Hold Me Tight | 04

2.1K 271 98
                                    

Samudra masih memperhatikan lekat-lekat adiknya, senyumnya nampak merekah melihat bagaimana Benuanya itu begitu bahagia bermain dengan Gembul-kucing kesayangan Benua. Ada damai tersendiri dalam hatinya tiap kali melihat Benua dalam kondisi baik.

"Ya Alah Benua sayang!"

Samudra dan Benua sama-sama menoleh saat tiba-tiba suara mama hadir di tengah mereka. Dengan langkah cepatnya mama berjalan menghampiri Benua diikuti papa di belakangnya.

"Kamu nggak apa-apa kan Nak? Mama khawatir banget waktu tau kamu kemarin sempat dibawa ke rumah sakit! Pikiran Mama udah ke mana-mana, Nak! Maafin Mama ya sayang karena udah ninggalin Benua seharian..." ucap mama, nampak begitu panik. Ditelitinya Benua lalu dikecupnya pipi, dahi, sampai hidung anak itu berulang kali. Benua biasa saja, tidak merasa risih atau apa, dirinya terlampau biasa dikhawatirkan seperti ini.

"Aku udah nggak apa-apa Ma. Cuma luka kecil dan kakak langsung bawa aku ke rumah sakit. Jadi, aku baik-baik aja."

Ah iya, bahkan mama sempat lupa bahwa ia masih punya satu putra lagi yang harusnya ia tanyakan juga kabarnya. "Samudra, kamu juga sehat kan Kak?"

Samudra tersenyum dan mengangguk lalu menjawab, "Sam oke kok Ma. Nggak ada yang perlu dikhawatirin."

Mama lalu berdiri dari tempat tidur Benua untuk menghampiri Samudra. "Makasih ya sayang, udah jagain Benua. Makasih banyak udah cepat bawa Benua ke rumah sakit." ucap Mama, memberi kecupan di dahi Samudra. Seperti biasa, mama selalu mengapresiasi apa yang Samudra lakukan.

Hatinya menghangat, mama benar-benar berusaha untuk tidak pilih kasih. Tak ingin membuat anaknya merasa dibeda-bedakan.

"Samudra ikut Papa!" suara Papa memecah hangat suasana. Memerintah dengan tegas, rahangnya nampak mengeras. Tanpa menunggu jawaban si lawan bicara, dengan langkah cepatnya Papa pergi meninggalkan kamar.

Samudra menarik nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk segala sesuatu yang terjadi selanjutnya. Lalu dengan langkah cepat, ia menyusuli Papa.

Pintu berdecit, terbuka. Memberi celah bagi sinar matahari untuk menyorot ke dalam gelapnya ruang, nampak debu-debu menari-nari di udara membentuk spiral. Aroma khas ruang tak terpakai itu terlalu menusuk indra penciuman, membuat Samudra cukup lama terpaku di depan pintu. Sampai suara Papa menginterupsi kemudian, "Masuk, Sam!" masih dengan nada yang sama, datar tapi penuh penekanan.

Samudra terkesiap dari lamunannya yang sedang memikirkan untuk apa ia diajak ke gudang halaman belakang rumah ini. Ah, mungkin papa hanya meminta bantuannya untuk memindahkan barang, seharusnya Samudra tidak perlu berpikir yang bukan-bukan, kan?

"Tutup pintunya!"

Samudra tak banyak menjawab, hanya melakukan apa yang Papa perintahkan.

"Samudra tau kan seberapa bahaya Benua saat terluka? Bahkan jika hanya luka kecil?" Papa kembali bersuara bahkan saat Samudra belum membalikkan badan setelah selesai menutup pintu.

Samudra menundukkan kepala, menyembunyikan raut wajahnya yang tak terbaca, Samudra tau sekarang untuk apa ia diajak ke gudang. "Samudra tau."

"Lalu kenapa Samudra nggak bisa jaga Benua? Apa susahnya Sam untuk jaga Benua satu hari saja saat mama dan papa ada urusan di luar? Samudra sudah lupa bagaimana rasanya hampir kehilangan Benua?"

Melalui terang sinar matahari yang menerobos lewat celah-celah ventilasi udara, Samudra dapat menangkap dengan jelas tiap raut amarah Papa.  Bagaimana ketika rahang itu mengeras, otot di wajahnya yang sampai timbul, dan alisnya yang saling menukik tajam.

"Samudra ng-"

"Nggak usah mengelak Samudra! Toh buktinya sudah ada! Benua terluka kemarin! Itu sudah menunjukkan kalau kamu benar-benar tidak bisa menjaga adikmu! Kamu lepas tanggung jawab!" Papa bahkan sama sekali tak memberi celah bagi Samudra untuk menjelaskan.

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang