78 - MENDEKAP LUKA.

2.9K 528 1.9K
                                    

Jangan lupa vote sebelum membaca, biar nggak lupa!❤

■■■

Bergaya sesuai dompet. Percuma ngaku kaya dan bahagia, tapi kebahagiaannya cuman tipuan semata.

■■■

"Gibran?" Seorang perempuan lantas melebarkan matanya terkejut melihat laki-laki yang berdiri di depan rumahnya, dengan sebungkus martabak serta bunga bucket bunga mawar, di iringi dengan senyum manis di bibirnya.

"Seneng nggak gue dateng?" tanya Gibran dengan nada tenang, seakan tak terjadi apa-apa pada hatinya.

"Gi-Gib, kok ka-kamu disini?" Darlena terbata-bata, pikirannya langsung terblokir ketika melihat kedatangan Gibran secara tiba-tiba. Seingatnya, ia sama sekali tak membicarakan alamat rumahnya pada siapa pun.

"Seneng, nggak? Kok kayak nggak seneng gitu? Kenapa kaget?" Gibran menautkan alisnya, senyum miris tercetak di bibirnya, sudah di pastikan Darlena akan terkejut melihat kedatangannya.

Cewek itu yang selalu menyuruh Gibran berhenti di depan gerbang cluster yang bukan tempat tinggalnya ketika mengantar pulang, tak pernah menunjukkan dimana rumahnya atau sampai mengajaknya masuk. Dan semua ini sama sekali tak pernah Gibran curigai.

Gibran menatap sekitar, gang yang tak begitu besar, dengan deretan rumah-rumah kecil, begitu pun rumah Darlena. Ada barang-barang bekas yang terletak di halaman rumahnya, seperti lemari kecil, dan beberapa kardus. Sangat jauh dengan apa yang semua orang bicarakan tentang hidup cewek itu.

"Nggak mau peluk gue, Dar? Biasanya cewek seneng kalau pacarnya dateng. Apalagi bawa makanan sama bunga. Serius lo mau diem aja?" Gibran melebarkan tangannya, seakan menyuruh Darlena untuk memeluknya. Namun, cewek itu hanya diam kaku, tak bisa berbuat apapun, seperti ada pembatas dirinya dengan Gibran.

Cowok itu perlahan menurunkan tangannya, sembari mengangkat bahunya. "Gue kesini berharap lo mau peluk gue, loh. Setidaknya lo bilang kalau lo seneng gue disini. Kenapa lo jadi kaku gitu, sih? Ada yang salah?"

"Ke-kenapa kamu tau rumah--"

"Kenapa gue tau rumah lo disini? Karena sedalam apapun bangkai di kubur, bakal kecium juga baunya." ujar Gibran menatap Darlena yang hanya bisa diam, bergeming, bahkan masih tak percaya.

"Lo nggak percaya gue akhirnya tau? Sama. Gue juga nggak percaya lo lakuin ini."

"Baju lo bagus, siapa yang beliin? Perhiasan yang ada di tubuh lo, nggak hasil curi, kan? Sepatu kaca lo, nggak lo beli pakai uang haram?" tanya Gibran bertubi-tubi membuat Darlena langsung kelu, salah tingkah, bahkan tak tahu apa yang harus ia jelaskan pada Gibran.

"Gib, aku bisa jelasin--"

"Mau jelasin apa? Sini gue dengerin. Gue bukan lo yang mutusin masalah sepihak." sindir Gibran lalu duduk pada kursi yang terletak di sana. Ia memilih untuk diam, memberi jeda pada Darlena untuk menjelaskan semuanya.

Tapi, Darlena hanya diam. Bahkan ia tak tahu harus memulainya dari mana. Terlalu banyak kebohongan yang ia lakukan, terlalu tak masuk akal bagi Gibran yang akan mendengarkan. Dengan ia menceritakan semuanya, mungkin hari besok tak akan seindah yang ia rencanakan. Semua akan balik menyerangnya, bertubi-tubi.

"Kok diem? Bisa jelasin, nggak?" Gibran menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Jangan habisin waktu gue, masih ada urusan lain."

Gibran mengetuk-ngetuk jemarinya pada dengkulnya yang berbalut celana jeans belel. Darlena tak juga berbicara, membuat kesabarannya habis.

DEAR US (SELESAI)Where stories live. Discover now