Hold Me Tight|13

1.5K 163 29
                                    

Ada banyak hal yang membuat Samudra tak habis pikir mengenai Papanya. Papa akan marah jika sehari saja Samudra terlambat bangun dan tak ada waktu untuk membaca buku-bukunya, Papa akan marah jika nilainya turun, bahkan jika hanya satu digit satuan. Tapi, mengapa Papa tak pernah marah saat Samudra terlambat bangun dan terlambat melaksanakan sholatnya? Mengapa Papa bersikap biasa saja terhadap pencapaian hafalan Samudra yang saat ini sudah sebanyak delapan Juz? Tidakkah Papa bangga akan hal itu?

Memang yang Samudra lihat akhir-akhir ini, Papa selalu disibukkan dengan urusan dunianya. Samudra tidak tahu apakah Papanya selalu melaksanakan sholat tepat waktu ketika di kantor. Dan untuk sekedar menanyakan hal itu pun Samudra tak punya keberanian. Terlebih Papa berubah menjadi seseorang yang tidak suka diingatkan, terlebih dalam urusan agama. Papa merasa bahwa ia lah yang paling tahu dan mengerti dibanding orang lain.

Beruntungnya ada Mama yang selalu mengajarkan dan mengingatkan Samudra dan Benua dalam hal beribadah. Bahkan yang mengajari mereka membaca Al-Qur'an sedari kecil pun sang Mama. Mama pernah bercerita bahwa dulu pun ia pernah menjadi tutor bimbingan baca Al-Qur'an untuk adik tingkatnya semasa kuliah.

Tentang Papa, Mama pernah buka suara bahwa dulu sebelum bergelimang harta seperti ini Papa sangat disiplin dalam beribadah, wajib dan sunah, semua Papa laksanakan. Tapi semenjak memiliki merk dan perusahaan sendiri, Papa seakan lupa kewajibannya sebagai hamba Allah.

Seperti halnya saat ini. "Pa, adzan ashar. Ada baiknya kita berhenti dulu di masjid untuk sholat, sekitar seratus meter lagi sampai kok masjidnya."

Papa mendesah, "Rumah kita udah nggak jauh lagi Sam. Kalau berhenti di masjid nanti kelamaan, setelah antar kamu ke rumah, Papa ada meeting dengan para investor."

"Yauda, yang penting Papa jangan lupa sholat dulu nanti."

Mendengar itu Papa melirik Samudra yang ada di sampingnya. Sadar akan itu, Sam memilih berpura-pura memperhatikan jalanan kota yang dilaluinya.

"Istirahat, jangan lupa makan. Kalau capeknya sudah hilang, buka bukunya lagi. Jangan langsung merasa aman hanya karena kamu bisa mengerjakan soal try out tadi. Intinya, belajar, belajar, dan belajar."

"Doanya ngga perlu Pa?" entah mendapat keberanian dari mana sampai-sampai Samudra bisa menyahuti perintah Papa.

Rahang Papa mengeras, "Jangan memancing Papa. Papa ngga mau melihat Mamamu berteriak marah karena Papa mukulin kamu lagi. Fokus belajar aja kalau ngga mau Papa kirim ke luar negeri." dan setelah itu Papa melajukan mobilnya, meninggalkan Samudra yang kembali dihantui banyak ketakutan.

"Heran banget sama si Papa, ingetinnya belajar mulu, sekali-kali nanyain udah sholat atau belum gitu kek! Terus main ambil keputusan sendiri lagi, dikira anaknya ngga punya hati?" gerutu Samudra sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

***

"Sam? Yang dirasain apa Nak?" Mama menyibak poni Samudra yang basah karena keringat. Khawatir saat mendapati hawa panas dari anaknya.  Awalnya Mama datang untuk meminta Sam turun dan makan malam bersama. Tapi saat membuka pintu, Mama dibuat panik oleh Samudra yang meringkuk di balik selimut. Yang Mama tau Samudra tak pernah tidur setelah magrib seperti ini.

"Sam?" Mama terkejut ketika tiba-tiba Samudra mencengkram tangannya kuat, seperti sedang melampiaskan rasa sakit.

"Mana yang sakit, Nak?"

"Sam? Jangan buat Mama takut, Nak! Apa yang dirasain? Sepuluh menit yang lalu Samudra masih baik-baik aja, masih bisa jadi imam!"

"Eeugh, Pa-pa..." Samudra bergumam.

