60 - MENGGENGGAM DUA HATI.

2.3K 414 788
                                    

Tuhan mempertemukan kita memang bukan untuk di persatukan. Tapi agar saling belajar menjadi tegar untuk cinta berikutnya.

***

"

SIAP sekolah ibu negara?" tanya seorang laki-laki di atas motor sport putihnya. Ia menatap perempuan di depannya yang sudah mulai membaik, walaupun tidak sepenuhnya. Matanya masih sembab, wajahnya masih pucat, serta penampilan seadanya. Tapi, setidaknya Gibran sudah merasa lega bahwa cewek itu sudah mau memberanikan diri kembali ke sekolah setelah hampir seminggu mengurung diri.

Airel terdiam, memikirkan kemungkinan mengerikan yang selalu melayang di kepalanya. Cewek itu menghela napas, lalu mengangguk kemudian.

"Gue yang jamin kalau semuanya bakal baik-baik aja." Gibran tersenyum, lalu menunjunjuk jok belakangnya yang sudah lama tak Airel naiki lagi.

"Ayo."

Airel tak beranjak, seperti ragu. Apakah ia sanggup mendengar segala sesuatu yang buruk tentang dirinya di sekolah nanti?

"Selama ada gue, lo aman." ujar Gibran tegas, memberikan keyakinan penuh pada Airel.

"Mending lo jangan temenan sama gue lagi, Gib. Gue.. takut lo terlibat. Setelah ini, sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi gue." ujar Airel dengan nada putus asa yang begitu kentara. Ia tahu, setelah ini mungkin sekolah akan menjadi jurang kematian untuknya.

"Lo bakal selalu nyaman selama masih ada anak-anak Asgard di samping lo. Gue pastiin nggak akan ada yang berani nyentuh lo, Rel. Gue janji." ujar Gibran menatap Airel intens, menyalurkan kekuatan yang ia punya untuk cewek itu.

"C'mon. Lima belas menit lagi gerbang di tutup. Lo nggak mau di hukum di hari pertama lo sekolah lagi kan?" Gibran tertawa kecil lalu memakai helm full facenya.

Airel tersenyum tipis, lalu beranjak naik keatas motor Gibran. Ada luka yang mendalam, namun setidaknya sedikit terobati dengan kehadiran Gibran yang sebelumnya sempat pergi.

"Pegangan, Rel. Gue mau ngeluarin jurus seribu bayangan." Gibran meraih kedua tangan Airel, lalu melingkarkannya di pinggang cowok itu.

Dulu, Airel selalu menolak ketika Gibran menyuruhnya untuk memeluk pinggangnya, sekedar untuk berpegangan. Namun kini, cewek itu malah mengeratkan pelukannya pada pinggang Gibran, melepaskan seluruh rasa sakit yang membalut dirinya.

Gibran menunduk, menatap tangan Airel yang melingkar di pinggangnya. Ia menghela napas, lalu menyalakan mesin motornya, dan melaju meninggalkan kediaman Airel dengan asap yang menari-nari di udara.

***

Gibran menatap Airel yang sepertinya ketakutan ketika akan melewati koridor sekolah. Cowok itu pun akhirnya menarik cewek itu kearahnya, merangkulnya dan memberikan perlindungan. Airel yang terkejut akan hal itu pun mendongak, menatap Gibran dengan bingung, namun cowok itu hanya mengangguk.

Kaki Airel yang sudah seminggu ini tak pernah lagi menginjak lantai koridor membuat semua orang disana langsung menoleh, di tambah ada Gibran berdiri di sampingnya. Padahal, beberapa belakangan ini cowok itu selalu berdampingan dengan Darlena, mereka menerka-nerka pasti Airel menghancurkan hubungan keduanya. Mata mereka menatap Airel tajam, setelah mendengar ibunya meninggal karena tertusuk pisau oleh cewek itu sendiri membuat mereka makin berpikir bahwa Airel sudah gila.

"Serius nggak sih?"

"Serius lah. Gila ya itu orang, bunuh ibunya sendiri. Nggak logis anjir."

"Kelainan sih pasti."

"Jangan-jangan dia psikopat beneran!"

Airel hanya bisa menunduk, tak kuasa melihat banyak pasang mata yang menatapnya, membicarakan hal buruk tentangnya. Ketakutan membungkus dirinya sekarang. Biasanya ia tak pernah memikirkan semua kata-kata orang, namun kini itu sangat merobek dalam hatinya.

DEAR US (SELESAI)Where stories live. Discover now