Selesai dengan diskusi Melva baru akan undur diri. Laptop dan notebook yang tadi di bawa sudah ia kemasi. Ia tidak ingin berlama-lama di sana, semua harus terjaga sejalan berirama seperti biasa. Abrar adalah atasan, ia hanya karyawan magang. Semua harus kembali pada tempat masing-masing, termasuk hatinya sendiri. Ia tidak mau terlibat menjadi tersangka apalagi dalam rumah tangga orang lain. Karena, sebelum rumah tangga itu patah hatinya lebih dulu terluka. Membayangkan prahara rumah tangga yang tidak harmonis akibat ulah pihak ketiga saja sudah membuatnya merinding setengah mati.
"Melva, ayo bicara." Ajak Abrar.
"Tentang apa, Om?"
"Tentang kita, KUA, dan anak saya."
Melva terkekeh, "Om serius mau bahas KUA."
"Kenapa nggak? Kamu pernah bahas mau saya ajak ke KUA." Jawab Abrar.
"Om, stop bercanda! Apa kata istrinya, Om....tidak. apa kata istrinya Pak Abrar jika tahu semua ini? Aku merasa sangat berdosa, Pak Abrar. Aku bahkan nggak akan punya muka lagi untuk sekedar berpapasan dengan istri bapak. Apa kata ibu Arini dan Bapak Wijaya...."
"Mami sama Papi sudah setuju." Potong Abrar.
Gadis itu memejamkan mata menenangkan gejolak di dada. Bukan, ini bukan tentang hatinya yang hampir patah. Namun karena Abrar berubah menyebalkan secara tiba-tiba.
"Mel, saya serius kalau Mami sama Papi sudah setuju. Dan walaupun saya nggak janji untuk tidak membuatmu bersedih. Tapi saya bisa menjanjikanmu bahagia." Imbuh Abrar.
Gemuruh di hati Melva semakin kuat, ia marah. Mungkin jika kondisi Abrar yang tidak beristri akan menghasilkan cerita yang berbeda. "OM!" Sembur Melva. Tepat saat itu Kevin yang tadi sudah izin main di luar kembali masuk. Tubuh anak tersebut langsung mematung mendengar suara tersebut.
"Daddy," Cicit Kevin melihat Abrar.
"Sini, Boy." Kata Abrar memanggil anaknya.
Kevin melihat Melva dengan tatapan penuh dendam. Melva yang mendapat tatapan seperti itu mengangkat alisnya, "Bang Adam, ini cara angkat alis sebelah gimana?" Tanyanya kepada Adam yang sejak tadi selalu sibuk dengan laptop di atas pangkuan.
Adam melihat Melva dengan tatapan tak terbaca, rahangnya seakan enggan untuk tertutup--speechless. Ia ingin menyemburkan tawa, namun di sisi lain ia kasian dengan Abrar. Sahabatnya ini sedang serius dan tatapan Abrar tehadapnya cukup membuatnya menjadi patung bernyawa.
Abrar kemudian menatap Melva sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis tersebut dengan alis yang masih dimainkan berusaha meniru Adam.
"Aku benci kamu!" Teriak Kevin sambil mendorong perut Melva.
Melva yang tak siap terhuyung hingga jatuh terduduk di sofa. "Terima kasih." Ucap gadis tersebut mengerlingkan sebelah mata.
Dada Kevin semakin naik turun menggambarkan besar emosi anak laki-laki yang menatap sarat akan kebencian. Sementara Abrar mengetatkan rahangnya, benci sekalipun tak seharusnya membuat Kevin main tangan.
Melva yang melihat hal tersebut langsung berujar, "Kamu punya 100 alasan untuk membenciku, tapi aku memiliki 101 alasan untuk menyukaimu. Ketika kamu punya 1000 alasan membenciku, aku punya 1001 alasan untuk menyukaimu."
Kevin langsung berbalik kesal, ia tidak mengerti kenapa gadis bernama Melva tersebut tetap tersenyum. Ia memeluk kaki Abrar, aura dingin Abrar menguap begitu saja. Seirinh dengan tangis yang mulai terdengar dari mulut kecil anaknya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Pak Abrar, Pak Ad...."
"Mel, saya akan menemui orang tuamu." Potong Abrar untuk kedua kalinya.
Melva langsung diam membisu, tubuhnya menegang di tempat. Seberapa serius Abrar dengan seluruh omongannya? Berapa banyak hati yang akan Abrar torehkan luka? Hati Melva, hati istrinya, hari para keluarga, hati orang-orang terdekat mereka dan.... seketika pening melanda, baru memikirkannya saja sudah membuatnya menyerah. Lalu bagaimana mungkin Abrar bisa bertindak begitu kejam.
