Hold Me Tight | 03

2.4K 280 37
                                    

Kerutan di dahi masih terus kentara seiring dengan kebingungan yang tak selesai melanda. Sesekali Samudra sampai menggaruk tengkuknya, jawaban soal terus saja tak sesuai dengan yang ada pada pilihan. Padahal Samudra sudah menghitungnya berulang-ulang.

Begitulah Samudra, ia bukan model siswa yang sekali dijelaskan langsung mengerti atau paham hanya dengan sekali baca, Samudra butuh banyak waktu dan usaha lebih untuk memahami tiap penjelasan guru dan buku. Jika sudah mengerti pun, Samudra harus langsung mempelajari ulang di malam harinya atau jika tidak Samudra akan lupa. Percaya, Samudra memang separah itu.

Samudra sampai memijit pelipisnya, dua jam setengah terpaku memahami materi benar-benar membuat kepalanya ingin pecah. Rasanya Samudra ingin menyerah saja, mengatakan pada Papa bahwa ia tak sanggup untuk menuruti semua keinginan Papa. Samudra ingin mengatakan bahwa ia akan tetap pada pilihannya untuk menjadi seorang atlet, karena memang itu yang ia bisa dan suka. Tapi membayangkan bagaimana cara Papa marah dan bagaimana rasanya ketika cambuk itu mencabik punggungnya, Samudra menjadi urung.

Prang!!!

Gaduh suara yang terdengar cukup membuat Samudra terkejut. Menelisik dari mana suara itu bersumber, Samudra langsung panik,  segera ia bangkit dari tempatnya. Berlari cepat ke kamar sebelah.

"Astaghfirullah, Benua!" Samudra mematung di ambang pintu begitu mendapati pecahan gelas berserakan di dekat adiknya yang sedang berjongkok. Nampak memunguti pecahan gelas itu.

Benua tersentak kaget mendengar suara kakaknya. Berdiri cepat dan menyembunyikan tangannya di belakang badan. 

Samudra mendekat, "Kenapa bisa gini Ben? Lo nggak apa-apa kan?" tanya Samudra panik.

Benua tak menjawab, hanya menggeleng takut dengan mengambil langkah mundur. Anak itu bahkan tak berani melihat wajah kakaknya.

"Ya Allah Ben, Lo berdarah!" Samudra memekik kencang, matanya membola melihat darah menetes dari belakang Benua. Samudra semakin dilanda kepanikan. Cepat-cepat Samudra mengontrol kepanikannya, berpikir cepat untuk segera menangani Benua.

Samudra ingin mendekat, meraih tubuh adiknya untuk segera diobati, tapi semakin ia mendekat, Benua justru kembali merentang jarak dengan melangkah mundur. "Jangan. Ntar aku ngerepotin. Mama, panggilin Mama aja, iya Mama. Mama mana?" ucap anak itu dengan cepat sambil menggeleng kuat.

Tatapannya berubah sendu ketika mendengar Benua berucap demikian. Ia tak menyangka ucapannya tadi pagi benar-benar terpatri dalam pikiran sang adik, dalam melukai perasaan anak itu. "Hei... Nggak masalah, gue nggak merasa direpotin. Gue mohon, maafin ucapan gue tadi pagi, gue cuma lagi banyak pikiran aja. Please, jangan dimasukin hati..."

Benua menggeleng, masih menolak uluran tangan kakaknya. "Iya. Nggak usah. Aku bisa sendiri. Kakak balik ke kamar aja. Maaf aku ganggu. Besok lagi nggak, janji."

Tapi Samudra tak peduli dengan penolakan Benua, terlebih ketika melihat bagaimana darah masih menetes, pekat mengotori lantai. Samudra tau adiknya dalam keadaan bahaya. Maka dari itu, dengan menghindari pecahan gelas Samudra menarik tubuh adiknya.

Benua merasa tubuhnya tak sebertenaga beberapa menit sebelumnya, bahkan pandangannya sudah berbayang dengan denyut di kepala yang mulai datang. Karena itu, Benua tak lagi bisa berbuat banyak ketika sang kakak menarik tubuhnya, menggendongnya di punggung lalu berjalan cepat keluar kamar untuk pergi ke rumah sakit. Benua malu, lagi-lagi kembali menjadi benalu.

"Kakak, maafin aku."

Samudra tak menjawab, bukan karena ia marah, lidahnya hanya terlalu keluh. Pilu tiap kali Benua berucap maaf.

🍂🍂🍂

Samudra menuntun pelan adiknya, merebahkan tubuh itu di tempat tidur. Menarik selimut hingga sebatas dada. Mengusap-usap rambut Benua, berharap anak itu cepat lelap tertidur. Sedangkan Benua nampak kikuk menerima perlakuan Samudra, padahal Samudra sudah sering memperlakukannya seperti itu. Bahkan terkadang Benua hanya bisa tidur ketika Samudra yang menemaninya, bukan Mama atau Papa.

