Bag 10|Mimpi buruk

398 74 25
                                    

"Ibu. Ini saya. Pak Andi yang menyupiri Ibu tadi. Maaf, Tadi taxi saya tinggal ke toilet masjid bentar. Karena kebelet banget dan ibu pun juga ada di dalam, saya nggak matikan mesin. Nggak biasa saya begitu. Qadarullah sepertinya taxi saya dilarikan orang. Si ibu dan si anak yang tadi ikut turun sekarang bersama saya. Saya sudah lapor pusat. Apa ibu baik-baik saja?"

Khaira menguatkan hati. "Ya. Saya baik. Jadi saya harus gimana?"

"Tolong jangan cemas. Seperti saya bilang saya sudah lapor perusahaan, juga pihak berwajib untuk melakukan pengejaran. Ibu bisa kirim lokasi terkini?"

Khaira mengikuti arahan. Sesekali mencuri lihat kepada sopir di kanan berharap dia tak curiga, dan Khaira masih punya kesempatan selamat.

"Pastikan hape stand by. Nanti akan ada yang hubungi. Nonaktifkan nada dering agar pelaku tak curiga. Nanti angkat saja telponnya tanpa bicara."

Baru saja Khaira hendak mematikan nada, ponselnya berdering keras. My hubby is calling.

"Jangan coba-coba lapor polisi!" Pria itu mengancam yang membuat Khaira terpekik karena tiba-tiba saja laki-laki itu menarik khimarnya. Sopir itu mencoba jangkau rebut ponselnya.
Buru-buru pula Khaira pindahkan ponsel itu ke tangan kiri yang kemudian jatuh, terperangkap di sisi kanan kursi yang sempit. Khaira berteriak minta lepas. Kedua tangannya berusaha pertahankan kerudung, rambutnya serasa hendak tercerabut dari akar.

"Berarti sejak tadi anda berbohong? Apa maksud anda sebetulnya? Lepaskan! Turunkan saya di sini!" Berontak Khaira sengit, Sekuat tenaga Khaira membawa tubuhnya ke arah berlawanan dengan tangan masih menahan kerudung.

"Tak bisa karena kau sanderanya! paham?" laki-laki itu menarik kerudungnya lebih keras. Nyaris terjungkal Khaira menahan jambakan itu. hingga kemudian pegangan itu dilepaskan - pria itu seketika beralih pada kemudi, nyaris menabrak pembatas jalan. Seketika pula Khaira terpental, mengaduh mengantuk jendela.

Khaira merunduk coba raih ponsel yang masih berdering dari sela kursi. Terjatuh ke depan lantaran tangan besar itu malah memukul ponsel itu. Pria itu beralih menarik dan mencengkram lengan kanan Khaira. Sakit, sebab kuku-kuku panjang itu menyucuk permukaan kulit. Supir itu kembali lagi ke setir melepaskan cengkeramannya begitu temukan sebuah sedan di hadapan. Dering telepon pun berakhir tanpa sempat dijawab. Khaira menahan diri untuk tidak menangis-pandangi panggilan Zen yang hilang dari layar. Satu-satunya harapan menguap.

"Awas, jika kau ambil!" Ancam laki-laki gils itu begitu lihat truk kencang dari arah berlawanan.

Khaira terengah masih menatap posisi ponsel di bawah, yang tidak jauh dari posisi sepatu kanannya berada. Tadi ia sempat tendang sedikit ke depan agar sopir itu juga tidak punya kesempatan mengambil alih ponselnya.

Kendaraan di jalanan masih bergerak kencang-saling dahulu mendahului satu sama lain yang membuat sopir itu belum bisa lepas dari kemudinya. Entah apa yang ia kejar. Ia bisa saja menghentikan laju mobil jika mau.

Khaira mengamati luaran dari balik jendela. Sisi kirinya merupakan lembah dengan kemiringan landai- setidaknya itu yang ditampakkan lampu jalanan dan sinar rembulan. Khaira meneguk saliva. Apa dia lompat saja?

Khaira menimbang. Jika dirinya nekat, ia bisa mati. Namun jika ia masih berduaan bersama orang ini yang notabenenya haram, dilakukan. Ia juga bisa mati atau bahkan lebih parah dari itu-mati dalam kemurkaan Allah. Dalam hal ini, bukankah lebih baik mati menjaga kehormatan diri-yang merupakan kewajibannya terutama saat suaminya tak ada? Tentu Jauh lebih baik kan daripada mati konyol di tangan orang ini, yang sangat mungkin berbuat apapun? Khaira memantapkan hati. Memastikan semua bawaan di tas. Lengkap. Tinggal ponsel saja. Ia membulatkan keberanian.

Ainy, membawamu kembali Where stories live. Discover now