𝐯𝐢𝐢𝐢. 𝐢𝐧𝐬𝐞𝐜𝐮𝐫𝐢𝐭𝐢𝐞𝐬

235 39 6
                                    


warning : contains spoilers!

please read at your own risk because i've remind you :)

.

.

.

          Siapa yang tidak mengenal Akaashi Keiji? Setter dari Akademi Fukurodani yang sudah berkali-kali masuk ke turnamen voli nasional di Jepang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Siapa yang tidak mengenal Akaashi Keiji? Setter dari Akademi Fukurodani yang sudah berkali-kali masuk ke turnamen voli nasional di Jepang. Kemampuannya kian menjadi sorotan, apalagi setelah disandingkan dengan sang Ace─Bokuto Koutaro. Keduanya memiliki kepercayaan dan kerja sama yang baik, begitu pula dengan anggota tim yang lainnya.

Lelaki bernomor punggung ganjil itu tidak hanya disorot karena kemampuannya memberikan operan yang sempurna. Tetapi juga keahlian dalam pengamatan serta penyusunan strateginya; terutama dalam menghadapi mood Bokuto yang bisa berubah dengan cepat (tentunya dengan bantuan dari anggota tim juga).

Selain kemampuan, penampilannya juga tidak bisa diabaikan begitu saja kan? Paras yang tampan dengan iris sebiru metal, serta postur tubuh yang tinggi semampai. 

Ah, sebenarnya apa yang Tuhan pikirkan saat sedang menciptakan Akaashi Keiji?

Akaashi Keiji itu sempurna. 

Setidaknya bagi orang-orang yang tak mengenalnya secara langsung. Namun bagi [Name] sebagai orang yang berstatus sebagai kekasih, tentunya Akaashi sama seperti manusia lainnya. 

Dia memiliki kekurangan.

Tak jarang Akaashi overthinking karena hal itu. Dia tidak sempurna─tidak seperti yang orang-orang asumsikan. 

"Keiji, matamu sembab."

"Ah, aku terlalu banyak menguap hari ini."

Akaashi merapihkan jaket tim yang dikenakannya, memutuskan kontak mata dengan kekasihnya. Saat ini keduanya tengah berada di ruang ganti Tokyo Metropolitan Gymnasium, usai pertandingan terakhir Fukurodani di hari itu. 

Anggota tim yang lain beserta kedua manajer bilang mereka akan menunggu diluar saja. Membuat sepasang kekasih itu memiliki waktu berdua walau hanya sebentar. [Name] menghela napas gusar, kalau sudah soal masalah pribadi begini Akaashi memang suka menutup-nutupinya.

Jelas pria itu berbohong. Wajahnya tidak akan memerah seperti itu jika hanya karena menguap berkali-kali. Lagipula, Bokuto dan Konoha sudah memberi laporan pada [Name] sebelumnya─walau mereka berdua sudah dilarang oleh Akaashi.

"Akaashi merasa sangat bersalah, karena dia terlalu memikirkan banyak hal tak penting." lapor Bokuto, "Padahal kami bisa menang juga berkat dia, aku bahkan kagum dia bisa bangkit dalam waktu singkat." sambungnya lagi. 

Yah, sebenarnya [Name] tidak mau menjadi orang yang terlalu ikut campur urusan pribadi. Takut Akaashi sewaktu-waktu hanya akan terganggu oleh hal itu. Tetapi, memang sudah sifat alami seorang [Name] seperti ini. Rasanya melihat sang pemuda yang sedang down ikut memberi kegelisahan dalam dirinya.

Maka ia melangkahkan kaki mendekati Akaashi, "Keiji! Lihat aku!" Akaashi agak terkejut mendapati gadisnya sudah berada tepat di sebelahnya. Manik gelapnya mengkilat, menyiratkan keseriusan dalam tatapan itu. 

"Ya?" 

"Kau selalu punya aku untuk berbagi keluh kesahmu, Keiji!" Sepersekian detik, netra Akaashi melebar. "Tapi aku tidak apa-apa, [Name]." balas Akaashi masih berusaha mengelak. "Bokuto-san dan Konoha-san sudah memberitahuku," astaga, padahal mereka sudah kusuruh tutup mulut, batin Akaashi.

