Bag. 6 | 💐Pertengkaran

484 95 28
                                    

Situasi mendadak tak terkendali. Khaira langsung mengambil Afwa tanpa mau mendengar penjelasan Kath lebih dulu. Nay sudah berusaha menghentikan, tapi Khaira begitu keras kepala dan meluncur dengan taksi online, tanpa bisa dicegah.

Air mata itu bercucuran tanpa henti. Memori yang ada memutar ulang kejadian. Tentang Kak Nisa, yang mestinya harus menikah namun juga harus merawat ayah. Tentang ayah yang ingin ditemani di kampung. Tentang pilihan yang ia buat. Bahwa, ia tidak mungkin meninggalkan Zen seorang diri, Zen pasti butuh dirinya, bla bla bla.

Belum lagi permintaan tolong kakek nenek asing yang meminta bantuannya. Khaira ingin bantu tapi...

Segera saja Nay menghubungi Zen untuk jaga-jaga.

Khaira hanya tertunduk memeluk Afwa. Menahan sebak di dada. Khaira benar-benar tak sangka. Kath bisa muncul lagi di antara mereka dengan kedok berhijrah dan kini bersiap menghancurkan rumah tangganya.

Khaira melirik ponselnya yang bergetar. Chika menelpon.

Setelah sedikit tenang, Khaira pun menyahut, berusaha terdengar wajar. Namun ujung-ujungnya, Khaira ketahuan juga. Ia kembali memuntahkan tangis.

Chika tak terelakkan. Khaira pun menceritakan semua. Chika kesal luar biasa.

"Tapi ... Kak Zen nggak mungkin selingkuh." sahut Khaira membela.

Chika geregetan. "Ayolah, Ra... teman macam apa yang sampai berbagi password ATM? Teman macam apa, kutanya? Bukannya cewek itu hampir merusak rumah tangga kamu dulu? Ayolah... objektif boleh, bodoh jangan!"

"Tapi ... nggak mungkin, Chika. Kak Zen mustahil gitu."

"Oke, tadi kamu bilang, cewek itu ngaku kalau Zen cuma membantu saja iya, kan? Ya. mungkin selingkuh itu mustahil bagi Zen. Kalo poligami?"

Khaira tercekat.

"Aku kasihan banget sama kamu, Ra. Sebenarnya kurang apa lagi sih kamu itu? Kamu udah berkorban banyak lho, ingat? Boro-boro mau lanjutin studi-jadi relawan medis seperti impianmu dulu. Kamu sekarang bahkan nggak kerja, nggak lagi siaran, nggak lagi ngemsi, selalu nurut apa kata suami. Tapi yang kamu dapat apa? Tidak ada penghargaan untukmu sama sekali. Sudah saatnya kamu tegas, Khaira!"

Khaira yang merasa tak nyaman dengan omongan Chika tentang suaminya. Minta waktu untuk berpikir, lalu menutup telepon.

Khaira menghela napas memijit kepala yang terasa pening. Sopir taksi telah mencuri dengar dari sedari tadi Tidak sekali sopir itu mencuri lihat dari kaca spion sedari. Khaira memilih tak peduli.

Sebuah telepon lagi. Dari Zen. Khaira memilih mengabaikan. Meski ia percaya dengan suaminya, Khaira tetap kecewa.

Chika tidak sepenuhnya salah. Untuk semua yang sudah Khaira korbankan selama ini; ia selalu berusaha menjaga perasaan suaminya, selalu hati-hati memilih waktu yang tepat jika ingin membahas permasalahan, selalu berupaya untuk tidak berkeluh kesah tentang banyak hal; tentang ia yang sebenarnya rindu kampung, ingin ikut mengurus ayahnya, ingin punya kesibukan, ingin ikut mengurus bisnis seperti Kak Nisa dan lainnya. Begitulah. Namun ingin itu lebih banyak diurungkan daripada diutarakan.

"Kutunggu di rumah." Begitu bunyi pesan chat yang baru saja masuk. Zen jelas sudah tahu situasinya dan sepertinya juga marah. Pesan tanpa diikuti embel-embel "Ra, atau sayang di ujung kalimatnya."

Khaira meneguhkan hati. Ketika turun dari mobil, Zen telah terlihat menungguinya di teras, menyusulnya, merebut barang bawaannya. Mereka masuk rumah dalam hening, tanpa sapa.

Setelah menaruh Afwa di boks bayi. Khaira menuruti langkah Zen ke ruang tengah.

"Aku tidak ada apa-apa dengan Kath.
Jangan terlalu cepat menyimpulkan
"

Ainy, membawamu kembali Where stories live. Discover now