Bag. 5 |💐 Perempuan itu bernama Masithah

1.2K 257 62
                                    

Seperti permintaan Zen. Kath pergi ke gerai perusahaan telekomunikasi untuk mengurus sim card yang sengaja dihilangkannya beberapa waktu lalu demi menghindari suaminya.

Zen yakin, Jhony-suaminya Kath pasti akan menghubungi Kath lagi. Kini dugaannya terbukti, rupanya sesaat ia tengah salat tadi, sebuah notif panggilan tak terjawab muncul di layar.

Baru saja Zen hendak melakukan panggilan balik. Ponsel berdering.

"Aku sudah di Indonesia. Jangan sekali-kali mencoba lari. Dimana kau sekarang?" hardik suara itu dari ujung telepon.

Zen sontak menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Pria itu berteriak kencang sekali.

"Anda harus menceraikannya ... dia di bawah tanggungan kami sekarang ... No. Anda akan tahu siapa saya nanti, kecuali jika anda tak ingin bertemu mereka lagi. Saya kirim alamatnya, " jawab Zen tanpa basa-basi, mematikan sambungan secara sepihak.

Berikutnya Zen sudah mengirimkan sebuah alamat agar pria itu menemuinya nanti malam di suatu tempat. Zen menghela napas. Permasalahan ini cukup menguras emosinya. Dalam hati ia berdoa semoga hal ini dapat segera selesai.

Zen tahu siang ini Khaira tak ada di rumah, jadi ia putuskan untuk menyambangi rumah ummi saja. Selepas mengambil beberapa bungkusan plastik kresek di bagasi. Zen pun turun.

"Assalamualaikum!" sapanya di depan pintu setengah terbuka.

Mendapati tak ada jawaban, Zen memilih masuk. Ia dapat menghidu aroma harum dari masakan ibu mertuanya. Segera saja ia bergerak menuju dapur, mengucap salam lagi.

Bu Rahmah yang tengah menunggui wajan penggorengan menoleh. "MasyaAllah, anakku? kamu datang?" sambut Bu Rahmah antusias.

Segera Zen menyambut tangan yang mulai keriput itu. Menyalami penuh takzim. "Iya, Mi. Ummi sehat?"

"Alhamdulillah." Bu Rahmah berbinar. "Kamu doain Ummi nggak?" tuding Bu Rahmah setengah berkelakar, lalu menyuruh Zen duduk.

"Doain. Zen selalu doakan semua. Ummi, Ayah, Syifa, semuanya."

"Aku nggak didoain?" berundung sebuah suara. Zima mencomot bakwan yang tersaji di atas meja tanpa permisi. Tas yang tadi dikenakannya entah ia taruh kemana.

"Doain dong. Nih, abang bawa titipan dari Kak Khaira untukmu." Zen tersenyum, menunjuk kantung kresek putih di atas kursi di sisi.

"Asyik!" Serunya begitu melongok ke dalam kresek. Buru-buru ia bergegas. Hendak membawa lari pesanan itu.

"Salim dulu lah, main kabur aja!" tegur Bu Rahmah. Zima yang baru saja pulang dengan seragam sekolah itu pun
nyengir. Lalu menyalami Ummi dan Zen bergantian.

"Kamu belum makan, Nak? bentar ummi siapin. Kamu mau langsung balik kantor jam dua kan?"

Zen menggeleng. "Enggak. Zen l ikut ngantar kateringnya ke panti asuhan. Bentar lagi sepertinya mereka datang." Biasanya Bu Rahmah selalu mengundang anak panti asuhan makan ke rumah setiap ulang tahun putrinya. Tapi kali ini mereka memutuskan mengirim katering saja biar praktis. Semalam Zen sudah bilang ke Ustaz Musa, biar dia saja yang ngurus semuanya.

Bu Rahmah mendadak menyeka sudut matanya yang berair. "Ummi kira kamu udah lupa." serunya sendu.

Zen tersenyum. Lalu memusut punggung Bu Rahmah yang sudah seperti ibu sendiri baginya. Meski sudah berbilang tahun. Bu Rahmah masih kerap bersedih jika teringat akan kepergian Syifa.

"Zen mungkin suka melupakan banyak hal. Tapi Zen nggak akan lupa segala hal yang penting dalam hidup Zen. Terutama Syifa."

"Makasih ya, Nak." seru Bu Rahmah mengelus sayang mantunya itu, kemuduan buru-buru mengecek wajan.

Ainy, membawamu kembali Where stories live. Discover now