Bag. 11 | Kemungkinan-kemungkinan

755 110 89
                                    

Hampir dua jam Zen membujuk, hingga putri kecilnya itu lelah dan terlelap juga di pangkuan. Dengan menahan napas, perlahan ia turunkan bayi itu dari dekapan. Membaringkannya, dan menyekat tubuh mungil itu dengan dua guling.

Matanya masih awas memandangi Afwa– takut-takut jika putrinya itu bangun lagi, rewel lagi, karena tak dapati wajah ibunya di sisi. Zen benar-benar kelabakan dibuatnya. Sulit mengartikan setiap tangis anak kecil- haus kah? Masuk angin kah? Ngompol kah? Ngantuk kah? Entah mana yang benar. Berkali-kali pula Bu Rahmah masuk minta untuk mengambil alih Afwa tapi Zen tak izin.

Bukannya apa. Bu Rahmah pasti jauh lebih berpengalaman pada bayi dibandingkan dirinya. Namun akal logisnya tetap berkata tidak.
Cukuplah para orangtua sudah sibuk karena harus membesar-besarkan, putra putrinya dahulu. Jangan bebankan lagi mereka untuk merawat, membesarkan cucu. Itu bukan tugas mereka. Sekalipun mereka tidak berkeberatan, tetap saja tidak elok.
Biarlah para orangtua itu sibuk berbekal amal. Hal yang paling  mereka ingin lakukan kini, setelah disibuki urusan anak sepanjang hidup.

Panggilan samar dari mulut pintu membuat Zen beralih dari wajah mungil Afwa yang sedari tadi dipandanginya. Perlahan Zen beranjak berbisik sambil membelai dahi itu lembut. "Afwa abi tinggal bentar. Tunggu ya." pamitnya sambil mendaratkan kecupan ringan di dahi.

Begitu keluar. Bu Rahmah menuntunnya kepada Ustaz Musa yang tengah menungguinya di ruang kerja.

"Gimana Afwa, Zen?"

"Sudah tidur, Ustaz. Alhamdulillah."

"Syukurlah. Hebat kamu Zen."

"Akhirnya," sahut Zen sambil senyum. Merasa bahwa ia baru saja berhasil mengukirkan satu prestasi baru. Peluh di dahinya, jelas menyiratkan bahwa ia telah berusaha amat keras tadi. Bu Rahmah mengapresiasi. "Bolehlah masuk nominasi jadi ayah terpuji." Begitu kelakar bu Rahmah.

Pembicaraan basa basi bergulir. Hingga sampai juga ke pertanyaan serius.

"Pernah tanyakan kembali ke diri sendiri, kenapa kamu memilihnya sebagai istri, Zen?"

"Karena saya merasa dia orang yang tepat. Dia yang saya perlukan ada  di sisi saya, mendampingi saya, ustaz. Namun makin ke sini  kekecewaan saya menggunung, memang semestinya saya tidak berharap banyak, Ustaz."

"Tidak ada istri yang sempurna, anakku dan nggak akan ada. Dan jangan pula sampai berpikir untuk berpisah."

Zen mengangguk. "Samasekali tidak, Ustaz. Hanya saja saya seperti menemui jalan buntu. Dan jika itu terjadi, selalu ada bisikan itu, apa saya harus menyerah saja?"

"Istighfar, anakku. Mungkin terlihat  banyak kekurangan pada istrimu. Tapi, Sudahkah kamu introspeksi juga? Bahtera kalian ini, kamu kaptennya. Seorang Istri tergantung suami. Salah istrimu ini juga bermakna kegagalanmu dalam memimpin."

"Terasa lebih berat daripada mengurusi urusan orang banyak, ustaz."

"Memang." Ustaz Musa membenarkan. "Bahkan ayat-ayat taqwa banyak dikaitkan dengan hubungan suami istri. Kamu tahu kenapa?"

"Kenapa ustaz?"

"Sebab ini hanya persoalan antara kamu dengan Rabb-Mu. Urusan rumah tanggamu, urusanmu, yang orang lain tak bisa ikut campur padanya. Bahkan kami sebagai orangtua tidak punya hak, apalagi pemerintah.

"Ada banyak orang yang terlihat baik, kalem di luar, namun begitu di rumah. Ia beringas bak singa, berprilaku bak raja kepada istri dan keluarganya.
Makanya pula Rosulullah bersabda,
Sebaik-baik seorang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya. Dan  sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrinya dan keluarganya. Pertanyaannya, sudahkah istrimu dan keluargamu menjadi yang paling banyak merasai limpahan kebaikan dari dirimu, atau justru orang lain yang banyak terima hal itu sedangkan istri dan keluarganya hanya kebagian sisa?"

Ainy, membawamu kembali Donde viven las historias. Descúbrelo ahora