"Samudra mau ketemu Papa?" tanya Mama yang tak mengerti maksud Samudra.

Samudra menggeleng lemah, "Papa di-di mana?"

"Papa belum pulang, masih ada urusan di luar. Tadi nelpon Mama, bilang kalau pulangnya mungkin tengah malam. Samudra kenapa nanyain Papa?"

Membuka mata, Samudra lalu menatap sayu Mama, "Kepala Sam sakit banget Ma, kayak mau pecah. Tapi Mama jangan bilang Papa ya, Sam takut."

Mama sakit ketika mendengarnya, tapi sekali lagi ia ingin memastikan, "Kenapa takut, Nak?"

"Karena Papa selalu marah kalau Sam sakit. Papa kecewa banget kalau Sam ngga bisa belajar."

Mama berusaha menahan air matanya, mengusap lembut kepala si sulung. "Iya Mama ngga bilang ke Papa. Tapi, kita ke dokter ya Nak? Ngga biasanya loh Sam sakit seperti ini."

Samudra menggeleng lemah, "Kalau ke dokter nanti bisa ketahuan Papa. Sam mohon, jangan ya Ma?"

Mama menghela nafas pasrah, tak tega juga jika terus memaksa. "Yauda biar Mama rawat dulu Sam di rumah. Tapi kalau sampai besok pagi belum ada perubahan, kita ke dokter ya?"

"Ngga janji."

"Yauda. Sam tunggu ya, Mama mau turun buat ambil obat dan kompresan." setelah mendapat anggukan dari Samudra, dengan cepat Mama turun ke lantai satu.

"Ma, Kakak mana? Kok ngga ikut turun?" tanya Benua bingung.

"Benua makan sendiri dulu ya, Nak? Mama mau kompres kak Sam dulu."

Benua terlonjak kaget ketika mendengarnya, "Kakak sakit? Bukannya tadi masih baik-baik aja?"

"Iya Mama juga bingung, kenapa tiba-tiba banget. Mama khawatir banget soalnya kakak kamu itu kan hampir ngga pernah sakit." bukan hampir tak pernah, hanya saja Samudra terlalu pandai menyembunyikan apa saja yang dirasakannya. 

***

Pukul sepuluh malam, Mama masih setia menunggu dan merawat Samudra. Mengganti kain kompres yang mulai kering. Sedangkan Benua yang sedari tadi ngotot untuk tidak tidur demi menjaga kakaknya, akhirnya tak kuasa juga menahan kantuknya dan berujung tertidur di samping Samudra. Bahkan tangannya pun menggenggam tangan sang kakak, seakan takut kehilangan.

"Kenapa demamnya belum turun-turun juga? Padahal udah minum obat." khawatir Mama.

Mama baru ingin mencelupkan kain kompres ke air ketika tiba-tiba Samudra bergerak gelisah dan nampak ketakutan dalam pejamnya. Dengan cepat Mama mengusap kepala Samudra, "Samudra sayang, istighfar Nak! Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah..." hingga tak lama kemudian, Samudra kembali tenang.

"Sebenarnya apa yang mengganggu pikiran kamu sampai sakit seperti ini, Sam? Apakah sesakit itu menjadi anak kami berdua? Apa yang bisa Mama lakukan untuk kamu? Untuk menepis semua rasa sakit itu? Bagaimana cara menjadi orang tua yang tidak egois?"

"Sam anak sholeh Mama. Kuat ya Nak? Sabar ya? Mama yakin kamu bisa melalui semua ini." lama, Mama mengecup kening Samudra. Dan dalam pejamnya yang terusik rasa sakit, samar Samudra mendengar semua ucapan sang ibu, hingga tak sadar air mata menetes dari kedua ujung matanya.

Andai bisa berteriak, Samudra pasti akan mengatakannya, bahwa ia tak ingin menjadi lemah seperti ini. Ia sendiri pun tak tau mengapa pikirannya mendadak menjadi kacau seperti ini? Mengapa ada banyak sekali rasa takut yang menghantui pikirannya? Sampai-sampai sekedar untuk menarik nafas saja rasanya sungguh menyesakkan.

***

Bersambung....

Allhamdulillah...
Akhirnya up jugaa😂 semoga bisa mengobati kerinduan ke Sam dan Ben
Dan Selamat Hari Raya Idul Adha yaa🐏🐏

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Jul 11, 2022 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Hold Me TightDonde viven las historias. Descúbrelo ahora