Bab 55 - Keinginan

21.3K 1.1K 18
                                    

Arkan tidak tahu apa yang terjadi pada Andrew, tapi dia sedikit keheranan saat laki-laki itu memutuskan untuk tinggal kembali di rumah orang tuanya. Entah apa yang dibicarakan, dan entah apa yang terjadi. Semua itu membuatnya bingung, begitu juga dengan Sashi. Namun begitu melihat Andrew yang berbaur setelah sekian lama bersikap dingin, tentu saja itu tidak bisa Arkan percaya.

Andrew tampak tenang berbicara dengan kedua orang tuanya, meski suasana terlihat sedikit canggung. Membuat Arkan berpikir, apakah ini awal yang baik? Sayangnya, dia tidak tahu apa yang terjadi.

"Kalian akan pulang sekarang?" tanya Nina yang datang sambil membawa makanan ringan. Menatap Arkan dan Sashi bergantian. Dia masih sangat mengkhawatirkan Arkan yang dianggapnya belum sembuh total. Tentu saja, dia sulit menerima jika Arkan akan pulang dan berjauhan. Nina ingin merawatnya. Anak yang selama ini jarang bertemu dengannya.

Pertanyaan itu cukup mengalihkan Arkan dari lamunannya. Dia menatap mamanya tercinta dengan senyum pucat. Tubuhnya masih lemas, tapi Arkan pikir dia masih kuat kalau hanya pulang ke rumah. Lagipula, Arkan tidak akan menyetir sendiri, dia sudah memanggil taksi yang sedang dalam perjalanan menuju ke sini. "Iya, Ma. Ada beberapa hal yang harus Arkan lakukan. Mama jangan khawatir, Arkan sudah sembuh."

"Apa Kak Arkan tidak bisa di sini lebih lama? Bagaimana jika sesuatu terjadi di perjalanan?" timpal Kiana dengan suara bernada khawatir, membuat Andrew maupun Sashi langsung memerhatikannya.

"Dia sudah dewasa, kamu tidak perlu mencemaskannya," geram Andrew, menatap Arkan dengan tajam. Cemburu itu masih terlihat. Dia tidak menyukai  wanita yang lebih memerhatikan Arkan daripada dia.

"Tapi, Kak Arkan ... apa aku boleh mengunjungi Kakak?" Kiana menatap Arkan sambil memelas, membuat mata Sashi sampai melotot menatapnya.

"TIDAK! Kamu masih sakit, Kia. Aku tidak mengizinkannya." Bukan Sashi yang bicara dengan keras itu, melainkan Andrew yang tampak sudah berusaha menahan emosinya sejak tadi.

"Tapi-tapi--"

Kiana berusaha membantah, sayang tiba-tiba terdengar suara mobil di halaman rumah. Taksi yang dipesan Arkan tampaknya sudah datang. Membuat Arkan langsung mengajak Sashi untuk keluar.

Nina terlihat tidak rela. Tapi Arkan menyakinkan kalau dia baik-baik saja. Terlebih, sebenarnya Arkan tidak nyaman saat harus tinggal bersama Kiana. Selain karena menjaga perasaan istrinya, dia juga tidak mau menebar aura permusuhan dengan adiknya yang jelas-jelas menyukai Kiana.

"Kenapa? Apa Kak Arkan tidak suka kita pulang? Kakak mau bertemu wanita itu terus, begitu?" Sashi menatap Arkan penuh rasa curiga. Saat ini, keduanya sudah masuk ke dalam taksi yang sudah berjalan meninggalkan halaman rumah. Tapi, pandangan Arkan terus tertuju kepada Kiana atau mungkin Nina? Entahlah, Sashi tidak suka melihatnya.

"Bicara apa kamu ini. Tentu saja aku ingin pulang," balas Arkan sambil menyandarkan kepalanya di bahu Sashi. Menghirup aroma yang keluar dari tubuh istrinya. Entah kenapa, Arkan sangat menyukainya. Dia juga merasa indra penciumannya lebih tajam dari biasanya. Aneh. Meski semua itu sangat nyaman.

Sashi terdiam beberapa saat dan menatap ke luar jendela. "Aku pikir Kakak senang mendapat perhatian wanita itu dan aku tidak itu. Aku tidak ingin kehilangan orang yang benar-benar aku sayang, kedua kalinya."

"Sangat posesif. Apa kamu pernah melakukan ini pada Andrew?" Arkan menatap Sashi sambil mengelus lembut pipi wanita itu. Ada perasaan tidak suka jika mengingat hal ini juga Sashi rasakan pada adiknya.

