Hold Me Tight | 11

1.7K 236 19
                                    

Dari balik pintu kamarnya, Samudra dapat merekam dengan jelas semua teriak amarah Mama dan Papa. Lagi-lagi dirinya yang menjadi penyebabnya. Entah untuk yang ke berapa, perasaan Samudra dikuasai gemuruh rasa bersalah. Andai saja ia tidak lemah menjadi seorang laki-laki, bisa melawan semua anak-anak yang tawuran tadi atau tidak pingsan hanya dengan terkena pukulan kayu. Pasti ia dan Benua tidak akan sampai dibawa ke kantor polisi dan takkan seperti ini akhirnya.

Tak masalah jika hanya namanya yang dibawa, karena Samudra pun telah terbiasa berteman dengan luka. Tapi kali ini, dengan lantang mereka menyebut nama Benua, terang-terangan membahas kondisi anak itu.

Samudra kemudian tersentak kaget saat tiba-tiba terdengar suara benda pecah. Sontak Samudra membuka pintu, bersamaan dengan itu ada Mama yang juga keluar dari kamarnya.

"Samudra?" Mama tampak sangat terkejut, barangkali merasa takut dan tidak enak jika Samudra mendengar semua pembicaraannya.

"Samudra barusan dengar ada barang pecah, kaget, jadi Samudra keluar untuk ngecek." tidak sepenuhnya berbohong. Samudra hanya ingin Mamanya tidak mengkhawatirkan apapun.

"Iya Mama juga dengar, Nak. Siapa ya? Apa mungkin Benua?"

Miaauu.... Suara dogy, kucing kesayangan Benua kemudian menginterupsi keduanya. Kemunculannya yang tiba-tiba dari bawah meja tempat vas bunga yang pecah itu diletakkan membuat Samudra dan Mama berpikir akan hal yang sama. "Ternyata Dogy."

"Iya Ma. Aku pikir Benua." Samudra mengiyakan. Berjalan menghampiri kucing berbulu lebat itu, Samudra lalu berjongkok untuk membawanya dalam gendongan, "Pecicilan banget sih kamu?" menjawil-jawil wajah Dogy.

"Udah malam, Samudra kok belum tidur?"

"Ini Samudra mau tidur. Kalau gitu Samudra ke kamar dulu ya, Ma." Samudra tau betul mamanya sedang berusaha keras menormalkan suasana, barangkali Mama telah menyadari kalau Samudra mendengar semuanya, karena itu Samudra memilih untuk cepat-cepat pergi ke kamar saja. Seolah tidak mendengar apa-apa. Seolah tidak ada luka baru yang kembali tercipta, lalu menyatu dengan luka-luka sebelumnya yang belum juga menutup sempurna.

***

Bersandar di pintu, Benua berusaha keras menormalkan nafasnya yang memburu. Semakin kesulitan ketika rasa cemas terus menyerangnya, takut sekali kalau tiba-tiba Mama datang untuk menanyakan siapa pelakunya. Benua tak ingin Mama tau kalau ia mendengarkan semuanya.

"Ben, kamu udah tidur Dek?" Benua langsung terperanjat ketika tiba-tiba pintu kamarnya diketuk oleh Samudra.

"Aduh itu Kakak. Aku harus apa? Jangan. Jangan sampai ketahuan." paniknya tak karuan. "Iya. Benar. Pura-pura tidur. Aku harus pura-pura tidur." entah mengapa semakin ke sini, Benua sulit mengatur dirinya sendiri jika sedang diserang panik seperti ini.

***

Tak kunjung mendapatkan jawaban, Samudra pun memutuskan untuk masuk langsung ke kamar Benua. Pintu kamar Benua yang memang tidak diperbolehkan untuk dikunci dari dalam memudahkan siapa pun di rumah untuk masuk ke kamar anak itu, baik mengecek kondisinya yang bisa saja drop tiba-tiba atau untuk hal lainnya.

Duduk di pinggir ranjang, Samudra menurunkan Dogy. "Ben? Ini Dogy mau disuruh tidur di sini atau biar sama Kakak?"

"Yaah, Dogy, kayaknya kak Ben udah tidur deh..."

Berbaring membelakangi Samudra, Benua mati-matian menahan deru nafasnya yang masih saja memburu, Benua hanya tak mau Samudra tau kalau dirinya masih terjaga dan dalam kondisi yang tak baik-baik saja.

"Ben, maafin Kakak ya. Gara-gara Kakak, kamu jadi telat minum obat hari ini. Gara-gara Kakak, Papa jadi ungkit-ungkit kondisi kamu. Harusnya Kakak bersyukur 'kan karena kamu masih mau bertahan sampai sekarang, tapi kenapa Kakak malah bikin semuanya jadi rumit kayak gini?" Samudra mengambil jeda, sekedar meredam getar pada suaranya, "Harusnya Kakak bunuh aja semua cita-cita Kakak 'kan? Biar Ayah nggak punya celah untuk mempermasalahkan kondisi kamu? Karena nyatanya Ayah bakal tersenyum dan diam kalau semua keinginannya tercapai."

Air mata Benua meluruh. Lagi-lagi merasa menjadi manusia yang paling jahat di dunia ini. Bagaimana tidak, hadirnya selalu membawa kesulitan untuk keluarganya sendiri dan harapannya untuk terus bertahan justru mematikan mimpi-mimpi Samudra.

"Ben, tenang aja, Kakak nggak akan biarin ayah ikut lukai perasaan kamu. Mulai sekarang, Kakak bakal berusaha keras untuk dapatin apa yang ayah mau. Jadi tugas kamu, kamu harus tetap kuat untuk Kakak!" menaikkan selimut Benua, Samudra kemudian beranjak dan membawa Dogy pergi dari sana.

Benua langsung mendudukkan diri begitu mendengar suara pintu kamarnya berdecit, tanda bahwa Samudra telah pergi. Menyibak selimut, Benua kemudian menekan kuat pada bagian telapak kakinya, "It's oke Benua. Jangan takut. Ini cuma luka kecil. Kamu nggak akan kenapa-napa."

Tapi pada kenyataannya tidak seperti ucapan Benua, darah segar masih terus merembes keluar dari luka yang sebenarnya tidak seberapa itu. Membuat Benua kewalahan untuk membersihkannya.

"Obat, iya obat. Kalau aku minum obat, aku pasti baik-baik aja." rancau Benua, tangannya sudah bergerak membuka laci nakas untuk mengambil obatnya. Benua bahkan tak memperdulikan lagi dosisnya. Dengan asal ia menjejalkan beberapa pil ke dalam mulutnya.

Benua masih sempat terjaga untuk membersihkan semua bekas darahnya, menghilangkan jejak yang sekiranya bisa mengundang khawatir orang tua dan kakaknya. Hingga tak berselang lama setelahnya, pandangannya mulai mengabur.  Tertatih Benua melangkah ke tempat tidur, hingga pada langkahnya yang terakhir, gelap merenggut paksa sadarnya.

***


Bersambung.....

Bumi Lampung


Kalian apa kabar? Udah lama aku nggak muncul bawa benua dan samudra, banyak banget yg teror aku, minta aku buat up, makasih banget buat itu, aku jadi ada semangat buat lanjut, ya walaupun hasilnya aneh gini sih. Maaf ya🙏

Kalian jangan lupa bahagia dan selalu jaga kesehatan ya❣️

Hold Me TightWhere stories live. Discover now