"Keiji, setiap orang punya kelemahan masing-masing. Semua orang berbuat salah. Menjadi sempurna bukan sebuah kewajiban," 

Memang betul. Akaashi tak pernah merasa dirinya sempurna, ia hanya manusia biasa. Tapi menjadi kuat─apalagi dihadapan wanita terkasih─baginya itu adalah hal yang harus ia lakukan. Ia tidak mau [Name]  memandangnya sebagai pengecut, lemah, payah.

"Sini," Akaashi menarik tubuh mungil [Name] ke dalam pelukan hangatnya. Mengelus surai sang gadis penuh sayang. "Hal yang diceritakan oleh mereka sudah berlalu. Sekarang aku sudah tidak apa-apa, serius." 

"Keiji, kau itu kuat sekali ya.." cicit [Name] dalam pelukan Akaashi. 

Ya, dan memang seharusnya begitu [Name]. Didepanmu aku harus kuat.

"Tapi aku tak suka Keiji yang pura-pura kuat," sambung [Name] lagi. Kali ini suaranya agak bergetar, menahan tangis. "H-hei, jangan menangis." Akaashi berusaha menenangkan sang gadis. 

"Aku memang tak mau menuntutmu, tapi untuk hal ini saja─" suara lembut itu terpotong oleh sesenggukan yang menjadi-jadi. Air mata [Name] yang susah payah ia bendung, akhirnya lolos juga dari pelupuk matanya. "─kau boleh bercerita padaku. Apapun. Sedih, senang, susah. Aku tidak akan menghakimimu. Aku tidak akan menganggapmu lemah." 

Akaashi terdiam.

"Lagipula aku ini.. kekasihmu kan?" nada penuh ironi itu keluar dari mulut [Name]. Seakan mempertanyakan posisinya yang sebenarnya bagi Akaashi. Perasaan bersalah mulai bermunculan, selama ini jalan yang sudah Akaashi ambil ternyata salah.

"Maaf," lengan kekar itu mengeratkan pelukan pada sang puan. Tak ingin melepaskannya dalam waktu dekat. Ia ingin seperti ini dulu, bahkan kalau bisa selamanya. "Hari ini aku hanya sedikit overthinking karena kekuranganku," Akaashi mulai bercerita.

"Mujinazaka itu sekolah yang luar biasa, mereka hampir membantai kami. Aku berpikir, bagaimana jika aku seorang yang jenius seperti Kageyama Tobio atau Miya Atsumu? Apa kami akan menang dengan mudahnya?"

Akaashi menuntun [Name] duduk dibangku, mengambil selembar tissue yang akhirnya di berikan pada sang gadis guna mengeringkan air matanya. "Aku merasa melakukan banyak kesalahan. Aku panik sekali, aku takut kami akan kalah." 

"Tapi, pada akhirnya kalian menang dengan kekuatan kalian sendiri kan? Kau juga menang sebagai Akaashi Keiji dari Fukurodani. Bukan Kageyama Tobio dari Karasuno, pun Miya Atsumu dari Inarizaki." sambung [Name] setengah sesenggukan.

Akaashi tersenyum, "Kau benar." 

"Sini, aku ingin memelukmu lagi." 

"Ehh? Bukannya tadi sudah?" 

"Sekarang giliran aku yang menenangkanmu, kan tadi kau menangis." 

"Urusai..." sahut [Name], malu. Akaashi terkekeh, "Padahal kan aku yang sedang sedih. Tapi malah kau yang menangis," 

"Padahal sendirinya tadi nangis juga," 

"Kan sudah kubilang aku hanya terlalu banyak menguap,"

"Sumber informasiku sudah terpercaya, Keiji."

"Ck. Iya iya, aku mengaku."

[to be continued]

*sapaan singkat*

Hai semua, maaf lama ga update hehe. Semoga tetep sabar nunggu ya >< Maap kalo chapter kali ini terlalu menye-menye, cuma kepikiran aja gituu soal Akaashi yang insekyur hehe :")

─ Ren Hanami, 03/02/2021.

every inch / akaashi keijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang