Bag. 4 | 💐 Satu Kuntum

1.2K 211 45
                                    

Khaira terjaga dari tidur lantaran suara tangis Azwa yang memenuhi ruangan. Dengan sigap ia memeriksa, dan ternyata azwa baru saja buang air besar.

Si kecil Azwa yang tadinya merengek mendadak hening karena telah mendapati ibunya di sisi.

"Eh, sholihah, anak gadis ummi udah bangun. Wah, wah, anak ummi pub ya. Aduh, baunya. Sebentar ya, kita bersihkan dulu..." seru Khaira lalu mengambil perlengkapan bersih-bersih.

Azwa kecil merengek lagi. Khaira cepat-cepat kembali.

"Eh iya iya. Ini kita bersihkan. Bismillah, Kita pakai pampers baru. Kaki kanannya mana sayang? Duh.. pintarnya sholihah ummi!" seru Khaira berikutnya setelah memasangkan celana baby-nya.
Berikutnya Azwa sudah terlelap lagi di pangkuannya.

Khaira terpekur. Dan memeriksa handphonenya. Pukul 21.00 WIB. Khaira menghela napas. Entah kenapa akhir-akhir ini Kak Zen sering pulang terlambat. Khaira berusaha membuang pikiran buruk itu jauh-jauh.

Sungguh obrolan teman-teman kampusnya tadi di grup alumni cukup mempengaruhinya.

"Selalu perhatikan cermat aktivitas suami kalian, kebiasaannya sekecil apapun itu, apakah ada yang aneh? jangan sampai terlewat dan kalian terkecoh. Jangan selalu merasa suami kalian aman-nggak ada apa-apa, eh tau-taunya belakangan ada apa-apanya!"

Bahkan salah seorang teman yang satu coas nya dulu. Menanyainya via telepon. Setelah Khaira memberitahukan di grup kalo dirinya hanya di rumah saja sekarang.

"Elo, beneran, Ra? Nggak kerja di RS lagi? Serius? Lho pasti bercanda kan!"

"Gue nggak ngerti deh jalan pikiran lo. Coba ingat lagi deh, berapa perjuangan dan pengorbanan lo buat dapetin itu semua dan sekarang lo berhenti gitu? Semuanya sia-sia?

"Kalo lo cuma di rumah terus, yang ada elo jadi makin bego! Cepat tua, Ra!"

Tentu saja Khaira tidak diam saja mendengar semua ocehan itu.

"Sebagai seorang istri kita wajib patuh kepada suami. Dan ini adalah pilihanku. Zen tidak pernah maksa. Lagian kalo soal finansial. Sama saja, kami toh tidak kekurangan meski aku berhenti kerja sekalipun."

"Iya, gue tahu. Tapi masa depan nggak ada yang tahu. lo bisa garansi nggak? Pernikahan lo akan bertahan sampai akhir? Kalo lo Janda anak lo mau dikasi makan apa, Ra?"

"Lho? Kamu doain aku pisah sama suami aku?"

"Bukan begitu Khaira sayang! Kamu itu terlalu polos. Lihat deh, temen kakak kos kita dulu si Mei. Berhenti kerja karena menikah. Sama kayak lo. Dalihnya waktu itu sudah merasa tercukupi. Nah, Sekarang lihat buktinya. dia udah cerai sama suaminya dengan dua anak yang harus dia hidupin.

"Umurnya 36 tahun, Khaira! Nggak ada yang mau menerimanya bekerja dengan umur setua itu! Rumah mereka disita karena suaminya banyak hutang. Sekarang dia hanya hidup dengan berjualan pop ice dan kue pinggir jalan. Coba lo pikir dengan otak cerdas lo itu! Gue bicara realitas Khaira!"

Khaira menghela napas lagi. Entah kenapa semuanya seolah menyuruhnya curiga pada suaminya sendiri.

Khaira memutuskan untuk menelepon saja.

"Waalaikumsalam, Ra? Iya, ini aku udah dalam perjalanan pulang. Kenapa? kamu mau titip sesuatu?"

"Nggak ada. Kakai pulang cepat saja itu udah lebih dari cukup buat aku."

Terdengar suara tawa di ujung sana.

"Maaf ya.. aku suka telat minggu ini. Yaudah ini uda mau lampu ijo. Kututup. Assalamualaikum."

Ainy, membawamu kembali Onde histórias criam vida. Descubra agora