"Tidak, karena aku terlalu bodoh waktu itu," sesalnya. Berlandaskan rasa percaya. Hanya itu yang dia lakukan pada Andrew. Hingga akhirnya Sashi harus dikhianati karena kepercayaan yang membabi buta. Matanya hanya melihat jika Andrew mencintainya dan tidak akan pernah berkhianat. Sashi sangat bodoh waktu itu. Bodoh.

"Aku tidak akan tertarik dengan wanita lain, saat wanita yang kuinginkan ada di sebelahku."

Senyum manis tampak terlihat di wajahnya yang masih terlihat pucat. Mencium punggung tangan Sashi dan menatap mata itu dengan sungguh-sungguh. Dia mengerti perasaan Sashi, karena dia pernah merasakannya. "Tapi, kamu juga, tidak aku izinkan melirik apalagi tertarik dengan laki-laki lain."

Dalam sekejap, tatapan itu berubah dingin. Kata-kata yang diselimuti ancaman, keluar dari mulut Arkan. Senyum manis yang tadi terlihat, kini tampak seperti seringai di mata Sashi. Lagi-lagi, Arkan mengeluarkan aura mengintimidasinya. Sashi tidak suka, dia lebih suka Arkan yang lembut dan menurut padanya.

"Aku tidak akan melakukannya."

Sashi berdehem dan dengan cepat mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Niatnya untuk marah, harus urung melihat ekspresi serius Arkan. Tidak bisa dibayangkan, perkataan menyakitkan dan situasi macam apa yang terjadi dengan Arkan dan Kiana dulu. Tapi, bukankah Kiana seharusnya takut setelah melihat sikap kasar Arkan? Kenapa wanita itu malah dengan bodohnya, terus melakukan hal yang sama?

Sashi menggelengkan kepalanya. Dia tidak habis pikir, di mana wanita itu meletakkan otaknya. Jika menjadi Kiana, Sashi mungkin akan sangat membenci Arkan atau setidaknya, wanita itu merasa ketakutan bukan terus mencintainya. Benar-benar tidak waras. Meski mengetahui hal tersebut, tapi Sashi tidak membenci Arkan. Bukan karena dia baik hati, melainkan karena posisi waktu itu, bukan dia.

Terlalu larut dalam pemikirannya, tidak membuat Sashi sadar jika taksi yang mereka sudah berhenti di depan rumah. Dia juga tidak sadar, kalau sedari tadi Arkan menggoyangkan bahunya untuk membuat dia tersadar.

"Apa yang kamu pikirkan? Kita sudah sampai."

"Ah, sudah sampai?"

Arkan langsung keluar lebih dulu untuk kemudian membuka pintu dan membawa Sashi turun. Bersikap layaknya seorang pria gentle padahal Arkan sedang sakit. Sampai Arkan sedikit oleng saat berjalan membuka pintu. Membuat Sashi yang melihatnya spontan mendengus.

Alhasil, pada akhirnya dia memanggil beberapa pelayan untuk membantunya membawa Arkan masuk ke dalam kamar dan merebahkan laki-laki itu ke ranjang. Sementara Sashi menyuruh pelayan untuk menyiapkan air minum hangat agar Arkan kembali meminum obat.

Tampak keringat sedikit bermunculan di tubuh laki-laki itu. Padahal hanya berjalan dari gerbang ke dalam kamar, tapi Arkan merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter. Melelahkan.

"Aku benci tidak berdaya seperti ini." Arkan langsung meminum obat yang Sashi berikan dan memejamkan matanya sejenak. Napasnya terasa pendek. Menandakan jika daya tahan tubuhnya masih lemah meski suhu panasnya sudah menurun.

"Jangan menggerutu. Aku benci melihat Kak Arkan yang menyusahkan."

"Jahat sekali kata-katamu," ucap Arkan sambil tersenyum kecil.

"Kalau begitu diam dan tidurlah." Sashi merapikan rambut yang menutupi kening Arkan dan menyeka keringat laki-laki itu. Menatap kondisi Arkan yang seakan-akan seperti tidak memiliki kekuatan apa pun.

"Temani aku. Aku ingin tidur denganmu," ujar Arkan sambil menarik pinggang Sashi yang akan kembali pergi.

"Sebaiknya, aku panggilkan dokter lagi."

"Aku tidak perlu dokter, aku hanya butuh kamu. Dokter juga mengatakan ini hanya kelelahan, nanti akan membaik lagi."

Tidak punya pilihan lain, Sashi hanya bisa menuruti keinginan Arkan yang manja padanya. Mengusap kening laki-laki itu untuk membuatnya tertidur. Namun saat hampir terlelap, sebuah permintaan tiba-tiba terlontar dari mulutnya begitu saja.

"Sashi, aku rasa, aku ingin makan sesuatu."

Perfect Husband (TAMAT)Where stories live. Discover now