Percayalah, dunia tidak hanya berpusat pada dia saja, hingga semua keinginan laki-laki itu harus terpenuhi.
"Pak Abrar tidak bisa menemui orang tua saya tanpa izin dari saya." Tandas Melva seakan tak mau dibantah.
"Dan saya tidak perlu izin dari kamu, Melva. Saya perlu izin dari orang tua kamu." Sahut Abrar tak mau kalah.
***
Melva memijat-mijat kecil kepala yang serasa akan pecah. Obrolan setelah diskusi ternyata memakan banyak emosi. Ia belum menyentuh sarapan pagi ini sama sekali menambah ruwet pikiran dan hati. Irian tengahnya sudah meronta minta di isi. Kini ia di ruangan seorang diri, timnya yang lain sedang pergi--melaksanakan tugas yang baru diberikan malam tadi.
Melva membuka laci meja, masih ada pop mie yang tersisa di sana. Tapi inginnya adalah makan nasi, jika saja tadi kesabarannya sedang diuji, ia tak akan segan mengambil kotak makanan yang di sediakan Adam selama proses diskusi. Gadis itu meringis merasakan perutnya mulai melilit.
"Sabar perut, aku nggak bermaksud mendzolimi. Sebentar lagi waktu istirahat." Gumamnya sambil mengelus perutnya dari luar gamis yang ia kenakan.
"Mel," sebuah suara memanggil namanya dibarengi dengan ketukan pintu. Melva menarik nafas terlebih dahulu, baru kemudian mengangkat pandangan yang semula menunduk. "Ini makanannya." Adam menyodorkan kotak yang tadi tertinggal di ruangan Abrar.
Melva tanpa sadar berucap syukur yanh di sambut tawa oleh Adam. Laki-laki itu diperintah oleh Abrar untuk mengantarkan makanan kepada Melva, si gadis idaman. Namun tak mudah ditaklukkan. Adam tersenyum dengan pikirannya sendiri.
Melva menilik ke belakang Adam, ternyata ada Kevin yang bersembunyi di sana. Melva tersenyum jahil mendapati anak itu membuang wajah spontan saat tatapan mereka tak sengaja bertemu.
"Kayaknya nama Kevin nggak cocok untukmu." Ujar Melva yang langsung mendapat pelototon tajam dari Kevin. Ingin sekali Melva menarik pipi Kevin sekalipun tidak gembul. Tipikal wajah Kevin seperti tipikal wajah laki-laki yang akan membuat wanita mabuk kepayang.
"Emang nama yang cocok apa, Mel?" Tanya Adam penasaran.
Melva tampak berpikir, "akan aku pikirkan. Nama Kevin terlalu manis untuk laki-laki pahit seperti dia." Sarkas Melva seketika membuat aura yang terpancar dari anak menatapnya tajam tersebut menguar penuh ancaman. "Setelah Daddymu, sekarang kamu juga terpesona denganku?" Melva mengedipkan sebelah matanya jahil.
Kevin langsung meninggalkan Melva begitu saja menuju lift yang menghubungkan lantai atas dan tempat mereka sekrang berdiri. Adam terkekeh melihat tingkah Kevin, padahal anak itu sendiri yang meminta ikut dengannya. Jelas ia sudah mengatakan tujuannya adalah untuk mengantarkan makanan Melva yang ketinggalan.
"Kalau begitu saya kembali ke ruangan, Mel. Assalamu'alaikum." Pamit Adam.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Melva. Gadis itu menunduk sedikit sebagai tanda hirmat pada rekan-rekan yang lain, yang melihat interaksinya dengan Adam. Melva tidak terlalu mengenal mereka, namun ia hanya sebatas tahu nama dan mereka adalah rekan kerjanya. Ia juga jarang untuk sekedar bicara, namun hanya sebatas bertegur sapa.
***
Tbc
Hhmmm...
Teman-teman, Melva, Abrar dan Kevin kira-kira cocok diperankan siapa?Boleh tag aku di ig ya... artis mana yang cocok.
Sehat selalu semua. Cinta kasihku untuk kalian semua. ❤❤

YOU ARE READING
Hello, Future!
RomanceRank #5 - roman (26 Feb 2021) Rank #3 - acak (15 Maret 2021) Rank #2 - fiksiumum (11 April 2021) "Assalamualai...." Salamnya terputus ketika netranya menangkap sosok yang membuka pintu ternyata bukan pemilik rumah. "Assalamualaikum." Ujarnya mengula...