"Udah, jangan takut. Darahnya udah berhenti kok, sekarang istirahat ya? Kakak temenin sampai kamu tidur." ucap Samudra ketika melihat Benua masih terus memperhatikan perban di jari telunjuknya.

"Hmm, iya." jawab Benua, singkat. Sebenarnya ada banyak yang ingin Benua katakan, Benua ingin menanyakan pertandingan kakaknya kemarin atau sekedar membahas hal-hal yang tak penting seperti kucing peliharaannya yang sebentar lagi akan melahirkan. Tapi Benua sudah memantapkan pikirannya, untuk mulai berhenti terlalu dekat dengan kakaknya, untuk membuat jarak supaya Benua tidak banyak merepotkan Samudra, jadi mulai sekarang Benua akan berbicara seperlunya saja pada Samudra.

"Ben, Benua masih marah sama kakak?" tanya Samudra, tapi gagal memecah lamunan Benua. "Ben?"

"Eh iya, kenapa?" Benua justru balik bertanya, meminta kakaknya mengulangi pertanyaannya.

"Benua masih marah sama kakak?"

"Nggak kok."

"Bohong, Benua diemin Kakak gitu, nggak kayak biasanya." bantah Samudra. Samudra tau, luka di hati Benua belum terobati.

"Benua nggak ada marah sama Kakak. Lagian, kenapa Benua harus marah, kan kenyataannya Benua emang selalu ngerepotin Kakak?"

"Soal itu, kakak bener-bener minta maaf Ben. Kakak lagi banyak pikiran, Kakak lagi stress banget, jadi bawaannya emosi aja. Eh malah Benua yang kena dampaknya. Kakak, minta maaf ya?"

Bagi Benua, tak biasanya Samudra mengeluarkan keluh kesahnya. Kakaknya itu selalu terlihat kuat di depannya, tangguh menghadapi apapun, atau terkadang justru bersikap seolah tak memiliki masalah hidup. Tapi kali ini, Samudra nampak berbeda di depan Benua, untuk pertama kalinya Samudra mengeluh. Karena itu Benua menjadi luluh, tak tahan untuk tetap diam tanpa mencari tau apa yang sedang kakaknya alami.

"Kakak kenapa? Stress kenapa? Mau cerita ke Benua? Kata orang-orang, kalau kita punya masalah dan mau berbagi ke orang lain, perasaan kita nanti jadi lega. Sini deh, tidur di samping Benua, kita cerita-cerita!" Benua lantas menepuk-nepuk sisi kosong di sampingnya, memerintah Samudra untuk ikut merebahkan tubuh.

Samudra tersenyum senang, hatinya menghangat mendengar Benua berucap demikian. Ia menuruti perintah Benua, menyibak selimut, lalu merebahkan tubuh di samping Benua. Samudra menghela nafas, sekedar mengusir resah yang terus membebani pikiran, matanya menatap lurus ke atas pada langit-langit kamar. "Biasalah, stressnya anak kelas dua belas. Mikirin ujian, mikirin ntar lanjut ke mana."

"Oh gitu... Kenapa nggak lanjut jadi atlet aja? Benua bangga banget tiap kali kakak juara!" anak itu mengatakannya dengan semangat. Percaya saja pada apa yang diucapkan Benua.

"Andai bisa, Kakak pasti nggak akan kepikiran gini."

Benua mengernyitkan dahi bingung, "Hah? Kenapa nggak bisa? Kan Kakak jago banget, medalinya aja udah banyak!" tanya anak itu dengan memperhatikan wajah sang Kakak, ada banyak beban yang disembunyikan dibalik senyum itu.

"Bawel ah adeknya Kakak!" ucap Samudra, sengaja memutus topik pembicaraan. Cukup, Samudra tak mau Benua tau tentang apa yang terus mengganggu pikirannya karena Samudra tau betul bahwa sumber lelahnya adalah kenyataan yang menjadi luka bagi sang adik.

"Bawel banget! Kakak jadi gemes!!" Samudra menjawil hidung Benua, membuat anak itu mengaduh ditambah lagi Samudra mengunci tubuh Benua dalam pelukan. Membuat Benua tak bisa berkutik.

"Kakak ih! Lepasin! Bau banget!" protes Benua, bukan apa-apa, posisinya saat ini begitu mantap, menghadap dan mencium tepat ketiak kakaknya. Sungguh, Benua yang malang!

🍂🍂🍂

Bersambung....

Bumi Lampung
Terang, 12 Februari 2021


Makasih banyak kalian udah mampir 🤗
Semoga nggak bosen ya kalau aku sering-sering up, mumpung libur gaess😂
Oh iya, maaf juga nih kalau masih pendek-pendek 😁
Stay healthy ❤️

Hold Me TightWhere stories live. Discover now