Bag. 9 | Firasat

366 81 18
                                    

Khaira melangkah secepat mungkin. Perasaannya tak nyaman, firasatnya mengatakan ada yang tengah membuntutinya. Menoleh ke belakang. Kosong. Tapi begitu Khaira kembali pada lajunya, bayang itu ada lagi.
Seorang laki-laki bertubuh tambun berkulit legam. Menggunakan Hoodie abu dengan penutup kepala. Benar-benar mencurigakan.

Tidak. Khaira tidak sebernyali itu untuk bisa mencegat langsung. Ini bukan game. Nyawanya hanya satu.

Ponselnya berbunyi. Nenek Calista memberi arahan posisi mereka yang tengah santap hidangan makan malam di resto bandara. Alih-alih menepi, Khaira memilih jalan melewati kerumunan orang.
Setelah beberapa waktu. Barulah ia temukan seorang kakek tua bertopi yang melambai ke arahnya. Khaira seketika lega. Penguntit itu sepertinya sudah tak terlihat lagi.

"Nenek Calista?" Khaira mengkonfirmasi.

Si kakek mengangguk. Sedangkan si nenek mendadak bangkit dari duduk menatap sosok di hadapannya seakan tak percaya.

"Kamu ... Khaira?"

"Iya, Nek. Saya Khaira." Khaira langsung menyambut tangan keriput itu. Salim sebagai bentuk hormat.

"Dia benar-benar seperti Sophie." Calista tak bisa sembunyikan getar dari suaranya.

"Ya." Jawab sang suami tercekat, membenarkan. Si nenek seperti hendak menangis. Mencoba mnyentuh wajah itu. Khaira yang tak tega pun akhirnya memberikan pelukan menguatkan.

Sebagaimana janji, begitu selesaikan urusan dengan kedua pasangan tua itu. Khaira langsung kembali pada taksi langganan yang tadi ia tumpangi. Tentu saja bersama oleh-oleh titipan dari kakaknya Nisa.

Taksi berhenti. Khaira turun pindah belakang. Ada seorang ibu dangan seorang anak balitanya yang minta berganti kursi. Ibu itu mengaku mudah mual jika duduk di belakang. Hal mudah bagi Khaira sebagai orang yang terbiasa mudik. Duduk dimanapun tak jadi soal asal cepat sampai.

Tapi rasanya waktu bergerak lebih lambat. Hatinya dongkol melihat panjangnya macet di jalanan. Bisingnya suara klason tak sabar menyumbang kesal lain.

Selepas bicara dengan Bang Farid tadi, Khaira kian gelisah. Makin tak tenang jika teringat pria penguntit tadi, plus mengingat kedua kakek nenek itu karena telah kecewakan mereka.

Khaira sebetulnya tak tega menolak permintaan pasangan tua yang notabene-nya bisa disebut kakek neneknya itu. Mereka jauh-jauh datang menemuinya, berharap sedikit pertolongan. Meminta Khaira mau berpura-pura menjadi seorang bernama Shofie itu, guna menyelesaikan beberapa urusan krusial. Khaira bahkan pangling. Sungguh ia dan Sophie terlihat seperti pinang dibelah dua.

Tapi lebih berat pula untuk setuju.
Belum tentu pula Zen beri izin.
Khaira bergetar begitu ingat ia bahkan tak kantongi izin itu. Khaira beneran tak enak duduk. Sungguh ia ingin menemui Zen secepatnya minta maaf dengan cara yang layak.

"Pak? Apakah memang tak ada jalan alternatif begitu? Jalan tikus? Saya buru-buru, Pak!" Khaira menyuarakan isi hati, gagal sembunyikan cemas.

"Sulit, Neng. Ini aja kita susah gerak. Daripada pusing mikirin macet enakan tidur, Neng."

"Ya, Mbak. Kalo tidur ntar nggak kerasa. Tahu-tahu nyampai." si ibu membenarkan.

Khaira mematikan ponselnya yang hanya tersisa 27 persen, mencoba terpejam.

Semua berkelebat. Pertengkaran dengan Runa, Keputusannya meninggalkan tanah air, pengalaman luar biasa merawat anak-anak korban perang, kepergian Syifa, keputusannya kembali ke tanah air, pertemuan tak terelakkan dengan Zen, mimpi buruk yang kembali, Ayahnya yang ditemukan, hingga pernikahannya.

Siapa sangka jika garis takdirnya seperti itu. Sejauh itu jarak yang sudah ia ambil. Menyebrangi lautan bahkan samudera, melewati batas-batas negara dan benua. Jika itu sudah ketetapan-Nya siapapun tak bisa menolak.

Ainy, membawamu kembali Where stories live. Discover now