sekolah ya?" pinta Benua. Anak itu hanya tak ingin mati terbunuh rasa bosan di rumah.

"Nggak sayang. Benua harus nurut apa kata dokter, istirahat sampai benar-benar pulih. Benua nggak kasihan lihat Mama sedih karena Benua sakit?" jawab Mama. Tangannya masih sibuk menyiapkan bubur untuk sarapan Benua, tak lupa dengan beberapa pil obat yang sudah menjadi teman setia Benua.

"Tapi, Ma..." Benua masih merengek sampai sebuah suara kembali menyapa rungu, "Jangan bandel Ben, turutin aja perintah Mama. Soalnya ntar kalau Lo kumat, gue yang ikutan repot. Nggak kumat aja gue udah jadi korban. Lo nggak kasihan sama gue?" pelan penuh penekanan, entah mengapa Benua sakit mendengarnya.

Ini untuk pertama kalinya Benua mendengar kakaknya berkata demikian. Repot? Jadi, bagi Samudra selama ini dirinya selalu merepotkan? Jadi, apa yang diperbuat oleh kakaknya selama ini terpaksa? Ah, tapi seharusnya Benua sadar diri, seharusnya Benua tak sampai sakit hati dengan kakaknya, karena selama ini dirinya memang selalu menjadi benalu bagi Samudra.

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang